As-Salam, al-Mu’min, al-Muhaymin, al-Aziz, al-Jabbar – Asma’-ul-Husna – Ibnu ‘Ajibah

Buku Saku
ASMĀ’-UL-ḤUSNĀ

 
Mengerti Ma‘na dan Penerapan
Nama-nama Indah Allah
Dalam Kehidupan Sehari-hari.
 
 
Diterjemahkan dari Tafsīr-ul-Fātiḥat-il-Kabīr
Karya: Ibnu ‘Ajībah al-Ḥusainī
 
Penerjemah: Zainal ‘Arifin
Penerbit: Zaman
 
(Diketik oleh: Ibu Zulma)

السَّلَامُ
As-Salām
(Maha Pemberi Keselamatan)

As-Salām berma‘na pemegang keselamatan (salāmah), sama seperti al-radhā’ yang bermakna ar-radhā‘ah (penyusuan). As-Salām artinya bersih dari aib dan suci dari sifat makhlūq, sama dengan al-Quddūs. Pendapat lain mengatakan, as-Salām bermakna pemberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya.

Ada juga pendapat lain yang menyebut as-Salām bermakna pemberi ucapan salām kepada para hamba-Nya.

= Ta‘alluq =

Berlindung kepada-Nya dari segala hal dan berserah diri kepada-Nya dalam seluruh hal.

= Takhalluq =

Tidak berprilaku membuat orang lain tersakiti. Seseorang ditanya: “Siapakah yang di sebut orang baik?” Dia menjawab: “Orang yang tidak memendam kejahatan dan tidak menyakiti seekor semut pun.”

Dikisahkan, suatu hari Abū Yazīd masuk ke masjid dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu jatuh dan menimpa tongkat seorang berusia lanjut yang juga menancapkannya ke tanah. Melihat tongkatnya jatuh, orang tua itu membungkuk dan mengambilnya. Abū Yazīd kemudian pergi ke rumah orang tua tersebut, lalu berkata: “Anda tentu merasa terganggu ketika tadi harus membungkuk untuk mengambil tongkat anda. Semua itu karena kelalaianku. Jadi, maafkanlah aku.”

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabat: “Mampukah kalian berbuat seperti Abū Dhamdham?” “Siapa Abū Dhamdham itu, Rasūlullāh?” tanya balik mereka. Beliau menjawab: “Bila ia keluar dari rumahnya, ia selalu berdoa: “Ya Allah, aku sedekahkan kehormatan diriku kepada hamba-hambaMu.” (21)

=Taḥaqquq=

Seorang hamba dituntut senantiasa memiliki hati bersih dan dada yang lapang. Saat berjumpa Tuhannya, ia harus datang dengan hati yang bersih dari berbagai penyakit, seperti dengki, khianat, iri, dan sifat tercela lainnya. Datang dengan membawa akhlāq-akhlāq terpuji. Wallāhu a‘lam.

 

الْمُؤْمِنُ
Al-Mu’min
(Maha Pemberi Keamanan)

Al-Mu’min berarti pembenar Rasūl-rasūlNya lewat mu‘jizat. Menurut pendapat lain, al-Mu’min berarti pemberi rasa aman bagi hamba-hambaNya dari kekhawatiran terbesar (hari kiamat).

Ḥujjat-ul-Islām al-Ghazālī berkata: “Tidak ada keamanan di dunia kecuali dihasilkan oleh perantara yang hanya diciptakan dan diberitahukan penggunaannya oleh Allah. Allahlah pemberi keamanan secara mutlak.”

= Ta‘alluq =

Pertama, memohon anugerah kepada-Nya untuk dapat membenarkan keberadaan-Nya, membenarkan janji dan ancaman-Nya, membenarkan para nabi dan rasūl-Nya, juga membenarkan para kekasih-Nya. Kedua, memohon keamanan kepada Allah dari murka-Nya dengan bertobat dan memperbaiki interaksi sosialnya seraya meneladani sunnah dan meninggalkan bid‘ah.

= Takhalluq =

Memaksimalkan pembenaranmu dan menguatkan keimananmu sehingga hati mu tidak ternodai oleh keraguan dan prasangka. Dirimu tidak tiba di halaman-Nya dengan kecemasan dan kepedihan. Selain itu, seluruh makhluk di sekitarmu harus merasa aman dan nyaman. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Demi Allah, tidaklah beriman orang yang tindak-tanduknya membuat tetangganya tidak merasa aman.” (32) Engkau juga harus memercayai orang yang menasihatimu dan memberitahumu tentang sesuatu demi kebaikanmu.

= Taḥaqquq =

Cahaya keyakinan (nūr-ul-yaqīn) harus bersinar terang di hatimu sehingga engkau akan melihat akhirat lebih dekat daripada perjalananmu menuju ke arahnya. Engkau pun akan melihat dunia dengan hamparan kefanā’an yang nyata, dan apa yang ditangguhkan akan disegerakan. Engkau juga harus menguatkan pembenaranmu sehingga engkau akan memercayai apa yang biasanya mustaḥīl dipercaya.

Dikisahkan, Nabi ‘Īsā a.s. pernah melihat seseorang lelaki mencuri. “Engkau mencuri, Fulān?” tanya beliau. Lelaki itu menimpali: “Demi Allah, aku tidak mencuri, wahai Rūḥullāh.” Beliau lalu berkata: “Aku beriman kepada Allah dan kedua mataku telah berbohong.”

Bila pembenaranmu telah terwujud dan kedua kakimu sudah tertancap mengakar di dalamnya, berarti engkau dicatat di sisi Allah sebagai kelompok orang yang memegang teguh kebenaran dan kejujuran (shiddīqīn) dan yang dekat dengan-Nya (muqarrabīn). Semoga Allah membangkitkan kita semua bersama mereka. Amin

 

الْمُهَيْمِنُ
Al-Muhaymin
(Maha Memelihara)

Ada beberapa pendapat mengenai ma‘na alMuhaymin, di antaranya “menyaksikan” (asysyāhid), “mengawasi” (alraqīb), dan “menjaga” (alḥafīzh). Al-Mubarrid berkata: “Asalnya dari kata “al-mu’aymin” (الْؤَيْمِنُ), lalu huruf hamzahnya diganti huruf hā’ menjadi (الْهَيْمِنُ) sehingga ma‘nanya sama seperti al-Mu’min.”

Pendapat terbaik menyebutkan, al-Muhaymin berarti “menyaksikan sesuatu secara menyeluruh, baik bagian luar maupun dalam”. Karena itu, yang berhak memiliki sifat ini hanya Allah karena pengetahuan-Nya menyeluruh atas segala sesuatu.

= Ta‘alluq =

Memohon kepada-Nya keimanan yang pengawasan-Nya membuatmu malu untuk berbuat sesuatu yang dilarang-Nya. Dalam hadits qudsi disebutkan: “Jika kalian meyakini bahwa Aku tidak melihat kalian, berarti iman kalian cacat. Jika kalian mengetahui bahwa Aku melihat kalian, mengapa kalian menganggap-Ku yang paling rendah penglihatannya atas kalian?

= Takhalluq =

Engkau mesti menjaga dirimu dengan mengamati dan mengawasi setiap keadaanmu karena tak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang luput dari pengetahuan-Nya. Engkau juga harus memasrahkan segala kebutuhanmu kepada-Nya dan merasa cukup dengan pengawasan-Nya terhadapmu, karena Dia senantiasa mengawasi dan menjagamu.

= Taḥaqquq =

Engkau mesti menanamkan murāqabah (merasa selalu diawasi Allah) di dalam hatimu sehingga tidak akan ada perbuatan buruk apa pun yang terlintas di benakmu.

Abū Muḥammad al-Jarīrī berkata: “Orang yang tidak memperkuat ketaqwāan dan pengawasan (murāqabah) antara dirinya dan Allah, ia tak kan sampai pada derajat alkasyf (terbukanya tirai pemisah antara hamba dan Tuhan) dan musyāhadah (menyaksikan Tuhan).”

 

الْعَزِيْزُ
Al-‘Azīz
(Mahaperkasa)

Ada banyak pendapat mengenai ma‘na nama Allah ini, di antaranya “Mahatinggi” (arrafī’), “tak ternilai” (annafīs), “tiada banding” (‘adīm-un-nazhīr), dan “maha mengalahkan” (alqāhir). Ada pula yang menyebutkan, al-‘Azīz berma‘na tercegah dari kekalahan; pemenang mutlaq; melampaui segala sifat makhlūq.

= Ta‘alluq =

Memohon kepada Allah perantara-perantara yang mendatangkan keperkasaan dan kemuliaan, meneladani perilaku orang-orang yang memiliki keperkasaan dan kemuliaan di sisi Allah, yaitu orang-orang taat, beriman, mencintai Allah (maḥabbah) dan ahli ma‘rifat. Allah berfirman: Barang siapa menghendaki kemuliaan (‘izzah), maka kemuliaan itu milik Allah semata (Fāthir [35]: 10). ‘Ulamā’ menafsirkan bahwa siapa saja yang menginginkan kemuliaan, ia mesti mentaati Pemilik Kemuliaan (al-‘Azīz).

Menurut sebagian kalangan ahli ma‘rifat, merasuknya kemuliaan Allah ke dalam hati menuntut ketundukan hati kepada-Nya serta pengagungan dan pemuliaan terhadap-Nya. Jika itu terjadi, seorang hamba akan mulia selamanya dan melupakan selain-Nya. Itulah bentuk loyalitas paling sederhana. Allah berfirman: Barang siapa menjadikan Allah, Rasūl-Nya, dan orang-orang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut agama Allah itulah yang menang (al- Mā’idah [5]: 56).

= Takhalluq =

Menghilangkan ketergantungan kepada makhlūq dan hanya bersandar kepada Allah. Itulah hasil dari ‘izzah.

Abul-‘Abbās al-Mursī berkata: “Demi Allah, aku tidak melihat kemuliaan kecuali dengan menghilangkan ketergantungan dari makhlūq.

Penulis at-Tanwīr berkata: “‘Ulamā’ menasehati, jika engkau bersandar kepada selain Allah berarti engkau telah meniadakan-Nya. Jika engkau berpasrah kepada selain-Nya berarti engkau telah kehilangan-Nya. Lihatlah tuhanmu yang engkau tetap menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, kemudian kami akan menghamburkan (abu)-nya ke dalam laut (Thāhā [20]: 97)”.

Penulis alḤikam berkata: “Jika engkau menginginkan kemuliaan abadi, jangan sekali-kali membanggakan kemuliaan sementara.” ‘Ulamā’ mengatakan: “Orang yang mulia karena makhlūq, kemuliaannya telah mati.”

Buatlah kemuliaanmu berasal dari kemuliaan Tuhanmu.
Ia akan tetap tegak dan kukuh.
Jika engkau menjadi mulia karena sesuatu yang bisa mati,
maka kemuliaanmu juga akan ikut mati.

= Taḥaqquq =

Menghilangkan semua yang membuatmu menjadi mulia, apa pun itu, sehingga engkau hanya akan berpaling kepada kemuliaan Allah. Wallāhu a‘lam.

 

الْجَبَّارُ
Al-Jabbār
(Maha Memaksa)

Menurut satu pendapat, akar kata “Al-jabbār” berma‘na memperbaiki sesuatu dengan cara memaksa. Kalimat “jabbart-ul-kasr” “artinya aku membetulkan sesuatu yang patah”. Kata “jabbara” kadang dipakai untuk ma‘na “pemaksaan”. Atas dasar ini, al-Jabbār berma‘na “memperbaiki urusan hamba dan menjamin kemaslahatan mereka”. Ma‘na lainnya adalah “berkuasa memaksakan ketentuan-Nya terhadap mereka.”

Beberapa syaikh berpendapat, menafsirkan “al-Jabbār” dengan “pelaksanaan kehendak” jauh lebih tepat ketimbang ma‘na “perbaikan”. Sebab al-Jabbār berada pada rangkaian nama-nama Allah al-Jalāl, al-‘Azīz, dan al-Mālik yang masing-masing punya benang merah secara ma‘na.

Orang yang menyadari bahwa Allah adalah al-Jabbār (Maha Memaksa) melihat setiap orang yang punya karakter suka memaksa akan tampak kecil di hadapan Allah. Ia akan kembali kepada Allah seutuhnya.

= Ta‘alluq =

Engkau harus berdoa kepada Allah sepenuh hati agar Allah s.w.t. memperbaiki cacatmu dan menambal kekuranganmu, atau engkau harus memperbaiki dirimu, menundukkan hawa nafsu, dan menguasai keadaanmu sehingga engkau bisa mengambil bagianmu dari segala sesuatu tanpa berkurang sedikit pun.

= Takhalluq =

Menundukkan hati, berpaling dari semua hal yang bukan tujuan, tak ikut mengatur hal yang disukai maupun yang dibenci, dan menundukkan hawa nafsu agar mencintai Tuhan.

= Taḥaqquq =

Pertama, engkau harus memiliki cahaya yang menembus bāthin. Setiap orang yang berhadapan dengan mu, cacat dan kekurangannya akan tertambal dan dirinya akan bangkit. Engkau memperbaiki kerusakan-kerusakan hati sehingga engkau siap menyambut kedatangan Allah, Sang Maha Mengetahui segala yang ghaib.

Kedua, mewujudkan alfanā’ (lenyap bersama Allah) sehingga perbuatan dan perintahmu mencerminkan perbuatan dan perintah Allah. Engkau bisa memaksa makhlūq sesuai kehendakmu dan mereka tak kan bisa menolak keinginanmu. Engkau menjadi wakil Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak.

Dalam beberapa khabar disebutkan, Allah berfirman: “Hamba-hambaKu, Akulah yang berkata pada sesuatu: “Jadilah.” Sesuatu itu pun menjadi seperti yang Aku inginkan. Taatilah Aku, niscaya Aku akan membuatmu bisa berkata pada sesuatu: ‘Jadilah’. Sesuatu itu pun menjadi seperti yang engkau inginkan.”

Catatan:

  1. 2). HR. Abū Dāwūd, Kitāb-ul-Adab (no. 4886, 4887).
  2. 3). HR. al-Bukhārī, (no. 6016), dengan pengulangan lafal. “Demi Allah, tidak beriman…” Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Muslim (no. 46-73) dengan redaksi: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *