Antara Tawadhu‘ dan Kesombongan – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

15

Antara Tawādhu‘ dan Kesombongan

Tawādhu‘

Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa jika engkau ingin menang terhadap musuh serta ingin mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat, engkau harus bersikap tawādhu’ dan merendah. Allah berfirman: “Sungguh Allah telah memenangkan kalian dalam perang Badar di saat kalian lemah.” (Āli ‘Imrān [3]: 123).

Apabila engkau ingin diberi, maka tunjukkan sikap papa dengan butuh kepada-Nya: “Sedekah (zakat) itu hanya diberikan kepada para fakir miskin.” (at-Taubah [9]: 60). Apabila engkau ingin diberi karunia dan ingin agar mata batinmu bersinar, tampakkan kepapaan dan rasa butuhmu. Ketahuilah bahwa cahaya Tuhan terdiri atas dua bagian: cahaya yang masuk ke dalam qalbu dan cahaya yang sampai tapi tidak masuk. Oleh karena itu, bisa jadi cahaya tersebut sudah sampai, tapi karena qalbumu masih terisi oleh gambaran dunia, ia pergi kembali ke tempat semula.

Maka itu, kosongkan qalbumu dari sesuatu selain Allah agar bisa diisi dengan ma‘rifat dan berbagai rahasia. Seorang mu’min selayaknya sibuk berdzikir dan memuji Allah daripada memuji diri sendiri agar ia bertambah tawādhu‘. Selain itu, hendaknya ia juga sibuk melaksanakan hak-hak Allah daripada sibuk mengingat hak pribadinya sendiri agar ia bertambah ikhlas. Allah telah meletakkanmu di alam pertengahan antara kerajaan dan dunia makhlūq-Nya dengan maksud agar engkau mengenali kemuliaanmu. Serta, Allah memosisikanmu di antara makhlūq-Nya agar mengetahui bahwa engkau adalah permata berharga yang dikelilingi oleh berbagai unsur lain.

Ketahuilah, engkau merupakan salah satu bagian dari alam dunia ini selama masih sibuk dengannya dan tidak menyaksikan Penciptanya. Tetapi, kalau engkau menyaksikan Penciptanya dan qalbumu sibuk dengan-Nya, pasti alam ini akan berjalan bersama dan tunduk kepadamu. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Yang disebut iḥsān, engkau menyembah Allah seolah-olah engkau menyaksikan-Nya. Bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.” (H.R. al-Bukhārī dan Muslim).

Janganlah berpindah-pindah dari satu bagian dunia ke bagian lainnya. Kalau itu yang kau lakukan, kau sama seperti keledai yang berada di penggilingan dengan berputar di sekitarnya. Namun, pergilah dengan qalbumu dari alam dunia ini menuju Sang Penciptanya. Itulah hasil dari tafakkur dan perenungan terhadap kerajaan langit dan bumi. Allah berfirman: “Kepada Tuhanmulah segala sesuatu berakhir.” (an-Najm [53]: 42). Kalau engkau tidak dikenal di dunia, tapi terkenal pada hari kiamat, itu lebih baik daripada terkenal di dunia, tapi pada hari kiamat diremehkan dan dihinakan.

Jika engkau menyaksikan seseorang yang benar-benar merupakan wali Allah, dekat kepada-Nya, dan berpaling dari dunia, jangan sampai kedudukanmu yang tinggi menjadi penghalang bagimu untuk duduk tawādhu‘ di hadapannya, menuntut ‘ilmu darinya, berlaku sopan padanya, serta memerhatikan semua nasihat dan petuahnya. Jangan pula jabatan yang tinggi menghalangimu untuk bertanya tentang agama dan meminta doa darinya. Sebab siapa pun yang memperkenalkanmu pada Allah berarti telah memberikan manfaat yang besar.

Rasūlullāh s.a.w. saja meminta kepada ‘Umar ibn al-Khaththāb untuk didoakan: “Wahai saudaraku jangan lupa mendoakanku.” Ini sebagai pelajaran buat umatnya dan dorongan bagi mereka untuk selalu meminta doa dari orang-orang yang mulia dan ikhlas.

Kesombongan.

Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa tidak ada penghutang yang lebih mengulur-ulur waktu pembayaran daripada an-nafs-ul-ammāratun bis-sū’ (nafsu yang selalu memerintahkan kepada keburukan). Tak ada musuh manusia yang lebih berbahaya dan lebih mencemaskan daripada syaithan terkutuk. Tak ada penghalang ‘amal shāliḥ yang lebih kuat daripada hawa nafsu. Serta tak ada yang menolak turunnya karunia dari langit serta menghalangi rahmat Allah seperti kesombongan. Na‘ūdzu billāhi. Hujan yang turun dari langit hanya akan tergenang di permukaan tanah yang rendah, bukan di permukaan yang tinggi, dan bukan pula di puncak-puncak gunung. Demikian pula dengan hati orang-orang yang sombong. Rahmat Allah hanya turun pada hati yang tawādhu‘.

Yang dimaksud dengan orang sombong adalah yang menentang hak-hak manusia. Bukan orang yang pakaiannya bagus dan bersih. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia, serta merasa lebih tinggi dari mereka.

Jangan menyangka bahwa tabiat kesombongan hanya melekat kuat pada seorang menteri, pejabat, konglomerat, atau penguasa. Akan tetapi, kesombongan itu bisa melekat pada orang yang untuk makan malamnya saja tidak ada serta pada orang yang memakai baju tambahan. Sebaliknya, bisa jadi orang yang memakai baju bagus dan penguasa mempunyai sifat tawādhu‘. Sombong itu tercermin pada sifat yang selalu merusak bukan memperbaiki. Sebab, ia bersikap sombong di hadapan makhlūq Allah dan bangga terhadap diri sendiri.

Ketahuilah, tak ada pakaian yang lebih busuk daripada pakaian pengakuan. Misalnya, ketika sedang berselisih seseorang berkata: “Memangnya kau setingkat dengan saya? Memangnya kau kira kau pantas berbicara dengan saya? Siapa kau berani-beraninya mengajak saya bicara? Tanya dulu siapa sebetulnya saya dan berasal dari keturunan mana!” Makhlūq pertama yang binasa dengan pernyataan semacam di atas adalah iblis terlaknat. Yakni, dengan berkata: “Aku lebih baik darinya (Ādam). Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A‘rāf [7]: 12).

Janganlah suka mencela manusia dan merendahkan mereka walaupun pincang kakinya, cebol tubuhnya, dan cacat badannya. Jangan sekali-kali menghinanya karena di dalam qalbunya terdapat kemuliaan lā ilāha illā Allāh. Prasangka baikmu terhadap setiap manusia akan membuatmu selamat dan beruntung.

Rasūlullāh s.a.w. kalau meminum air berdoa:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَهُ عَذْبًا فُرَاتًا بِرَحْمَتِهِ، وَ لَمْ يَجْعَلْهُ مِلْحًا أُجَاجًا بِذُنُوْبِنَا

 

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (al-A‘rāf [7]: 146).

 

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan air ini tawar dan segar berkat rahmat-Nya, serta tidak menjadikannya asin karena dosa kita.

Sebagaimana kita ketahui, Rasūlullāh s.a.w. merupakan sosok yang bersih dari dosa dan terpelihara dari kesalahan. Namun demikian, beliau masih mengucapkan ungkapan seperti di atas karena sifat tawādhu‘nya. Sebetulnya bisa saja beliau berkata misalnya, “karena dosa kalian.” Akan tetapi beliau tidak melakukannya. Beliau bersikap santun dan beradab dalam bertutur kata. Tidaklah beliau memakan atau meminum sesuatu melainkan untuk mengajarkan adab kepada kita. Jika tidak, pastilah beliau diberi makan dan minum langsung oleh Allah.

Wahai manusia, siapa yang memuliakan seorang mu’min, maka seolah-olah ia memuliakan Allah. Sebaliknya, siapa yang menyakiti seorang muslim, maka seolah-olah ia menyakiti Allah. Wahai saudaraku, janganlah menyakiti seorang mu’min karena dirimu sendiri penuh dengan beban kesalahan. Cukuplah dirimu membawa beban tersebut. Lalu lihatlah aib diri dan perbaiki kesalahan yang ada. Engkau tak ubahnya seperti bawang merah. Bila dikuliti semuanya akan keluar sebagai kulit.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *