Pembaca, simaklah terjemahan al-Qur’ān, maka anda akan menemukan kata “hati” bertaburan di berbagai ayat. Menurut al-Qur’ān, hati adalah lokus dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian manusia. Hati bukan saja tumpuan pandangan Tuhan (33:5, 2:225), (101) melainkan juga lokus di mana Tuhan mengungkapkan Diri-Nya sendiri pada manusia. (112) Kehadiran-Nya terasa di dalam hati, dan wahyu diturunkan ke dalam hati para nabi (8:24, 2:97, 26:192-194, 53:11-13).
Hati juga pusat pandangan, pemahaman, dan dzikr (79:8, 22:46. 18:57, 47:24, 50:37, 18:28, 21:2, 7:179, 59:14). Iman tumbuh dalam hati (49:14, 64:11, 58:22, 18:13-14 dsb.), juga pelbagai kebaikan seperti kesucian, kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, kedamaian, cinta dan tobat. Jika Tuhan tidak menyucikan hati, ia akan sakit, berdosa, jahat, kasar, penuh kebencian, selalu cemas, dan seterusnya. (5:41, 22:32, 49:7, 3:159, 57:27, 50:33, 13:28).
Namun demikian, coba anda baca dan cermati ayat-ayat tentang hati itu pada nas Qur’ān itu sendiri. Anda akan menjumpai banyak kosa kata ‘Arab untuk menyebut hati, shadr, qalb, fu’ād, lubb. Semuanya diterjemahkan sebagai hati. Adakah bedanya antara shadr, qalb, fu’ād dan lubb itu? Buku – yang berjudul asli Bayān-ul-farqi bayn-ash-Shadri wal-Qalbi wal-Fu’ādi wal-Lubbi – ini hadir untuk menyibak rahasia di balik perbedaan penyebutan hati dalam bahasa al-Qur’ān ini dan menyodorkan metode mencerdaskan masing-masingnya.
Menurut at-Tirmidzī, hati memiliki empat stasiun: dada (shadr), hati (qalb), hati lebih dalam (fu’ād), dan inti hati terdalam (lubb). Keempat stasiun ini saling bersusunan bagaikan sekumpulan lingkaran. Dada adalah lingkaran terluarnya, hati dan hati lebih dalam berada pada kedua lingkaran tengah, sedangkan inti hati terletak di pusat lingkaran.
Tiap-tiap stasiun mewadahi cahaya sendiri.
Dada (shadr) mewadahi cahaya Islam (paraktik ibadah dan ‘amal shāliḥ).
Hati (qalb) mewadahi cahaya iman.
Hati-lebih-dalam (fu’ād) mewadahi cahaya makrifat atau pengetahuan akan kebenaran spiritual.
Inti-hati-terdalam (lubb) mewadahi dua cahaya, cahaya kesatuan dan cahaya keunikan, yang merupakan dua wajah Ilahi.
Keempat stasiun tersebut bagaikan area yang berbeda dari sebuah rumah.
Dada adalah area terluar, bagaikan pinggiran dari sebuah rumah yang berbatasan dengan dunia luar, tempat binatang-binatang buas dan orang-orang asing berkeliaran.
Hati dapat disamakan rumah itu sendiri. Ia dilingkari oleh tembok-tembok dan diamankan dengan gerbang atau pintu yang terkunci. Hanya anggota keluarga serta tamu yang diundanglah yang boleh memasukinya.
Hati-lebih-dalam adalah kamar terkunci yang menyimpan benda-benda pusaka berharga milik keluarga tersebut. Hanya segelintir yang memiliki kuncinya.
Tiap-tiap stasiun atau lapisan juga dikaitkan dengan maqām spiritual yang berbeda-beda, tingkat pengetahuan serta pemahaman yang berbeda, juga tingkat nafs yang berbeda. (Lihat tabel di halaman berikut).
Lapisan pertama: shadr, adalah inti dari tindakan. Ia tempat interaksi antara kepribadian kita dan alam spiritual kita. Kita memerlukan kepribadian untuk beraksi, namun kita juga membutuhkan bimbingan kearifan yang dalam dari hati. Di dalam dada, kita dapat mengubah kecenderungan negatif kita menjadi positif – sebuah pekerjaan besar kimia-psikospiritual.
Lapisan kedua: qalb, adalah tempat pengetahuan yang lebih mendalam dan keimanan terhadap ajaran spiritual dan keagamaan yang murni. Ia juga tempat kesadaran kita akan kehadiran Tuhan – sebuah kesadaran yang mengarahkan kita pada transformasi pemikiran dan tindakan.
Dada (shadr) |
Hati (qalb) |
Hati-lebih-dalam (fu’ād) |
Inti-hati-terdalam (lubb) |
---|---|---|---|
Cahaya Islam | Cahaya Iman | Cahaya Makrifat | Cahaya Tauhid |
Muslim | Mukmin | Penglihatan Bathiniah | Muahhid (ahli tauhid) |
Naf Ammārah Tirani atau Memerintahkan kepada keburukan |
Naf Lawwāmah Penuh penyesalan |
Naf Mulhimah Terilhami |
Nafs Muthma’innah Tenteram |
Lapisan ketiga: fu’ād, berkedudukan lebih dalam lagi, tetapi sangat dekat hubungannya dengan hati. Ia tempat pengetahuan langsung. Hati – secara intelektual memahami bahwa kita berada di bawah pengawasan Tuhan, namun pada tingkat lubuk-hati-terdalam – kita merasakan kehadiran Tuhan dengan sangat jelas, seakan-akan kita melihat Tuhan berada di hadapan kita.
Pada lapisan keempat: Lubb, kita memasuki wilayah yang mahaluas. Ia berada di luar jangkauan kata-kata, teori-teori, dan pemikiran-pemikiran. Pada tingkat ini, orang-orang suci memasuki dunia puisi, bukan lagi prosa.
Semakin dalam kita menyelam ke dalam hati kita, maka semakin dekat kita kepada Allah – Sang Mahabaik dan Mahabenar. Semakin kita dekat dengan-Nya, semakin kita menyerap dan memancarkan kebaikan dan kebenaran bagi semesta. Karena itu, apa yang menahan kita untuk menjelajahi kedalaman hati kita?
Tanggalkan pakaian keangkuhan dari tubuhmu:
dalam mencari ilmu, kenakan busana kerendahan hati.
Jiwa menerima dari jiwa pengetahuan tentang kerendahan hati,
bukan dari buku-buku atau ceramah.
Meskipun misteri kemiskinan spiritual ada dalam hati pencari,
Dia tidak memiliki pengetahuan ihwal misteri itu.
Biarlah dia menanti sampai hatinya lapang dan penuh cahaya,
Tuhan berfirman: Bukankah kami telah melapangkan dadamu…?
Sebab Kami telah pancarkan cahaya di sana, Kami telah melapangkan hatimu.
ketika engkau menjadi sumber susu, kenapa engkau memerah susu lain?
Sebuah sumber susu yang tak habis-habisnya ada dalam dirimu:
mengapa engkau mencari susu dengan ember?
Engkau adalah danau yang memiliki saluran ke Laut:
malulah mencari air dari kolam; karena bukankah telah Kami lapangkan?
Sekali lagi, tidakkah engkau memiliki kelapangan?
mengapa engkau mondar-mandir seperti seorang pengemis?
Renungkan kelapangan hati dalam dirimu.
Rumi, Mastnawi V. 1061-71
Pembaca tercinta, kala kini kita sadar bahwa kita terdampar – meminjam ungkapan Anthony Giddens – ke sebuah dunia yang tunggang langgang (Runaway World, 1999), kita akan merasakan betapa berharganya buku seperti ini, karena, disadari atau tidak, kita acap terjebak menjadi – nyelang istilah Rollo May – The Hollow Man, manusia kosong. Tunggang langgang? Manusia Kosong?
Ya, di dalam “dunia tunggang langgang”, kita terengah payah, gagap tak siap berkejaran dengan perubahan yang membuat hari ini segera usang. Ada begitu banyak tawaran. Kita ditarik ke berbagai arah tanpa merasa “kuno”. Jutaan tawaran mengejar kita, juga penuh dengan risiko yang menggelisahkan. Bukan hanya teror bom yang bisa membunuh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, tetapi juga polusi udara, air dan tanah. Bedanya, bom mencederai sejumlah orang dalam waktu cepat, polusi membunuh secara perlahan.
Pada saat bersamaan, dalam dunia karier, kita berdebar memikirkan kemungkinan PHK. Bukan semata akibat krisis ekonomi, melainkan karena jenis pekerjaan baru muncul dan hilang dengan cepat sehingga tiba-tiba saja keahlian kita menjadi usang. Sepanjang sejarah, belum pernah umat manusia berhadapan dengan situasi tak pasti dalam skala sebesar sekarang. (123)
Situasi inilah yang melahirkan “manusia kosong” – orang yang kehilangan makna; ia resah setiap kali harus mengambil keputusan; ia tak tahu apa yang diinginkan dan kerap tak mampu memilih jalan hidup yang berarti bagi dirinya; ia terasing atau teralienasi! Dan, saat itulah sepotong pesan terakhir Alga, sang nenek, kepada cucunya dalam novel bestseller internasional, Va’ dove ti porta il cuore karya Susanna Tamaro, terasa
Ketika mata hati terbuka, kita dapat melihat kenyataan yang tersembunyi di balik penampakan luar dunia ini. Ketika telinga hati terbuka, kita mampu mendengar kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. Melalui hati yang terbuka, sistem saraf kita dapat menyesuaikan diri dengan sistem saraf orang lain, sehingga kita mengetahui apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka akan bersikap.
menggetarkan: “Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau tempuh, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu!” “Istafti Qalbak!” pesan Nabi. “Biarkan Hatimu Bicara!” kata buku ini. Selamat membaca!
Semanggi Dua, 20 Mei 2005
Qamaruddin SF