Antara Orang Bahagia dan Orang Sengsara – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

6

Antara Orang Bahagia dan Orang Sengsara

 

Karakter orang yang akan memetik kebahagiaan (ahl-us-sa‘ādah) sangat berbeda dengan karakter orang yang akan mengenyam kesengsaraan (ahl-usy-syaqāwah). Allah berfirman: “Tidaklah sama antara penghuni neraka dan penghuni surga. Penghuni surgalah yang beruntung.” (al-Ḥasyr [59]: 20). Karakter mereka bisa dilihat dari kecenderungan jiwa mereka masing-masing. Orang yang akan bahagia adalah yang ketika melihat orang lain sedang berada dalam maksiat secara lahir dan batin akan mengingkari perbuatannya. Dalam hati, ia berdoa dan meminta kepada Allah agar orang tersebut diampuni dan diterima tobatnya – selain itu ia juga berdoa agar orang tersebut dibimbing untuk taat. Semua itu muncul karena iba dan kasihan. Seakan-akan orang yang bermaksiat tadi sedang berada dalam musibah dan perlu dikasihani.

Sedangkan orang yang bakal sengsara adalah yang secara lahir mengingkari orang yang berbuat dosa, tetapi hatinya senang dan ingin agar keburukan orang tadi diketahui banyak orang. Bahkan, kadangkala ia rusak kebormatan orang tersebut dan ia jatuhkan martabatnya. Hatinya terus melaknat dan mencaci.

Padahal, orang mu’min harus selalu memberikan nasihat kepada saudaranya di saat sendiri jauh dari pantauan orang dan ia tutup aib saudaranya itu di hadapan manusia. Lalu ia pun membimbingnya untuk kembali meniti jalan yang benar.

Akan tetapi, calon orang sengsara berbuat sebaliknya. Bila melihat orang sedang bermaksiat, ia acuhkan orang tersebut seraya menutup pintu. Lalu ia sebarlauskan kesalahannya sehingga orang lain mengetahui. Orang semacam ini mempunyai mata bātin yang tidak bercahaya dan qalbu yang tidak bersih. Tentu saja ia dimurkai dan jauh dari Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang senang dengan tersiarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka akan mendapat siksa yang pedih di dunia maupun di akhirat. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (an-Nūr [24]: 19).

Wahai saudaraku, jika engkau ingin menguji kecerdasan dan bāthin seseorang, coba sebutkan kehidupan orang lain yang sedang tidak bersamamu di hadapannya. Kemudian perhatikan dengan seksama bagaimana tanggapannya. Bisa jadi orang tadi membicarakan keburukannya, menyebutkan aib-aibnya, serta mengingkari kebaikannya dengan berkata: “Tak usah dipedulikan. Dia itu begini dan begitu.” Ia jatuhkan martabat orang tersebut, ia makan dagingnya, ia cela dan ia sebutkan keburukannya. Bila itu yang ia ungkapkan, ketahuilah bahwa bāthin orang tadi sedang rusak, qalbunya sedang sakit, tidak mengenal Allah, tidak termasuk orang shāliḥ atau faqīh yang bersih.

Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu ia justru menyebut kebajikan orang yang sedang dibicarakan, memuliakan kebaikannya, mengangkat martabatnya di hadapanmu, atau menyebut keburukannya tapi tetap berpikir positif sehingga memposisikannya pada kebaikan dengan berkata: “Barang kali ia lupa.” “Barang kali ia mempunyai alasan yang tidak kita ketahui,” atau ungkapan sejenis lainnya dengan maksud menutupi atau menjaga kehormatannya. (41). Jika itu yang ia ungkapkan pada setiap tempat dan pada sebagian besar pembicaraannya dengan kebanyakan orang, ketahuilah bahwa ia termasuk orang yang bahagia. Batinnya hidup, jiwanya bersih, dan qalbunya suci. Ia juga tergolong orang yang ‘ārif, mempunyai pemahaman agama yang luas, serta memiliki ḥikmah.

Seorang muslim selayaknya betul-betul menjaga kehormatan saudaranya sesama muslim. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa menutupi aib saudaranya sesama muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia maupun ia akhirat. Allah juga akan menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

Orang akan sengsara bila selalu menganiaya manusia, mengambil hak-hak mereka, serta menjatuhkan kehormatan mereka. Sementara orang akan bahagia bila selalu menjaga diri dan merasa cukup. Ia tidak mau menganiaya sesama hamba, selalu berpegang pada kebenaran sekaligus membelanya. Ia juga senantiasa memelihara rahasia manusia, menutupi aib mereka, dan menonjolkan kebaikan mereka.

Wahai saudaraku, bila engkau mampu mengisi hari-harimu tanpa menganiaya seorang hamba berarti engkau tergolong orang yang bahagia. Bahkan, bila engkau tidak menganiaya diri sendiri dalam hubungan antara engkau dan Allah, serta tidak menyalahi perintah-Nya, maka sempurnalah kebahagiaanmu dari semua sisi. Karena itu, tundukkan pandanganmu, jagalah pendengaranmu, istiqāmahlah dalam melakukan hal itu, serta peliharalah kebahagiaan besar tersebut hingga engkau berjumpa dengan Allah seraya membawa īmān. Sekali lagi janganlah menganiaya seorang hamba karena itu merupakan kegelapan di hari kemudian.

Orang yang bahagia adalah orang yang memiliki pengetahuan agama dan ma‘rifat. Yaitu, yang mengenal Allah lewat Kitāb-Nya, bertawakkal kepada-Nya, serta hidup dengan pertolongan-Nya. Allah pun mencukupi kebutuhannya dan melenyapkan sesuatu yang merisaukannya. Ia lebih sibuk dengan perintah Allah daripada mengurus apa yang sudah dijamin oleh-Nya. Pasalnya, ia yakin bahwa Allah tak mungkin membiarkannya dan tak mungkin menahan karunia-Nya. Karena itu, ia selalu merasa lapang serta berada dalam taman kepasrahan yang bulat kepada Tuhan. Sehingga Allah pun mengangkat derajatnya, menyempurnakan cahayanya, mencukupkan nikmatnya, serta menganugerahkan karunia dan kemurahan-Nya pada orang tersebut. Allah berfirman: “Siapa yang ber‘amal shāliḥ, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan berīmān, niscaya Kami akan memberikan padanya kehidupan yang baik. Sungguh Kami juga akan memberi ganjaran kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan.” (an-Naḥl [16]: 97)

Orang yang bahagia adalah orang yang bekerja untuk negeri akhirat, memahami perintah dan larangan-Nya, sekaligus meng‘amalkannya. Ia jauh lebih menyenangi sesuatu yang kekal ketimbang dunia yang fanā’. Allah berfirman: “Katakanlah, hendaknya hanya dengan karunia dan rahmat Allah-lah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Yūnus [10]: 58).

Orang yang bahagia adalah yang qalbunya bersinar dan larut dalam ketaatan kepada Tuhannya. Ia berpaling dari dunia, ia tidak menjadikannya sebagai tanah air, dan tidak menganggapnya sebagai tempat kediaman. Namun, ia arahkan perhatiannya kepada Allah. Ia mengabdikan diri pada Tuhannya, meminta tolong kepada-Nya, menjadikan dunia sebagai sarana untuk kehidupan akhiratnya, dan menjadikan hidupnya sebagai bekal untuk matinya: “Siapa yang menghendaki negeri akhirat, lalu ia berusaha untuknya sedang ia dalam keadaan mu’min, maka usahanya itu niscaya diberi ganjaran.” (al-Isrā’ [17]: 19).

Allah berfirman: “Adapun orang-orang yang bahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Hud [11]: 108).

Catatan:

  1. (4). Abū Dardā’ r.a. meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa yang menjatuhkan kehormatan saudaranya, Allah juga akan membalikkan wajahnya di api neraka pada hari kiamat.” (H.R. at-Tirmidzī)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *