‘Am (umum) | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 002 Pengertian Umum | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

Pasal 3

‘Am (umum).

Lafazh ‘Am adalah lafazh yang menurut kepada bentuk suatu lafazh yang tersimpul atau masuk di dalamnya semua lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul atau masuk semua jenis sesuai dengan lafazh itu. Sebagaimana kita katakan “Al-Insan” (manusia), maka di dalam kata-kata Al-Insan ini tersimpan semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia itu kecil maupun besar, baik dia merdeka maupun budak, baik dia bebas maupun terikat.

Ada kalanya lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan untuk itu seperti lafazh kullu, jami‘u dan lain-lain.

Maka yang dimaksud dengan ‘Am yaitu, suatu lafazh yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali saja seperti kata “ar-Rijil” maka lafazh ini meliputi semua laki-laki.

A. Pembagian ‘Am.

  1. ‘Umūm Syumūlī: yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi seperti:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ. (النساء: 1)

Hai seluruh manusia peliharalah dirimu dari ‘adzab Allah (taqwa) yang telah menjadikanmu dari satu jenis. (Surat an-Nisā’: 1)

Dalam ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertaqwa (memelihara diri dari ‘Adzab Allah) tanpa kecuali, maka lafazh yang seperti ini dinamakan ‘umūm syumūlī.

 

  1. ‘Umūm Badalī: yaitu sesuatu lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku untuk sebagian afrad (pribadi), seperti:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. (البقرة: 183)

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang taqwa. (Surat al-Baqarah: 183).

Dalam ayat ini terdapat kalimat umum, tetapi umum di sini tidak dipergunakan untuk seluruh manusia melainkan hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Allah (beriman) saja.

B. Lafazh-lafazh ‘Umūm.

  1. Kullun, Jamī‘un, Kāffatan dan Ma‘syara.

Contoh: Kullun.

قَالَ (ص): كُلُّ أَمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى، مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَ مَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى. (رواه البخاري)

Tiap-tiap ummatku masuk mereka ke dalam syurga, selain orang-orang yang enggan, siapa yang mentaati-Ku masuk dia ke dalam syurga, dan siapa yang membangkang itulah orang-orang yang enggan. (H.R. Bukhārī).

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ. (آل عمران: 185)

Tiap-tiap diri (nafsu) merasakan mati. (Surat Āli ‘Imrān: 185).

 

Contoh: Jamī‘un.

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا. (البقرة: 29)

Dia (Allah) yang menjadikan kami dipermukaan bumi ini seluruhnya (Surat al-Baqarah: 29).

 

Contoh: Kāffah.

وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَ نَذِيْرًا. (سباء: 28)

Tidak Kami utus engkau (hai Muhammad), melainkan untuk memberi khabar gembira dan peringatan bagi manusia. (Surat Saba’: 28).

 

Contoh: Ma‘syara.

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِيْ وَ يُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هذَا. (الأنعام: 12)

Hai sekalian Jin dan Manusia: tidakkah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-Ku kepadamu serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini. (Surat al-An‘ām: 12).

 

  1. Man, Mā, dan Aina pada majaz.

Contoh: Man.

مَنْ يَعْمَلْ سُوْءً يُجْزَ بِهِ. (النساء: 123)

Barang siapa yang memperbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. (Surat an-Nisā’: 123)

 

Contoh: .

وَ مَا تُنْفِقُوْنَ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَ أَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ. (البقرة: 272)

Apa-apa yang kamu berikan (belanjakan) berupa kebaikan, maka berfaedah kepada dirimu sedangkan kamu tidak teraniaya. (Surat al-Baqarah: 272).

 

Contoh: Aina.

أَيْنَمَا تَكُوْنُ يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَ لَوْ فِيْ بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ. (النساء: 78)

Di mana jua pun tempat tinggalmu niscaya mati itu akan menimpa dirimu jua, sekalipun kamu tinggal dalam benteng yang kuat. (Surat an-Nisā’: 78).

 

  1. Man, Mā, Aina dan Matā untuk Istifhām (pertanyaan).

Contoh: Man.

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا. (البقرة: 245)

Siapa yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik. (Surat al-Baqarah: 245).

 

Contoh: Mā.

مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ. (المدثر: 42)

Apa sebabnya kamu masuk neraka Saqar. (Surat al-Muddatstsir: 42)

 

Contoh: Aina.

أَيْنَ تَسْكُنُ

Di mana kamu tinggal.

 

Contoh: Matā.

مَتَى نَصْرُ اللهِ

Kapankah pertolongan Allah akan datang?

 

  1. Ayyu.

Contoh: Ayyu.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَ (ص): أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. (رواه الأربعة)

Siapa saja di antara perempuan yang kawin tanpa seizin walinya maka perkawinan itu tidak sah (batal). (H.R. Arba‘ah).

 

  1. Nakirah sesudah Nafi.

Contoh:

وَ اتَّقُوْا يَوْمًا لَا تَجْرِيْ نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَ لَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَ لَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَ لَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ. (البقرة: 123)

Takutlah kamu akan hari kiamat, hari yang tidak menggantikan suatu hari terhadap lainnya sedikit jua pun, dan tidak diterima dari padanya tebusan dan tidak berguna pertolongan, sedang mereka tidak pula mendapat pertolongan. (Surat al-Baqarah: 123).

 

  1. Isim Maushūl.

Contoh:

وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَ لَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا. (النور: 4)

Orang-orang yang menuduh perempuan baik berbuat zina kemudian mereka tidak mendapatkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali dan jangan kamu ambil kesaksian mereka selama-lamanya. (Surat an-Nūr: 4).

 

  1. Idhāfah.

Contoh:

وَ إِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لَا تُحْصُوْهَا. (إِبراهيم: 34)

Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, tidak akan terhitung. (Surat Ibrāhīm: 34).

 

  1. Alif Lām Ḥarfiyyah.

Contoh:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)

Bahwa sesungguhnya Allah suka kepada orang yang adil. (Surat al-Mā’idah: 42)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ. (البقرة: 195)

Allah kasih kepada orang yang berbuat kebajikan. (Surat al-Baqarah: 195).

C. Kalimat-kalimat Yang Mempunyai Ketentuan.

Dalam satu kalimat yang telah mempunyai ketentuan, bagian-bagian tidak lagi menunjukkan kepada umum.

كَانَ (ص) يَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ وَ الْمَغْرِبِ وَ الْعِشَاءِ.

Adalah Nabi s.a.w. menjama‘kan antara dua shalat yaitu Zhuhur dengan ‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isyā’. (H.R. Muslim).

Pada hadits ini telah ada ketentuan antara Zhuhur dengan ‘Ashar, Maghrib dengan ‘Isya’, maka tidak mengumumi terhadap menjama‘kan keduanya dengan Jama‘ Taqdim (pada waktu awal) dan Jama‘ Ta’khir pada waktu kedua.

الْفِعْلُ الْمُثْبِتُ إِذَا كَانَ لَهُ أَقْسَامٌ فَلَيْسَ بِعَامٍ فِيْ أَقْسَامِهِ.

Perbuatan yang telah ditetapkan, apabila mempunyai pembagian maka tidak mengumumi pada bagian-bagiannya.

D. Lafazh ‘Am Karena Sebab Yang Khusus.

الْعِبَرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ.

Dipandang menurut umum lafazh, tidak menurut khusus sebab.

Jawaban atau pertanyaan adakalanya tidak dapat berdiri sendiri dan adakalanya dapat berdiri sendiri. Jawaban pertanyaan yang tidak dapat berdiri sendiri seperti: Boleh saya pergi? …… Jawabannya “Ya”.

Bolehkah kami bermain?…..Jawabannya “Tidak”. Maka jawaban seperti ini (Ya/Tidak) disebut jawaban yang tidak berdiri sendiri, karena tidak bisa dimengerti maksudnya, kecuali melihat bentuk pertanyaannya.

Jawaban yang dapat berdiri sendiri seperti seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: Ya Rasulullah! Sesungguhnya kami berlayar di lautan dan kami membawa sedikit air, jika kami ambil air itu untuk berwudhu’ niscaya kami akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu’ dengan air laut?….. Jawab Nabi:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ. (رواه الترمذي و ابن حبان)

Laut itu suci airnya dan halal mayatnya. (H.R. Tirmidzī dan Ibnu Ḥibbān).

Sekalipun pertanyaan seorang laki-laki tidak disebutkan, maka hadits Nabi itu sudah dapat dimengerti. Dalam contoh ini pertanyaan hanya menggambarkan dalam keadaan darurat (terpaksa). Jika melihat perkataan Nabi, kita dapat mengetahui bahwa boleh berwudhu’ dengan air laut sekalipun dalam keadaan bisa, sedangkan pertanyaan itu merupakan sebab khusus kepada keadaan umum.

E. Muqtadhā.

الْمُقْتَضَى لَا عُمُوْمَ لَهُ.

Muqtadhā tidak menunjukkan umumnya.

Dalam masalah ini ada dua istilah yaitu “Muqtadhī” dan “Muqtadhā”. Muqtadhī suatu perkataan atau lafazh yang menunjukkan ada pengertian yang tersimpan di dalamnya, di mana perkataan tersebut tidak dapat dianggap benar, kecuali dengan mengeluarkan salah satu dari pengertian yang tersimpan di dalamnya, sedangkan Muqtadhā yaitu pengertian yang dikeluarkan dari lafazh itu sendiri. Seperti sabda Nabi:

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ.

Terangkat (dihapuskan) dari ummatku kekeliruan (tersalah) terlupa dan orang yang terpaksa mengerjakan suatu perbuatan. (H.R. Ibnu Ḥibbān).

Hadits ini tidak dapat dimengerti sepintas lalu karena tiga hal tersebut (tersalah, terlupa, dan terpaksa) masih menghendaki kepada pengertian. Untuk itu timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan terangkat (dihapuskan). Yang dimaksud dengan terangkat ialah dihapuskan hukum-hukum sebagai akibat dari ketiga hal tersebut.

Apabila tidak ada dalil yang menunjukkan salah satu pengertian yang tertentu maka perkataan itu dinamakan mujmal (samar). Yang dimaksud dengan mujmal ialah suatu lafazh yang belum jelas maksud dan tujuan, artinya masih menghendaki penjelasan.

F. Tidak Menyebutkan Yang Diketahui Sama Dengan Umum.

حَذْفُ الْمَعْمُوْلِ يُفِيْدُ الْعُمُوْمَ.

Membuangkan yang diketahui memfaedahkan akan umum.

Dalam suatu masalah tidak disebutkan yang telah diketahui, maka kalimatnya menjadi kalimat umum. Seperti firman Allah:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ. (الزمر: 9)

Apakah sama orang yang tahu dengan orang yang tidak mengetahui. (Surat az-Zumar: 9).

Menurut ayat ini tidak ditentukan perbedaan manakah yang terdapat antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, maka kalimat yang seperti ini menunjukkan kepada umum.

G. Menyebutkan Sebagai Isi Lafazh Umum Yang Sama Hukumnya.

ذِكْرُ بَعْضِ أَفْرَادِ الْعَامِّ بِحُكْمِهِ لَا بِخُصُصِهِ.

Menyebutkan sebagian isim (umum) yang sesuai dengan hukumnya, tidak berarti mentakhsiskannya.

Ada suatu syarat yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa, hukuman dengan lafazh ‘Am harus tidak berbeda (sama), contoh sabda Nabi:

أَيُّمَا أَهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهَرَ. (رواه مسلم)

Tiap-tiap kulit yang disamak menjadi suci. (H.R. Muslim).

دِبَاغُهَا طَهُوْرُهَا. (رواه ابن حبان)

Menyamak kulit, mensucikannya. (H.R. Ibnu Ḥibbān).

Dalam contoh di atas menyatakan, tiap-tiap kulit yang disamak hukumnya suci, akan tetapi bila berbeda hukum keduanya antara lafazh ‘Am dan ‘Am maka ‘Am tadi mentakhsiskan lafazh ‘Am dengan arti kata, jika hadits yang pertama tidak sama hukumnya dengan hadits yang kedua, maka hadits kedua menjadi takhsis.

H. Kehujjahan Sesudah Takhsis.

الْعَامُ بَعْدَ التَّخْصِيْصِ حُجَّةٌ فِي الْبَاقِيْ.

Lafazh umum sesudah ditakhsiskan masih berlaku atau tidak berhadap ‘Am yang lain.

Apakah lafazh ‘Am yang sudah ditakhsiskan masih berlaku atau tidak terhadap ‘Am lain? Seperti firman Allah:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِيْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ. (الأَعراف: 32)

Katakanlah (hai Muhammad): siapakah di antara manusia yang berani mengharamkan perhiasan-perhiasan yang telah dikeluarkan Allah untuk hamba-Nya. (Surat al-A‘rāf: 32).

Lafazh ini menunjukkan kepada umum, berarti tiap-tiap perhiasan dibolehkan memakainya terhadap siapa saja, kemudian Nabi mentaksiskan bahwa laki-laki tidak boleh memakai perhiasan dari emas.

إِنَّ النَّبِيَّ (ص) رَآى خَاتِمًا مِنْ ذَهَبٍ فِيْ يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ وَ طَرَحَهُ قَالَ يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جُمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِيْ يَدِهِ. (رواه مسلم)

Bahwasanya Nabi s.a.w. melihat cincin emas pada tangan seorang laki-laki, kemudian Nabi menyuruh buka dan menanggalkannya, kemudian Nabi bersabda: “Menyengaja salah seorang kamu kepada bara api neraka, maka dijadikan bara api neraka itu kepada tangannya.” (H.R. Muslim).

Lafazh ‘Am (ayat) di atas sudah ditakhsiskan dengan hadits Nabi masih berlaku bagi yang lain. Lafazh ‘Am tersebut menunjukkan seluruh yang termasuk di dalamnya dengan takhsis (hadits) tidak berarti lafazh ‘Am tersebut tidak berlaku lagi bagi yang lain.

Lafazh umum sesudah ditakhsiskan menjadi hujjah bagi yang lain.”

I. Tuntutan Terhadap Seorang Sama Dengan Tuntutan Kepada Umum.

الْخِطَابُ الْخَاصُّ بِوَاحِدٍ مِنَ الْأُمَّةِ يُفِيْدُ الْعُمُوْمَ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْخُصُوْصِ.

Tuntutan yang ditentukan bagi seseorang di antara ummat memfaedahkan kepadamu umum, sehingga ada dalil yang menunjukkan kepada khusus.

Adakalanya tuntutan kepada seseorang, tapi tuntutan itu ditujukan kepada umum, dan ada pula yang ditujukan kepada seseorang yang memfaedahkan bagi umum. Seperti sabda Rasulullah s.a.w.:

إِنَّمَا قُوْلِيْ لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ. (رواه الترمذي)

Sungguh perkataan saya kepada seorang wanita sama dengan perkataan saya tujukan kepada seratus wanita. (H.R. at-Tirmidzī).

Apabila ada dalil yang menunjukkan atas ketentuan yang lain, maka tidak menjadi umum seperti sabda Rasulullah s.a.w. kepada Abu Darda’:

تُجْزِئُكَ وَ لَا تُجْزِئُ أَحَدًا بَعْدَكَ. (متفق عليه)

Mencukupi untuk engkau saja dan tidak mencukupi kepada selain engkau. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).

J. Tidak Boleh Beramal Dengan Yang ‘Am Sebelum Diselidiki.

الْعَمَلُ بِالْعَامِّ قَبْلَ الْبَحْثِ عَنِ الْمُخَصِّصِ لَا يَجُوْزُ.

Beramal dengan umum sebelum diselidiki dari yang mentakhsiskannya, tidak boleh.

Untuk beramal dalam suatu perbuatan yang umum tidak dibolehkan, sebelum diselidiki secara berijtihad, lagi menyelidiki kepada kitab dan sunnah, guna untuk menjauhkan kita dari taqlid (yakni taqlid buta), karena taqlid menurut agama tidak diperbolehkan (dicela), seperti firman Allah s.w.t.:

وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَ لَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَ لَا يَهْتَدُوْنَ

Apabila dikatakan kepada mereka ikutilah perintah yang diturunkan Allah, maka jawab mereka tetapi kami mengikuti apa yang kami peroleh dari nenek-nenek kami meskipun orang-orang tua mereka tidak memikirkan sesuatu dan tidak pula mendapat petunjuk. (Surat al-Baqarah: 170).

Maka yang dimaksud dengan taqlid adalah mengikuti dan menerima perkataan orang lain dengan tidak mempunyai alasan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *