Al-Khafidh, ar-Rafi’, al-Mu’iz, al-Mudzil, as-Sami’, al-Bashir, al-Hakam, al-‘Adl – Asma’-ul-Husna – Ibnu ‘Ajibah

Buku Saku
ASMĀ’-UL-ḤUSNĀ

 
Mengerti Ma‘na dan Penerapan
Nama-nama Indah Allah
Dalam Kehidupan Sehari-hari.
 
 
Diterjemahkan dari Tafsīr-ul-Fātiḥat-il-Kabīr
Karya: Ibnu ‘Ajībah al-Ḥusainī
 
Penerjemah: Zainal ‘Arifin
Penerbit: Zaman
 
(Diketik oleh: Ibu Zulma)

الْخَافِضُ الرَّافِعُ

Al-Khāfidh, Ar-Rāfi‘

(Maha Merendahkan, Maha Meninggikan)

 

Kedua nama ini disebutkan dalam sebuah hadits shaḥīḥ: “Dia merendahkan (yakhfazdhu) dan meninggikan (yarfa‘u) timbangan ‘amal. (81)

Allah merendahkan siapapun sekehendak-Nya dengan menimpakan hukuman padanya dan meninggikan siapa saja sekehendak-Nya dengan melimpahi-Nya ni‘mat. Allah merendahkan kebatilan beserta pendukungnya dan meninggikan agama beserta syiarnya. Allah merendahkan kekufuran beserta jejak-jejaknya dan meninggikan Islam beserta cahayanya. Allah merendahkan orang yang meridhāi dan memilih kekufuran, meninggikan hati yang mendekat kepada-Nya, dan merendahkan jiwa dengan menghukumnya. Allah meninggikan para kekasih-Nya dengan mengasihi, menyayangi, dan memberinya anugerah keni‘matan. Allah merendahkan musuh-musuhNya dengan menghadang, menolak, dan mengusirnya. Allah merendahkan orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan meninggikan orang yang mengikuti keridaan-Nya.

Disebutkan: “Siapa saja yang meridhai bagian yang telah ditentukan untuknya maka Allah akan meninggikan bagiannya melebihi bayangannya.”

Orang yang mengetahui bahwa Allah adalah al-Khāfidh dan ar-Rāfi’, ia takkan memercayai keadaan diri dan ruhaninya (ḥāl), takkan bersandar pada ‘ilmu dan ‘amalnya, dan takkan menolak peninggian atau perendahan karena keduanya takkan terlaksana kecuali atas seidzin-Nya. Ia hanya akan menggantungkan tujuan hanya kepada-Nya.

= Ta‘alluq =

Berlindung dan memohon kepada-Nya supaya merendahkan hawa nafsunya dan meninggikan kedudukannya bersama orang yang dipilih-Nya.

= Takhalluq =

Merendahkan apa yang memang diperintahkan Allah untuk direndahkan dan meninggikan apa yang memang diperintahkan Allah untuk ditinggikan.

= Taḥaqquq =

Meninggikan atau merendahkan harus semata-mata karena Allah, bukan karena faktor keinginan dan dorongan hawa nafsu belaka.

 

 

الْمُعِزُّ الْمُذِلُّ

Al-Mu‘izz, Al-Mudzill

(Maha Memuliakan, Maha Menistakan)

 

Allah berfirman: Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki (Āli ‘Imrān [3]: 26). Pemuliaan Allah atas hamba-Nya terwujud lewat anugerah harta dan kondisi spiritual (ḥal). Harta untuk memperindah penampilan fisik, sementara kondisi spiritual untuk menyinari penampilan bāthin. Harta menghasilkan ketidakbutuhan atas sifat dan bentuk, sementara ḥāl menghasilkan kebutuhan akan Dzāt Mahabesar dan Mahatinggi.

Perlu diketahui bahwa Allah memuliakan orang zuhud dengan menjauhkan dirinya dari dunia, memuliakan orang ‘ābid (ahli ‘ibādah) dengan membebaskan dirinya dari keinginan dan angan-angan, memuliakan murīd (orang yang memuliakan Allah) dengan meluruskan wajahnya tepat ke arah-Nya, memuliakan ‘ārif (ahli ma‘rifat) dengan mempersiapkannya menuju tempat kenikmatan spiritual dan menuju pencapaian kasyf (tersingkapnya tabir), liqā’ (bertemu Allah), dan perihal merasa cukup dengan-Nya. Ketika ingin memuliakan hamba-Nya, Allah akan mendekatkannya ke halaman-Nya dan menyiapkannya dalam bermunajat kepada-Nya. Lalu, ketika ingin menistakan hamba-Nya, Allah akan menjauhkannya dari kehadiran-Nya dan selalu mengkaitkannya dengan hawa nafsunya. Akibatnya, ia takkan pernah dikelilingi penjagaan dan takkan disentuh pertolongan. Tanda-tandanya adalah ia mengabaikan diri sendiri dan keinginannya.

Sehari saja engkau membiarkan dirimu dan keinginannya.
Itu sudah dianggap upaya untuk menghancurkannya.

Jadi, kenistaan seseorang adalah ketika ia diperbudak oleh dirinya dan keinginannya sendiri. Hatinya telah dihuni oleh ketamakan serta dipenuhi kegelisahan dan kecemasan. Dalam alḤikam disebutkan: “Dahan-dahan kenistaan takkan tumbuh kecuali dari benih-benih ketamakan.”

Budak menjadi orang merdeka ketika bersikap qana’ah.
Dan orang merdeka menjadi budak selama bersikap tamak.

Orang yang yang mengetahui bahwa Allah adalah al-Mu‘izz dan al-Mudzill, ia takkan memuliakan dirinya dengan selain-Nya dan takkan menistakan dirinya kepada selain-Nya.

= Ta‘alluq =

Menghadap kepada Allah agar Dia memuliakanmu bersama orang-orang yang mulia di sisi-Nya dan menyingkirkan darimu kenistaan dan segala hal yang menyebabkannya.

= Takhalluq =

Memuliakan semua yang diperintah Allah untuk dimuliakan, seperti para nabi dan rasūl, para wali (kekasih)-Nya yang ‘ārif dan shāliḥ, bahkan semua orang yang menghamba pada Tuhan semesta alam.

Lalu, menistakan semua yang diperintahkan Allah untuk dinistakan, misalnya hawa nafsu, dalam rangka mentaati Tuhannya.

= Taḥaqquq =

Ketika perilakumu dilandasi karena Allah dan dari Allah, berarti engkau telah menjadi wakil-Nya. Pemulianmu berarti pemulian-Nya, penistaanmu berarti penistaan-Nya, dirimu telah lenyap (fanā’) dan tinggal (baqā’) dengan Tuhanmu. Allah pemilik keutamaan yang agung.

 

 

السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

As-Samī‘, Al-Bashīr

(Maha Mendengar, Maha Melihat)

 

Keduanya merupakan sifat tambahan pada sifat al-‘ilm dan disebutkan dalam al-Qur’ān, Sunnah, dan ijma‘. Pada hakikatnya, keduanya adalah sifat yang menjadi jalan tersingkapnya segala sesuatu yang dapat didengar dan dilihat, bahkan seluruh eksistensi yang mungkin (jā’izāt) dan yang wājib (wājibāt). Tidak ada satupun yang luput dari penglihatan-Nya. Pendengaran-Nya tidak terhalang oleh jarak, dan penglihatan-Nya tidak tercegah oleh gelap. Allah melihat tanpa mata dan mendengar tanpa telinga. Sifat-sifatNya takkan tergapai oleh pemahaman, begitu pula Dzāt suci-Nya. Ketidakmampuan memahami itulah pemahamanmu.

Orang yang mengetahui bahwa Allah adalah As-Samī‘ dan al-Bashīr, ia akan merasa selalu diawasi Allah dalam setiap gerak dan diamnya dan merasa malu terhadap-Nya dalam setiap ucapan kalimat dan pikiran.

Diriwayatkan bahwa ash-Shiddīq pernah berkata: “Aku mandi pada suatu malam yang gelap gulita dengan tetap menutupi punggung karena malu kepada Tuhanku.

‘Ulamā’ berpesan: “Bila engkau ingin bermaksiat kepada Tuhanmu, lakukanlah di tempat yang tidak terlihat oleh-Nya.”

Ketika seseorang mengetahui bahwa Tuhannya pasti mendengar semua perkataan dan melihat semua keadaan, ia pasti merasa cukup dengan pendengaran dan penglihatan-Nya ketimbang membantu dirinya sendiri. Sebab, bantuan Allah terhadapnya jauh lebih sempurna.

= Ta‘alluq =

Menghadap dan memohon kepada Tuhan agar bisa mendengar dan melihat semua perintah-Nya lewat mata bāthin dan bukti jelas dari-Nya.

= Takhalluq =

Engkau mesti bisa mendengar apa yang diperintahkan dan melihat apa yang dituntut darimu.

= Taḥaqquq =

Berusaha mendekatkan diri kepada-Nya sampai Dia mencintaimu sehingga engkau bisa mendengar dan melihat melalui-Nya. Jadi, engkau melihat dan mendengar dengan-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis qudsi. Itulah tanda alwilāyat-ulkubrā (kewalian tingkat tinggi). (92) Pada kondisi ruhani seperti ini, asy-Syusytarī menuturkan:

Dengan Allah aku berbicara,
dari Allah aku mendengar

Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk.

 

 

الْحَكَمُ الْعَدْلُ

Al-Ḥakam, Al-‘Adl

(Maha Menetapkan Hukum, Mahaadil)

 

Al-Ḥakam bermakna al-Ḥākim yang berarti penetap hukum bagi hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang menolak ketetapan-Nya (ar-Ra‘d [13]: 41).

Al-‘Adl berarti ketetapan hukum-Nya bersih dari kezhāliman, dan tindakan-Nya suci dari kesewenang-wenangan. Al-‘Adl berarti Allah berhak melakukan apapun sekehendak-Nya tanpa ada satu pun yang dapat menentang.

Orang yang mengetahui bahwa Allah adalah al-Ḥakam, ia takkan berpekara selain karena-Nya. Ia akan selalu rida atas apa pun ketetapan-Nya. Rasūlullāh s.a.w pernah berdoa: “Ya Allah, untuk-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, karena-Mu aku berkonflik, dan dengan ajaran-Mu aku menjatuhkan hukum.” (103)

Orang yang mengetahui bahwa Allah Mahaadil dalam setiap ketetapan-Nya, ia takkan merasa khawatir dan cemas dalam setiap keputusan-Nya. Ia justru akan menerima-Nya dengan lapang dada, apa pun itu.

Penulis at-Taḥbīr berkata: “Ketahuilah! Allah telah membuat ketetapan bagi hamba-hambaNya semenjak zaman azali sesuai kehendak-Nya. Di antara mereka ada yang sengsara dan bahagia, atau dekat dan jauh. Siapa saja yang ditetapkan mendapat kebahagiaan, maka ia takkan sengsara untuk selamanya, siapa pun yang dijauhkan oleh assawābiq (ketetapan Allah di zaman azali) maka ia takkan bisa mendekat lewat jalan apa pun, dan siapa saja yang didekatkan oleh as-sawābiq maka ia takkan bisa dijauhkan oleh para pencela.”

Dalam melihat ketentuan Allah manusia terbagi menjadi empat kelompok:

Pertama, Ashḥāb-us-Sawābiq, yaitu mereka yang pikirannya berenang di arus ketetapan azali Tuhan atas diri mereka. Mereka tahu ketepan azali-Nya takkan bisa diubah oleh upaya apa pun dan takkan bisa diraih dengan tipu daya atau sebab.

Kedua, Ashḥāb-ul-‘Awāqib, yaitu mereka yang pikirannya berenang dalam arus berakhirnya urusan mereka. Pasalnya, segala ‘amal bergantung pada akhirnya, sementara akhirnya masih tertutup dan tersembunyi. Karena itu, ada ‘ulamā’ yang berpesan: “Jangan terpedaya oleh waktu yang mudah, karena dibawahnya kesulitan-kesulitan bersembunyi. Bayang-bayang tahun tampak melalui kematian.”

Ketiga, Ashḥāb-ul-Waqt, yaitu mereka yang pikirannya berenang bukan di arus ketetapan azali Tuhan (sawābiq) atau arus berakhirnya segala urusan (‘awāqib) , melainkan di arus waktu. Mereka memprioritaskan waktu dan mengerjakan apa yang dibebankan ke pundak mereka pada saat itu juga. Karena itu, ‘ulamā’ mengatakan, “Orang ‘ārif (ahli ma‘rifat) adalah anak sang waktu.” ‘Ulamā’ lain berkata pula: “Shūfī adalah orang yang tidak memiliki masa lalu, tidak pula masa depan.

Keempat, Ashḥab-udz-Dzikri wa asy-Syuhūd. Mereka memprioritaskan penyaksian terhadap Tuhan (syuhūd) dan dzikir dengan memerhatikan waktu. Artinya, mereka tidak hanya melulu mementingkan waktu atau tempat, tidak pula hanya mengidamkan syuhūd pada waktu atau tempat tertentu. Kesibukan mereka tak terikat oleh waktu.

= Ta‘alluq dengan nama al-Ḥakam =

Memohon agar mampu menerima ketetapan-Nya dalam semua kondisi, percaya sepenuhnya kepada-Nya dalam segala hal, dan tidak mengeluh kecuali kepada-Nya.

Engkau mengklaim beraliran cinta, lalu engkau mengeluh
Di mana klaimmu atas cinta, katakanlah padaku, di mana?
Seandainya kami mendapatimu bersabar atas cobaan kami
Kami pasti memberimu apa pun yang engkau angankan

= Takhalluq =

Engkau mesti menjadi hakim (penentu ketetapan) yang adil bagi dirimu, hatimu, ruhmu dan orang lain. Allah berfirman: Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri (an-Nisā’ [4]: 135).

= Taḥaqquq =

Engkau mesti menjadi hakim karena Allah bukan karena selain-Nya. Jika itu terlaksana, berarti sirnamu (zawāl) telah terealisasi, lenyapmu (fanā’) telah sempurna, dan semayammu (baqā’) telah terwujud. Semua tindakanmu pun mencerminkan tindakan Allah, juga hukum yang engkau tetapkan dan perintah yang engkau berikan. Engkau menjadi salah satu mata Allah.

Hal tersebut seperti perkataan ‘Umar Ibn-ul- Khaththāb kepada seorang lelaki yang telah dipukul ‘Alī hingga kepalanya berdarah: “Engkau telah dihukum oleh salah satu mata Allah.” ‘Umar berkata demikian setelah bertanya kepada ‘Alī tentang alasannya memukul, dan ‘Alī menjawab; “Aku melihatnya bertikai melawan seorang perempuan, dan itu benar-benar menyakitiku.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa Abū Bakar pernah berkata: “Aku tidak menjatuhi qisas kepada orang-orang yang ditugasi Allah menahan manusia dari perbuatan buruk.” Semua itu ditujukan pada orang-orang yang bertindak semata-mata karena Allah dan yang mata batin mereka dapat melihat rahasia-rahasia Allah di dalam ciptaan dan kerajaan-Nya. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita lantaran mereka dan membuat kita melangkahkan kaki di jalan mereka. Amin.

= Ta‘alluq =

Meminta petunjuk dan arahan-Nya supaya engkau dapat meletakkan keadilan pada setiap keputusan hukum yang engkau buat, baik lewat ucapanmu maupun kemauan kerasmu (himmah), lalu bersikap moderat dalam setiap hal, takut atas kuasa keadilan-Nya, dan berharap memperoleh keadilan-Nya dan karunia-Nya.

= Takhalluq =

Berlaku adil dalam menetapkan setiap keputusan hukum dan bersikap adil dalam semua tindakan. Hendaknya keterpisahanmu (farq) tidak menghalangi kebersatuanmu (jam’) dan sebaliknya. Engkau mesti memberikan hak kepada orang yang berhak dan memberikan bagian kepada orang yang punya bagian.

= Taḥaqquq =

Meraih kondisi ghaibah (kegaiban diri) dari hukum dan keadilanmu dengan menenggelamkan diri ke dalam hukum dan keadilan Allah. Wallāhu a‘lam.

Catatan:

  1. 8). HR. Muslim (no. 295-179). Redaksinya: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak tidur. Dia meninggikan dan merendahkan timbangan ‘amal. ‘Amal pada waktu siang diangkat kepada-Nya pada waktu malam, dan amal pada waktu malam diangkat kepada-Nya pada waktu siang.”
  2. 9). Dalam riwayat al-Bukhārī dari Abū Hurairah disebutkan bahwa Rasūlullāh bersabda: Allah berfirman: “Siapa saja memusuhi wali Allah (kekasih)-Ku maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku cintai melebihi apa yang telah Aku wajibkan atas mereka. Hamba-Ku terus menerus-mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Seandainya ia meminta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti akan memberikannya. Andaikata ia memohon pertolongan-Ku, Aku pasti akan menolongnya. Aku tidak pernah ragu tentang sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa seorang mukmin. Ia membenci kematian dan Aku tidak suka membuatnya susah. (no. 6502)
  3. 10). HR. al-Bukhārī (no. 7383) dan Muslim (no. 68-2717). Dalam riwayat al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi pernah berdoa: “Ya Allah segala puji hanya milik-Mu. Engkaulah pemilik langit dan bumi. Segala puji hanya milik-Mu. Engkaulah penegak langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Segala puji hanya milik-Mu. Engkaulah cahaya langit dan bumi. Perkataan-Mu benar. Janji-Mu benar. Perjumpaan dengan-Mu benar. Surga benar. Neraka benar. Kiamat benar. Ya Allah, untuk-Mu aku berserah diri, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berpasrah, kepada-Mu aku kembali, karena-Mu aku berkonflik, dan dengan-Mu aku berurusan dengan hukum. Ampunilah dosaku pada masa lalu dan pada masa mendatang, yang aku perbuat secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Engkaulah Tuhanku, tidak ada Tuhan kecuali Engkau.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *