62. مَا بَسَقَتْ أَغْصَانُ ذُلٍّ إِلَّا عَلَى بِذْرِ طَمَعٍ.
Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali dari benih ketamakan.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Ibnu ‘Athā’illāh mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan-dahannya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Ibnu ‘Athā’illāh berkata: “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yang dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”
Ketamakan merupakan sikap tercela yang dapat merusak ‘ubūdiyyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah.
Oleh karena itu, ia kemudian berkata: “Jika ketamakan ditanya: “Siapa bapakmu?” Niscaya ia akan menjawab: “Keraguan terhadap takdir.” Jika ditanya: “Apa pekerjaanmu?” Ia menjawab: “Mencari kehinaan”. Jika ia ditanya: “Apa tujuanmu?” Ia menjawab: “Memiskinkan seseorang”.”
Ketamakan juga dapat merusak agama. Ketika ‘Alī ibn Abī Thālib mendapati para penutur kisah tengah bercerita banyak hal di Masjid Agung Bashrah, ia menyuruh mereka berdiri. Kemudian, ia mendatangi Ḥasan al-Bashrī (30-100 H) dan berkata: “Hai anak muda, aku akan menanyakan kepadamu satu hal. Jika kau mampu menjawabnya dengan tepat, kubiarkan kau di sini. Namun, jika kau salah, aku akan berdirikan kau seperti teman-temanmu itu.”
‘Alī memandang Ḥasan al-Bashrī. Dilihatnya pada diri pemuda tersebut tersimpan tanda petunjuk dan kecerdasan.
Ḥasan al-Bashrī pun menjawab: “Tanyalah semaumu!”
“Apa gerangan yang menjadi pengendali agama?” tanya ‘Alī kepadanya.
Ḥasan menjawab: “Sifat wara‘.”
‘Alī bertanya lagi: “Apa yang menjadi perusak agama?”
Ḥasan menjawab: “Sifat tamak.”
Kemudian, ‘Alī berkata: “Duduklah! Orang sepertimu layak berbicara di hadapan manusia. Wara‘ (menjauhi) ketamakan adalah wara‘-nya orang-orang khusus (khawwāsh). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara‘-nya orang-orang biasa (‘awām) yang baru sebatas meninggalkan perkara-perkara syubhat.”
63. مَا قَادَكَ شَيْءٌ مِثْلُ الْوَهْمِ.
Tak ada yang dapat mengendalikanmu sehebat angan-angan (waham).
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Angan-angan adalah sesuatu yang teramat buruk. Selain karena merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan-angan sebenarnya adalah perkara yang tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa selalu lebih tunduk kepadanya daripada kepada akal.
Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa takut kepada ular karena ia menyangka bahwa ular itu berbahaya. Bahkan, ia takut bila melihat seutas tali yang melingkar sebab ia mirip dengan ular. Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena segala hal yang ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.
Oleh sebab itu, tak seorang pun yang selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yang ada di tangan mereka, kecuali para ahli wara‘ dari kalangan khawwāsh. Mereka adalah orang-orang yang selalu qanā‘ah dan tawakkal. Di hati mereka tiada lagi hubungan antara makhluk. Mereka tidak lagi memedulikan rezeki.