49. لَا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضُوْرِكَ مَعَ اللهِ فِيْهِ. لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلَتِكَ فِيْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ فَعَسَى أَنْ يَرْفَعَكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ غَفْلَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ يَقَظَةٍ. وَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ يَقْظَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ حُضُوْرٍ وَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ حُضُوْرٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ غَيْبَةٍ عَمَّا سِوَى الْمَذْكُوْرِ وَ مَا ذلِكَ عَلَى اللهِ بِعَزِيْزٍ
Janganlah kau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah saat berzikir! Kelalaianmu dari zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaian di saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran; dari zikir yang disertai kesadaran menuju zikir yang disertai hadirnya hati; dari zikir yang disertai hadirnya hati menuju zikir yang mengabaikan selain yang diingat (Allah). “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (Ibrāhīm [14]: 20).
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Biasakan selalu berzikir karena zikir adalah jalan terdekat menuju Allah dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa yang diberi kesempatan berzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, jangan tinggalkan zikir. Jangan kau tinggalkan zikir lantaran merasa tidak bisa berkonsentrasi saat zikir akibat terlalu disibukkan dengan bisikan-bisikan setan dan hal-hal duniawi. Kelalaianmu untuk berzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berzikir. Karena meninggalkan zikir sama saja menjauhkan diri dari Allah, baik secara hati maupun lisan. Berbeda halnya dengan lalai saat berzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berzikir kepada Allah walaupun hatimu lalai saat zikir.
Semoga Allah menuntunmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran dan konsentrasi, dari zikir yang disertai kesadaran hati menuju zikir yang mengantarkan hati masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berzikir dan tidak lalai dari-Nya; dari zikir yang disertai kehadiran hati, menuju zikir yang meniadakan segala hal selain Allah, termasuk zikir itu sendiri sehingga tanpa disadarinya, ia keluar dari zikirnya. Pada satu itulah, Tuhannya akan menjadi lisan yang digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannyalah yang bergerak. Saat mendengar, Tuhannyalah yang menjadi pendengarannya.
Mungkin, kondisi seperti itu tampak tidak masuk di akal, tetapi itu benar-benar terjadi. Kondisi seperti itu hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh para sālik. Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama orang-orang yang binasa.
Dalam hikmah ini, Ibnu ‘Athā’illāh juga melarang seorang murīd untuk putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqām semacam itu. Maka dari itu, ia pun menyitir firman Allah: “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (Ibrāhīm [14]: 20) karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab-sebab, sedangkan hasilnya menjadi urusan Allah.