45. لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَ لَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ
Jangan kau temani orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Seorang murīd dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yang membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah.
Misalnya, orang yang tekadnya tinggi yang senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap perkara tidak bertawakkal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa-apa, tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara‘, tanpa melebih-lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang-orang ‘ārif yang mengenal Allah.
Menemani orang-orang seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.
Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Ibnu ‘Atha’illah memberikan nasihatnya melalui hikmah berikut:
46. رُبَّمَا كُنْتَ مُسِيْئًا فَأَرَاكَ الْإِحْسَانَ مِنْكَ صُحْبَتُكَ مَنْ هُوَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْكَ
Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang yang lebih buruk daripada dirimu.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Artinya, berteman dengan orang yang kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikan. Itu adalah pangkal segala keburukan.
Boleh saja kau berteman dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu.
Di sini Ibnu ‘Atha’illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang ‘ārif terbagi menjadi dua: pertemanan yang didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah.
Pertemanan yang didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murīd dengan syeikh atau gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat.
Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah bagaimana ia berpegang pada batasan-batasan syara‘. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqām yang telah mereka raih.