43. لَا تَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلَى كَوْنٍ فَتَكُوْنُ كَحِمَارِ الرَّحَى يَسِيْرُ وَ الْمَكَانُ الَّذِي ارْتَحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِي ارْتَحَلَ مِنْهُ وَ لكِنِ ارْحَلْ مِنَ الْأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ وَ إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى.
Jangan kau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga kau menjadi seperti keledai penggilingan yang berputar-putar; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Namun, pergilah dari alam menuju Pencipta alam. “Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.” (an-Najm [53]: 42).
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Maksudnya adalah beramal disertai dengan sifat riya’ atau sifat-sifat tercela lainnya dan tidak bernilai syar‘i. Jika seorang murid ber-mujāhadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela, tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih dianggap tercela di mata para ‘ārif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya karena Allah semata.
Ibnu ‘Athā’illāh mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang tidak ditujukan karena Allah. Orang yang beramal demi mengharap pahala, misalnya, dianggap sebagai orang yang bepergian dari satu alam, yakni alam riyā’, menuju alam lain, yakni alam pahala. Semua alam adalah sama, sama-sama materi.
Yang benar adalah kau harus pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqam tertentu maka dia akan menjadi budak kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah semata maka dia akan menjadi hamba Allah. Ini sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipat alam.
“Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan.” Maksudnya, perjalananmu akan berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah dan ia tidak pernah akan sampai kepada-Nya.
44. وَ انْظُرْ إِلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. فَافْهَمْ قَوْلَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ وَ تَأَمَّلْ هذَا الْأَمْرَ إِنْ كُنْتَ ذَا فَهْمٍ
Dengarlah sabda Rasūlullāh: “Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” Pahamilah sabda Rasūlullāh ini dan perhatikan hal tersebut jika kau memiliki kecerdasan dan pemahaman.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Hadis ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasūl-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.
Sabda beliau: “maka hijrahnya kepada Allah dan Rasūl-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan “maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak ke mana-mana dan hanya berputar-putar di tempat.
Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Ḥaqq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ‘ārif yang mengenal Allah.