41. إِنْ لَمْ تُحْسِنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ حُسْنِ وَصْفِهِ فَحَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِوُجُوْدِ مُعَامَلَتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ إِلَّا حَسَنًا وَ هَلْ أَسْدى إِلَيْكَ إِلَّا مِنَنًا
Jika kau tidak bisa berbaik-sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifatNya, berbaik-sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Dalam hikmah ini, Ibnu ‘Atha’illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam.
Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifatNya yang baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqām tersebut. Ibnu ‘Atha’illah seakan berkata: “Wahai murīd, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara muthlak, baik itu atas manfaat yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqām orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqām orang awam. Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifatNya akan menumbuhkan cinta dan tawakkal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya.”
42. الْعَجَبُ كُلُّ الْعَجَبِ مِمَّنْ يَهْرَبُ مِمَّا لَا انْفِكَاكَ لَهُ عَنْهُ وَ يَطْلُبُ مَا لَا بَقَاءَ لَهُ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَ لكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal: “Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada.”
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Sungguh mengherankan! Orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu.
Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih mengutamakan yang fanā’ daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu.