Bab V
Sebelumnya mereka bersepakat bahwa tayammum bisa dilakukan dengan menggunakan tanah yang baik, lalu mereka berbeda pendapat pada selain tanah dari berbagai unsur lain dari tanah, seperti batu.
Pertama: Ragam makna yang terkandung dalam kata (الصَّعِيْدُ) terkadang bermakna debu murni dan terkadang bermakna segala macam bagian bumi yang nampak, bahkan dalam satu riwayat Mālik dan para pengikutnya, memahami bahwa dari asal kata (الصَّعِيْدُ) menunjukkan bolehnya melakukan tayammum menggunakan rumput dan salju, dinamakan (الصَّعِيْدُ) karena berada di permukaan bumi, akan tetapi ini adalah pendapat yang lemah.
Kedua: Menyebutkan kata bumi secara mutlak ketika menjelaskan bolehnya bertayammum dalam salah satu riwayat hadits yang masyhur, dan terkadang dibatasi dengan kata tanah pada riwayat yang lainnya, seperti sabda Nabi s.a.w.:
جُعِلْتُ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا مَا لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ.
“Bumi telah dijadikan untukku sebagai masjid dan sarana bersuci, selama tidak mendapatkan air.”
Demikianlah dalam sebagian riwayat, sementara dalam riwayat yang lainnya:
جُعِلْتُ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ جُعِلْتُ لِيْ تُرْبَتُهَا طَهُوْرًا.
“Bumi telah dijadikan untukku sebagai masjid dan tanahnya dijadikan untukku sebagai sarana bersuci.” (1331).
Lalu para ulama ushul fikih berbeda pendapat apakah yang mutlak (muthlaq) dipahami secara muqayyad ataukah yang muqayyad dipahami secara mutlak (muthlaq)? Yang masyhur menurut mereka adalah bahwasanya yang mutlak (muthlaq) dipahami secara muqayyad, hanya saja pendapat ini perlu diteliti kembali.
Abū Muḥammad bin Ḥazm berpendapat bahwa yang mutlak (muthlaq) harus dipahami secara muqayyad, karena dalam sesuatu yang mutlak (muthlaq) terdapat tambahan makna.
Lalu kelompok yang membawa sesuatu yang mutlak (muthlaq) kepada pemahaman muqayyad dan memahami kata (الصَّعِيْدُ) dengan debu, maka ia tidak boleh bertayammum kecuali dengan debu.
Sementara yang menarik muqayyad kepada mutlak (muthlaq) dan memahami kata (الصَّعِيْدُ) dengan segala sesuatu yang berada di permukaan bumi, maka ia boleh bertayammum dengan unsur pasir dan kerikil.
Adapun pembolehan bertayammmum dengan segala sesuatu yang termasuk bagian dari unsur tanah adalah pendapat yang dha‘īf, karena tidak semuanya terkandung dalam lafazh (الصَّعِيْدُ). Karena keumuman kata (الصَّعِيْدُ) adalah semua yang menunjukkan arti tanah, tidak berlaku untuk unsur kapur, es, atau rumput, wallāhu a‘lam.
Demikian pula ragam makna yang terdapat pada lafazh (الطَّيِّبُ) menjadi salah satu faktor adanya perbedaan pendapat.
فُضِّلْتُ عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ، جُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا لَنَا مَسْجِدًا، وَ جُعِلَ تَرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ، وَ جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ الْمَلَائِكَةِ، وَ أُتِيْتُ هؤُلَاءِ الْآيَاتِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ لَمْ يُعْطَ مِثْلَهُ أَحَدٌ قَبْلِيْ وَ لَا أَحَدٌ بَعْدِيْ.
“Aku diberikan keutamaan atas manusia yang lainnya dengan tiga hal, semua bumi dijadikan untuk kita sebagai masjid, tanahnya dijadikan sarana bersuci untuk kita apabila kita tidak mendapatkan air, dan shaf-shaf kita dijadikan seperti shaf para malaikat, demikian pula aku diberikan beberapa ayat di akhir surah al-Baqarah yang termasuk simpanan di bawah ‘arsy yang tidak diberikan sepertinya kepada seorang pun sebelum dan sesudahku.” HR. Aḥmad (5/383), Muslim (522), ath-Thayālisī (418), Abū ‘Awānah (1/303) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Baihaqī (263, 264), dan diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (1/213).