4-4-5 Tahapan Godaan – Berbagai Kesengsaraan & Musibah | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 004 Tahapan Godaan - Minhaj-ul-Abidin

Adapun ridhā’ kepada ketentuan Allah (qadhā’), terdapat dua pokok masalah penting, tidak lebih yang harus anda renungkan, yaitu:

Pertama: Di dalam keridhā’an, terdapat dua keuntungan dan manfaat seketika itu dan kemudian di kemudian hari.

Manfaat seketika, hati menjadi bersih dan kesedihan akan hal-hal yang tidak berguna, menjadi sangat minim. Sebagian orang yang zuhud berkata: “Apabila qadar Allah itu benar, maka prihatin itu termasuk sikap berlebihan yang tidak ada gunanya.” Asal ucapan ini adalah kabar yang diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau pernah bersabda kepada Ibnu Mas‘ūd r.a.:

لِيَقِلَّ هَمَّكَ وَ مَا قُدِّرَ يَكُنْ وَ مَا لَمْ يُقَدَّرْ لَمْ يَأْتِيْكَ

Artinya:

Kurangi kesedihan anda seminim mungkin (jangan gelisah). Karena apa yang telah ditakdirkan Allah pasti terjadi. Dan apa yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan datang kepada anda.

Sabda Nabi tersebut, singkat, namun padat penuh makna.

Sedangkan manfaat di hari kemudian, yaitu pahala dan keridhā’an Allah.

Allah s.w.t. berfirman:

رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ

Artinya:

Allah ridhā’ terhadap mereka, dan mereka pun ridhā’ terhadap-Nya.” (at-Taubah: 100).

Kebencian (ketidakrelaan terhadap ketentuan Allah), hanyalah akan mendatangkan kesedihan dan kegelisahan serta kejenuhan dan kekesalan, juga mendatangkan dosa dan siksa di hari kemudian. Karena ketentuan Allah pasti terjadi, tidak bisa menyingkir lantaran kesedihan dan kebencian anda. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

مَا قَدْ قُضِيَ يَا نَفْسُ فَاصْطَبِرِيْ لَهُ

وَ لَكَ الأَمَانُ مِنَ الَّذِيْ لَمْ يُقْدَرْ

وَ تَحَفَّقِيْ أَنَّ الْمُقَدِّرَ كَائِنٌ

حَتْمًا عَلَيْكَ صَبَرْتِ أَمْ لَمْ تَصْبِرِيْ

Wahai nafsu terhadap qadhā’, terimalah dengan penuh kesabaran

Kamu akan aman dari apa-apa yang tidak ditakdirkan.

Yakinlah bahwa segala apa yang ditakdirkan pasti terjadi

Baik kamu bersabar maupun tidak.

Bagi orang yang berakal sehat, tentu tidak akan memilih kesedihan yang tiada guna, bahkan mendatangkan dosa dan siksa dengan mengalahkan kenyamanan hati dan pahala surga.

Kedua: kebencian terhadap qadhā’ Allah mengandung bahaya yang sangat besar, kekafiran dan kemunafikan. Kecuali, jika mendapatkan rahmat dari Allah.

Renungkanlah firman Allah s.w.t.:

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Artinya:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisā’: 65)

Dalam ayat ini, Allah meniadakan iman dan bersumpah atas ketiadaan iman dari orang yang membenci keputusan utusan Allah dan ia dapatkan kesempitan di hatinya. Lalu bagaimanakah keadaan orang yang membenci qadhā’ Allah?

Telah diriwayatkan di dalam hadis qudsi, bahwa Allah s.w.t. berfirman:

مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ وَ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلاَئِيْ وَ لَمْ يَشْكُرْ عَلَى نَعْمَائِيْ فَلْيَتَّخِذْ إِلَهًا سِوَائِيْ

Artinya:

Barang siapa tidak ridhā’ terhadap qadhā’-Ku, tidak bersabar menghadapi cobaan-Ku dan tidak bersyukur atas nikmat-Ku, maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.

Ada yang berkata bahwa seakan-akan Allah menyatakan: “Orang ini tidak ridhā’ terhadap-Ku sebagai Tuhan, ketika ia membenci qadhā’, maka hendaklah ia mencari tuhan lain yang ia ridhā’i.”

Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut, merupakan ancaman keras bagi orang yang mau berpikir.

Sungguh benar jawaban ulama salaf ketika ditanya tentang makna ‘Ubūdiyah (kehambaan) dan Rubūbiyah (ketuhanan). Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, ia berkata: “Bagi Tuhan, hak penetapan qadhā’, sementara bagi hamba keharusan menerimanya dengan penuh kerelaan (ridhā’). Jadi, apabila Tuhan telah memberikan suatu ketetapan (qadhā’), tetapi hamba tidak ridhā’, maka tidak ada kehambaan dan tidak pula ada ketuhanan.”

Sedangkan sabar adalah obat yang pahit dan minuman yang tidak disukai, tetapi penuh berkah, mendatangkan kemanfaatan dan menolak segala bahaya.

Apabila obat dengan sifatnya yang demikian itu, maka manusia berakal pasti mau memaksa nafsunya untuk meminum dan menelannya, menahan pahit dan baunya yang menyengat, serta mengatakan: “Pahit sebentar, namun enak setahun.”

Sedangkan berbagai manfaat yang didapat dari sikap sabar, maka ketahuilah bahwa sabar itu ada empat macam, yaitu:

  1. Sabar menjalankan ketaatan.
  2. Sabar menahan diri dari maksiat.
  3. Sabar menahan diri dari mengambil harta dunia secara berlebihan.
  4. Sabar menghadapi cobaan dan musibah.

Apabila seseorang kuat menahan kepahitan bersabar dan bisa tetap berada dalam empat macam kesabaran itu, maka ia dapat melakukan taat, bisa istiqāmah dan memperoleh pahala yang besar di akhirat. Dan juga tidak mudah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat dan bencananya di dunia serta bencana yang menyertainya di akhirat. Tidak pula dicoba dengan mencari dunia dan apa yang menjadi rangkaiannya, yaitu sibuk bekerja di dunia serta menanggung apa yang mengikutinya di akhirat. Lalu tidak pula dilebur pahala amal yang ada hubungannya dengan cobaan dari Allah. Sehingga dengan sebab kesabaran dalam menjalankan ketaatan itu, berhasil mencapai derajat dan kedudukannya yang mulia, dapat mencapai ketakwaan, zuhud, memperoleh ganti yang baik dan pahala yang besar dari Allah. Mengenai rincian kejelasan besarnya pahala itu merupakan suatu perkara yang tidak seorang pun mengetahuinya, kecuali Allah.

Sedangkan tertolaknya bahaya itu adalah pertama kali orang yang bersabar dapat mengistirahatkan dirinya dari kesukaran, keluh-kesah, kepayahan di dunia, dan terlepas dari beban dosa dan siksaan di akhirat.

Ada pun jika seseorang lemah, tidak bisa bersabar dan tetap menempuh jalan keluh-kesah, tidak akan mendapatkan berbagai manfaat dari sikap bersabar. Ia akan tertimpa bahaya, dikarenakan tidak mau bersabar menanggung kesulitan-kesulitan dalam melakukan taat. Ia tidak mau melakukan taat dan tidak bersabar menjaganya, sehingga menyebabkan ketaatan itu menjadi lebur; atau ia tidak sabar menjalankan ketaatan secara terus-menerus dan langgeng, hingga menyebabkannya tidak bisa sampai pada kedudukan yang mulia dari derajat istiqamah; tidak bisa sampai pada kedudukan yang mulia dari derajat istiqamah; atau tidak sabar menghadapi maksiat yang menyebabkan terjerumus ke dalam perbuatan maksiat; atau tidak sabar menghindarkan diri dari sikap hidup berlebihan, yang menyebabkannya sibuk dengan urusannya itu; atau tidak sabar menghadapi bencana, yang menyebabkannya terhalang dari pahala sabar, kadang-kadang memperbanyak keluh-kesah, sehingga menyebabkan tidak mendapatkan ganti yang lebih baik dari musibah yang menimpanya. Dengan begitu, ia menanggung dua musibah, yaitu terlepasnya suatu keutamaan bersabar, kehilangan pahalanya dan tidak memperoleh ganti, terlilit oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, dan terhalangnya kesabaran.

Dikatakan: “Terhalangnya sabar menghadapi musibah itu lebih sakit daripada musibah itu sendiri.

Lalu apa faedahnya sesuatu yang menghilangkan perkara yang telah ada dan tidak dapat mengembalikan apa yang sudah hilang, kepada anda? Karena itu, bersungguh-sungguhlah, apabila anda kehilangan salah satunya, jangan sampai yang satunya juga terlepas.

Di antara perkataan yang bijak dan penuh makna, yaitu sebagaimana apa yang diterangkan oleh sebagian ulama, bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah menghibur seseorang, seraya berkata: “Jika anda bersabar, takdir Allah tetap berjalan, dan anda memperoleh pahala. Dan jika anda berkeluh-kesah, takdir Allah juga tetap berjalan, tetapi anda menanggung dosa.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *