(Pasal): Selanjutnya, aku akan mengemukakan faedah penting yang menurut pendapatku, akan dapat mengisi ruang hati anda. Jika anda mau menyimak, merenungkan dan mengingat-ingatnya, kiranya bab ini cukup sebagai modal untuk menemukan kejelasan akan kebenaran. Semoga Allah s.w.t. memberikan petunjuk kepada kita.
Pertama: Ketahuilah bahwa Allah menanggung rezeki hamba-Nya, sebagaimana telah ditegaskan di dalam kitab suci al-Qur’ān. Sungguh Allah menanggung dan menjamin rezeki anda.
Apa yang anda katakan seandainya anda diberi janji oleh seorang raja dunia, bahwa ia akan menjamu anda nanti malam, dan mengajak anda makan. Sementara anda berbaik sangka kepadanya, bahwa raja itu benar, tidak berbohong dan tidak pula akan menyalahi janji? Bahkan, seandainya ada pedagang pasar menjanjikan hal tersebut kepada anda, atau orang Yahudi, atau orang Nasrani, atau orang Majusi, sementara secara lahir anda tidak kenal dan tidak tahu, tapi ajakan dan janji itu keluar dari mulutnya. Apakah anda tidak percaya kepada orang yang menjanjikan kepada anda itu? Apakah hati anda tidak tenteram dengan ucapannya? Apakah anda tidak memperhatikan jamuan makan malam itu?
Lalu bagaimana halnya dengan sikap anda, jika Allah yang menjanjikan kepada anda untuk menanggung dan menjamin rezeki anda. Bahkan Allah bersumpah berkali-kali melalui firman-Nya di dalam al-Qur’ān. Sementara anda tidak merasa tenteram dengan janji Allah itu, tidak tenang terhadap firman dan jaminan-Nya, tidak memperhatikan sumpah-Nya, melainkan hati anda justru goyah, gelisah dan prihatin. Maka alangkah besarnya aib itu, seandainya anda tahu keadaan yang sebenarnya.
‘Alī bin Abī Thālib r.a. berkata melalui bait-bait syairnya berikut ini:
أتَطْلُبُ رِزْقَ اللهِ مِنْ عِنْدِ غَيْرِهِ
وَ تُصْبِحُ مِنْ خَوْفِ الْعَوَاقِبِ آمِنًا
وَ تَرْضَى بِصَرَّافٍ وَ إِنْ كَانَ مُشْرِكًا
ضَمِيْنًا وَ لاَ تَرْضَى بِرَبِّكَ ضَامِنًا
كَأَنَّكَ لَمْ تَقْرَأْ بِمَا فِيْ كِتَابِهِ
فَأَصْبَحْتَ مَنْحُوْلَ الْيَقِيْنِ مُبَايِنًا.
“Pantaskah kamu mencari rezeki Allah dari selain-Nya?
Sementara kamu merasa aman menanggung akibatnya yang berbahaya.
Patutkah kamu ridha’ kepada penukar uang meskipun ia orang musyrik
Yang kamu percayai sebagai penanggung rezekimu sementara kamu tidak ridha’ terhadap Tuhan sebagai Penanggung rezekimu.
Seakan-akan kamu belum membaca kitab Allah saja
Hingga kamu menjadi orang yang lemah dan nyata-nyata jauh dari keyakinan.”
Dalam konteks makna inilah, masalah tersebut ini menjadi terseret pada keraguan dan ketidakjelasan. Sehingga pelakunya, berada pada posisi yang sangat mengkhawatirkan dan menakutkan. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari terlepasnya kema‘rifahan dan keimanan.
Sehubungan dengan hal itu, Allah s.w.t. berfirman:
وَ عَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya:
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (al-Mā’idah: 23).
وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
Artinya:
“Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus tawakkal.” (at-Taubah: 51).
Bagi orang mukmin yang peduli dengan urusan agamanya, firman Allah itu cukup menjadi peringatan baginya. Tidak ada daya dan kekuatan, melainkan datangnya dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Kedua: Anda harus tahu, bahwa rezeki itu telah dibagi oleh Allah sebelum anda diciptakan Tuhan dan sebelum anda lahir di bumi. Hal itu sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur’ān dan hadis-hadis Nabi s.a.w. Dan anda juga harus tahu pula bahwa pembagian Allah itu tidak akan berubah. Jika anda ingkar terhadap pembagian Allah, atau menganggap mungkin terjadinya perubahan pembagian rezeki Allah, berarti anda mengetuk pintu kekafiran. Kita berlindung kepada Allah dari kekeliruan semacam itu.
Ketika anda telah mengetahui, bahwa pembagian rezeki itu adalah sesuatu yang haq dan tidak akan berubah, maka apa perlunya memperhatikan dan mencari-carinya? Tidak ada gunanya, melainkan hanya menghasilkan kehinaan di dunia, serta penderitaan dan kerugian di akhirat.
Oleh sebab itu, Nabi s.a.w. bersabda:
مَكْتُوْبٌ عَلَى ظَهْرِ الْحُوْتِ وَ الثَّوْرِ رِزْقُ فُلاَنٍ فَلاَ يَزْدَادُ الْحَرِيْصُ إِلاَّ جَهْدًا.
Artinya:
“Tertulis di atas punggung ikan dan sapi bahwa rezeki si Fulan, maka, orang yang sangat rakus tidak akan memperoleh tambahan apa pun, kecuali kepayahan.”
Berkaitan dengan hal tersebut, guruku berkata: “Apa yang telah ditentukan bagi anda untuk anda kunyah, tentu tidak akan dikunyah oleh orang lain. Karena itu, makanlah rezeki anda dengan suka dan kerelaan, janganlah memakannya dengan kehinaan diri anda.”
Keterangan ini tentu memuaskan bagi orang-orang besar yang baik budi.
Ketiga: Adalah apa yang pernah aku dengar dari Syaikh al-Imām, bahwa diceritakan dari al-Ustādz Abū Isḥāq – raḥimahullāh – bahwa ia berkata, sesungguhnya di antara perkara yang memuaskanku mengenai urusan rezeki adalah aku mengingat-ingat dan mengucap dalam hati: “Apakah rezeki itu perlu untuk hidup? Sementara orang yang mati tidak membutuhkan rezeki. Apabila hidup hamba itu berada dalam gudang Allah dan dalam kekuasaan-Nya, maka begitu pula rezeki. Jika Allah berkehendak, pasti Allah memberiku, dan kalau Allah berkehendak lain, bisa saja Dia mencegah datangnya rezeki kepadaku. Rezeki itu perkara samar bagiku, terserah kepada Allah. Allah berwenang mengatur rezeki menurut apa yang Dia kehendaki. Dan hatiku tenteram dengan hal itu.”
Keterangan merupakan faedah yang halus, lagi pula memuaskan bagi ahli hakikat.
Keempat: Sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam pasal ini, yaitu bahwa Allah benar-benar menjamin rezeki hamba-Nya dan Dia tidak menjamin kecuali rezeki madhmūn (yang dijamin), yaitu bahan penguat dan pokok bekal hidup.
Adapun sebab-sebab, di antaranya seperti makanan dan minuman, maka apabila hamba mencurahkan segala potensinya hanya untuk beribadah kepada Allah dan tawakkal kepada-Nya, maka boleh jadi sebab-sebab itu jadi ditahan. Namun, ia tidak peduli akan hal tersebut dan tidak pula jemu. Sebab, ia sudah mengetahui hakikat urusan, bahwa jaminan Allah adalah demi tegaknya tubuh, dan tawakkal kepada Allah hanyalah berhubungan dengan tegaknya tubuh ini, tidak ada lain. Yang ditunggu dari Allah adalah arti semacam ini. Dan Allah pasti memberikan bantuan kekuatan, agar hamba melaksanakan kewajiban ibadah dan berkhidmah kepada-Nya, selama ia masih hidup dan masih ada tuntutan beribadah. Inilah yang dimaksud dari hal tersebut. dan Allah Maha Kuasa mengadakan apa yang dikehendaki. Jika Allah berkehendak, bisa saja Dia menegakkan tubuh hamba-Nya dengan makanan, minuman, tanah basah, tanah kering, atau dengan tasbih dan tahlil seperti para Malaikat. Jika Dia berkehendak, bisa saja menegakkan tubuh hamba-Nya tanpa itu semua. Karena, yang dituntut hamba hanyalah tegaknya tubuh dan kuatnya melakukan ibadah, bukannya makan dan minum, serta bergolaknya syahwat dan kesenangan. Dengan begitu, maka sebab-sebab tersebut tidak diperlukan dan tidak berarti apa-apa.
Atas dasar makna semacam itulah, orang-orang yang tekun beribadah dan orang-orang yang zuhud kuat bepergian jauh, serta melipat malam dan siang. Di antara mereka ada yang tidak makan selama sepuluh hari, ada yang tidak makan selama sebulan dan ada yang tidak makan selama dua bulan, sementara ia tetap kuat bertahan hidup dan beribadah. Bahkan, ada pula yang menelan pasir, lalu dijadikan bahan penguat oleh Allah,” sebagaimana yang diceritakan oleh Sufyān ats-Tsaurī: Beliau kehabisan bekal di Makkah, selama lima belas hari dan beliau hanya menelan pasir.
Abū Mu‘āwiyah al-Aswad berkata: “Aku pernah melihat Ibrāhīm bin Adham makan tanah basah selama dua puluh hari.”
Al-A‘masy berkata bahwa Ibrāhīm at-Taimī pernah berkata kepadaku: “Sudah satu bulan aku tidak makan.” Aku bertanya: “Sudah sebulan?” Ia menjawab: “Sebenarnya sudah dua bulan, hanya saja ada orang yang memaksaku dengan bersumpah-sumpah demi Allah, agar aku memakan setangkai anggur, maka aku memakannya, tetapi perutku justru jadi sakit.”
Anda tidak perlu heran terhadap hal-hal tersebut. Sebab, Allah Maha Kuasa mengadakan apa saja yang Dia kehendaki. Misalnya, orang sakit yang tidak makan selama satu bulan, ternyata, ia masih bertahan hidup. Padahal, kondisi ketahanan tubuh orang sakit lebih lemah dibandingkan orang-orang sehat. Adapun orang yang mati kelaparan, pada dasarnya karena ajalnya memang sudah saatnya tiba, sama halnya dengan orang yang mati karena kekenyangan.
Aku pernah mendengar kabar dari Abū Sa‘īd al-Kharrāz – raḥimahullāh – beliau berkata: “Adalah keadaanku bersama Allah, setiap tiga hari diberi makan sekali. Dalam perjalananku di padang pasir selama tiga hari aku belum makan. Pada hari keempat, badanku terasa lemah, dan aku terduduk. Tiba-tiba aku mendengar suara: “Wahai Abū Sa‘ad, mana yang lebih kamu sukai, makanan atau kekuatan?” Jawabku: “Aku hanya menyukai kekuatan.” Lalu seketika aku kuat berdiri. Tidak makan selama tiga hari itu, kuanggap hanya sebentar. Aku bermukim di tempat tersebut selama dua belas hari tanpa makan, tetapi tidak merasa sakit.”
Sedangkan apabila seorang hamba melihat tertahannya sebab yang membuatnya bisa kuat, darinya dan mengetahui kekuatan tawakkal kepada Allah dalam dirinya, maka hendaklah yakin bahwa ia akan diberi kekuatan. Jadi, janganlah sekali-kali merasa jenuh terhadap tertahannya sebab, bahkan seharusnya ia banyak bersyukur kepada Allah atas tertahannya sebab itu. Karena Allah, telah memberikan karunia dan perlakuan yang halus. Allah telah menghilangkan kesulitan dari orang itu dan memberikan pertolongan, bisa menghasilkan pokok dan maksudnya, menolak perkara yang memberatkan dan merobek hubungan-hubungan kebiasaan, memperlihatkan kepadanya jalan kepuasan, menyerupakan keadaannya dengan keadaan malaikat (tanpa makan) dan mengangkatnya dari keadaan derajat binatang dan manusia kebanyakan pada derajat kemuliaan kekeramatan.
Renungkanlah, pokok-pokok keterangan yang penting ini, mudah-mudahan anda memperoleh keberuntungan yang besar, in syā’ Allāh.