Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa kali hendaknya seseorang menepukkan tangannya ke tanah ketika bertayammum:
Di antara yang berpendapat dua kali ada yang mengatakan satu usapan untuk wajah dan satu usapan untuk kedua tangan, ini adalah pendapat jumhur (jika saya mengatakan “jumhur” maka yang dimaksud adalah tiga ulama fikih yang mumpuni, yakni Mālik, Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah).
Di antara mereka ada juga yang berpendapat dua kali untuk masing-masing (dua kali untuk wajah dan dua kali untuk kedua tangan).
Sebab perbedaan pendapat: Ayat-ayat yang menjelaskan hal itu masih bersifat mujmal dan hadits-hadits yang ada saling bertentangan, serta mengqiyāskan tayammum kepada wudhu’ dalam berbagai kondisinya tidak disepakati oleh seluruh kalangan ulama.
Adapun yang dijelaskan dalam hadits ‘Ammār yang shahih hanyalah satu usapan untuk wajah dan dua telapak tangan sekaligus, akan tetapi ada juga beberapa hadits yang menjelaskan dua usapan, maka jumhur menguatkan hadits-hadits tersebut dengan dukungan qiyās.
Syāfi‘ī berbeda pendapat dengan Abū Ḥanīfah, Mālik dan yang lainnya mengenai sampainya tanah/debu ke seluruh anggota tayammum.
Abū Ḥanīfah, dan Mālik berpendapat bahwa sampainya debu ke seluruh anggota wudhu’ adalah tidak wajib, sementara Syāfi‘ī menganggapnya wajib.
Sebab perbedaan pendapat: Ragam makna yang terkandung pada lafazh (مِنْ) dalam firman-Nya:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ مِنْهُ.
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Jelasnya lafazh (مِنْ) terkadang mengandung makna “sebagian”, dan terkadang ditujukan untuk membedakan jenis, kelompok yang menyatakan bahwa (مِنْ) di sini mengandung makna “sebagian” berpendapat wajib meratakan tanah ke seluruh anggota tayammum, sementara yang menyatakan bahwa (مِنْ) berfungsi untuk membedakan antar jenis berpendapat tidak wajib.
Syāfi‘ī memperkuat makna “sebagian” dari sisi qiyās tayammum kepada wudhu’, namun bertentangan dengan hadits ‘Ammār yang terdahulu, karena di dalamnya terdapat ungkapan: “Kemudian kamu meniupkannya” demikian pula berdalil dengan wudhu’nya Rasūlullāh s.a.w. ke tembok.
Perbedaan pendapat dalam masalah wajibnya “tertib” dalam tayammum, dan wajibnya terus-menerus adalah sama dengan perbedaan pendapat tentang masalah tersebut dalam wudhu’, sebab-sebab perbedaan yang ada di sana sama dengan sebab-sebab perbedaan yang ada di sini, maka tidak perlu diulang.