Bab IV
Ada tiga masalah pokok yang berkaitan dengan tata cara tayammum:
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan wajib mengusap kedua tangan ketika bertayammum sesuai yang tertera dalam firman-Nya:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ مِنْهُ.
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Pendapat ulama mengenai hal ini terbagi menjadi 4 pendapat:
Pertama: ragam makna dari kata (الْيَدُ) “tangan” dalam bahasa ‘Arab.
Maksudnya kata (الْيَدُ) dalam bahasa ‘Arab mengandung tiga makna:
Hanya untuk telapak tangan dan ini adalah makna yang paling jelas dan paling banyak dipergunakan.
Telapak tangan dan lengan.
Telapak tangan, lengan dan lengan bagian atas.
Kedua: berbedanya atsar-atsar yang menjelaskan hal itu. Hadits ‘Ammār yang masyhur dan diriwayatkan dari jalan yang tsābit, redaksinya adalah:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ، بِيَدِكَ، ثُمَّ تَنْفُخَ فِيْهَا، ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَ كَفَّيْكَ.
“Cukup bagimu menepukkan tanganmu (ke tanah), lalu meniupkannya, kemudian kamu usapkan ke wajahmu dan kedua telapak tanganmu.” (1291)
Dalam sebagian riwayat dinyatakan, Nabi s.a.w. bersabda:
وَ أَنْ تَمْسَحَ بِيَدَيْكَ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Dan hendaklah kamu mengusap kedua tangamu sampai kedua siku.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Nabi s.a.w. pernah bersabda:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ.
“Tayammum itu terdiri dari dua tepukan (pada tanah), satu tepukan untuk (diusapkan) ke muka dan tepukan kedua ke kedua tangan sampai dua siku.” (1302).
Diriwayatkan pula dari jalur Ibnu ‘Abbās dan lainnya. (1313).
Jumhur lebih memperkuat hadits-hadits ini daripada hadits ‘Ammār yang tsābit dengan dukungan qiyās (yakni dari sisi mengqiyāskan tayammum kepada wudhu’).
Dengan demikian hal ini telah mengalihkan mereka tentang makna (الْيَدُ) dari makna yang lebih zhāhir, yakni telapak tangan kepada makna telapak tangan dan lengan.
Ulama yang berpendapat bahwa lafazh (الْيَدُ) mengandung dua arti dengan tingkatan yang sama, adalah salah, karena kata (الْيَدُ) walaupun merupakan lafazh yang mengandung ragam makna, hanya saja hakikatnya adalah telapak tangan, sementara makna telapak tangan dan lengan adalah majaz, dan tidak semua isim musytarak itu bersifat mujmal, melainkan isim musytarak yang mujmal adalah yang diletakkan dari awal bahwa ia adalah isim musytarak. Karena itulah para ulama fikih berkata: “Tidak benar berdalil dengan apa yang dikatakan oleh jumhur di atas.”
Dan karena itu pula kami menilai bahwa yang benar adalah meyakini yang wajib hanyalah dua telapak tangan, alasannya adalah kata (الْيَدُ) mengandung makna telapak tangan lebih zhāhir, atau menunjukkan yang lainnya secara bersamaan dan setingkat.
Karena lebih zhāhir mengandung makna telapak tangan, maka yang wajib adalah memegang atsar yang tsābit tentang hal itu, adapun pendapat yang lebih mengunggulkan qiyās daripada atsar adalah tidak dibenarkan, demikian pula tidak ada artinya memperkuat hadits-hadits yang tidak tsābit, pembahasan dalam masalah ini jelas dari dalil-dalil al-Qur’ān dan Sunnah.
Adapun pendapat yang menyatakan sampai ketiak, alasannya adalah karena hadits ‘Ammār dari sebagian jalurnya diriwayatkan:
تَيَمَّمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَمَسَحْنَا بِوُجُوْهِنَا ةَ أَيْدِيْنَا إِلَى الْمَنَاكِبِ.
“Kami bertayammum bersama Rasūlullāh s.a.w., lalu kami mengusap wajah-wajah kami dan tangan-tangan kami sampai ke pundak.” (1324).
Adapun kelompok yang memahami hadits-hadits tersebut kepada yang wajib, sementara hadits ‘Ammār kepada sunnah, maka itu adalah cara yang baik, karena pola jam‘ (mengkompromikan antara dalil-dalil yang ada) lebih baik daripada tarjīḥ (mengunggulkan satu pendapat) menurut ulama fikih.
Hanya saja cara seperti ini (tarjīḥ) pantas dilakukan apabila hadits-haditsnya shaḥīḥ.