4-3 Syarat-syarat yang Membolehkan Tayammum? – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 004 Kitab Tayammum | Bidayat-ul-Mujtahid

Bab III

Syarat-syarat yang Membolehkan Tayammum?

 

Ada tiga masalah utama yang berkaitan dengannya:

Pertama: Apakah niat termasuk syarat tayammum atau tidak?

Kedua: Apakah thalab (usaha mencari air) merupakan syarat bolehnya tayammum ketika tidak memiliki air?

Ketiga: Apakah masuknya waktu termasuk syarat bolehnya tayammum atau tidak?

Masalah pertama: Niat.

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa niat adalah syarat tayammum, karena niat merupakan ibadah yang tidak dapat dipahami secara akal (logika).
  2. Sementara Zufar berkata dengan pendapatnya yang sangat janggal: “Sesungguhnya niat tidak termasuk syarat tayammum karena memang pada dasarnya tayammum tidak membutuhkan niat.” Juga, diriwayatkan dari al-Auzā‘ī, dan Ḥasan bin Ḥayy, hanya saja pendapat ini dha‘īf (lemah).

Masalah kedua: Upaya Mencari Air.

Imām Mālik dan Syāfi‘ī mensyarakatkan adanya upaya mencari air, sementara Abū Ḥanīfah tidak mensyaratkannya.

Sebab perbedaan pendapat: Sebuah pertanyaan apakah orang yang tidak mendapatkan air – tanpa adanya usaha untuk mencarinya terlebih dahulu – masuk dalam kategori orang yang tidak mendapatkan air? atau orang yang telah berusaha mencari air kemudian ia tidak mendapatkannya, maka ia dapat disebut sebagai orang yang tidak mendapatkan air?

Yang benar adalah ketika seseorang merasa yakin mengenai ketiadaan air – baik setelah berusaha mencarinya terlebih dahulu ataupun tidak – maka ia termasuk dalam kategori orang yang tidak mendapatkan air. Adapun bagi orang yang hanya menduga-duga, maka ia tidak termasuk orang yang tidak mendapatkan air, karena itulah, pendapat Mālik yang menyatakan harusnya mengulang-ulang pencairan pada satu tempat adalah lemah, yang kuat adalah mencari di awalnya saja ketika tidak ada keyakinan mengenai ketiadaan air.

Masalah ketiga: Masuk waktu.

  1. Sebagian ulama mensyaratkan telah masuknya waktu (shalat), ini adalah pendapat Mālik dan Syāfi‘ī.
  2. Sebagian yang lain tidak mensyaratkannya, ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah, ahlu zhāhir, dan Ibnu Sya‘bān yang termasuk pengikut Imām Mālik.

Sebab perbedaan pendapat: Pertanyaan: “Apakah zhāhir makna ayat tentang wudhu’ menunjukkan bahwa wudhu’ dan tayammum tidak bisa dilakukan kecuali setelah masuknya waktu shalat? Sesuai firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ…

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat….” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Ayat ini mewajibkan wudhu’ atau tayammum ketika telah diwajibkan untuk melakukan shalat, dan itu terjadi apabila telah masuk waktunya, artinya hukum wudhu’ dan tayammum sama dengan shalat (yakni, sebagaimana masuknya waktu adalah syarat sahnya shalat, maka ia pun merupakan syarat shanya wudhu’ dan tayammum).

Hanya saja syari‘at telah memberikan kekhususan untuk wudhu’, maka hanya tayammum yang tetap pada hukum asal, jadi makna ayat di atas adalah ketika kalian hendak shalat, demikian pula seandainya tidak ada kalimat yang dibuang dalam ayat ini niscaya yang dipahami hanyalah wajibnya wudhu’ dan tayammum ketika hendak melakukan shalat, bukan berari keduanya tidak sah apabila dilakukan sebelum masuk waktu, melainkan apabila diqiyāskan dengan shalat, karena itu yang tepat dikatakan:

Sesungguhnya sebab perbedaan pendapat di sini adalah pengqiyāsan tayammum terhadap shalat.

Yang tepat qiyās ini lemah, karena mengqiyāskan kepada wudhu’ lebih kuat, maka renungkanlah niscaya akan anda dapatkan bahwa pendapat ini lemah (yakni pendapat yang menyatakan bahwa di antara syarat sahnya adalah masuknya waktu dan menjadikannya sebagai ibadah yang terkait dengan waktu), karena menentukan waktu dalam satu ibadah adalah sesuatu yang membutuhkan dalil sam‘i (didapat dari pendengaran [ucapan], bukan penglihatan [perbuatan]).

Bisa saja pendapat ini diterima manakala ada harapan akan didapatkannya air sebelum masuk waktu, jadi masalahnya bukan karena tayammum merupakan ibadah yang terkait dengan waktu, melainkan masalahnya adalah apakah tidak adanya air itu tidak bisa ditetapkan kecuali setelah masuknya waktu? Apakah di awal waktu, tengahnya atau di akhirnya?

Akan tetapi ada beberapa kondisi di mana manusia dengan keyakinannya tidak mungkin secara tiba-tiba bisa mendapatkan air sebelum masuk waktu.

Ditambah lagi kalau pun ada air secara tiba-tiba maka yang wajib kepadanya adalah membatalkan tayammum dan bukan menentukan tidak sahnya dari awal.

Adanya air secara tiba-tiba bisa terjadi ketika masuk waktu shalat dan setelahnya, lalu kenapa hukum ketika masuk waktu dibedakan dengan hukum sebelumnya? (maksudnya mengapa sebelum masuk waktu tidak sah dan setelah masuk waktu menjadi sah).

Ini semua tidak bisa dipertanggung-jawabkan kecuali apabila disertai dengan dalil, ini pun memberikan konsekwensi bahwa tayammum tidak bisa dilakukan kecuali di akhir waktu, renungkanlah!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *