3. Qadhā’ dan Manifestasinya.
‘Awāridh (godaan) ketiga adalah qadha’ dan macam-macam realisasinya. Dalam hal ini, cukuplah kiranya bagi anda untuk bersikap ridhā’ terhadap qadhā’ Allah. Yang demikian itu, karena dua hal, yaitu:
Pertama: Agar dapat memusatkan segala perhatian untuk ibadah. Sebab, jika anda tidak ridhā’ terhadap qadhā’ Allah, hati anda selalu diliputi kegelisahan, sehingga anda senantiasa berkeluh-kesah, mengapa begini dan kenapa bisa jadi begini? Apabila hati anda selalu disibukkan oleh keresahan, maka bagaimana anda bisa berkonsentrasi untuk beribadah. Karena hati anda hanya satu dan sudah anda penuhi dengan kegelisahan, begini dan begitu mengenai persoalan keduniaan. Tidak tersisa lagi ruang di hati anda untuk berzikir dan beribadah kepada Allah, dan memikirkan akhirat.
Benar apa yang dikatakan Syaikh Syaqīq al-Balkhī: “Kegelisahan menyesali masalah-masalah yang telah berlalu dan memikirkan perkara yang akan datang, sungguh melenyapkan keberkahan waktu hidup anda yang sedang anda lewati.
Kedua: Dikhawatirkan anda mendapat murka Allah. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwasanya ada seorang nabi mengadu kepada Allah mengenai keresahan yang dialaminya. Lalu Allah menjawab pengaduan itu dengan firman-Nya: “Mengapa anda mengadu kepada-Ku? Aku bukan Tuhan yang pantas untuk dicela. Memang begitulah realitas keadaan anda, sebagaimana yang ada dalam ilmu ghaib (Lauḥ-ul-Maḥfūzh). Mengapa anda tidak suka terhadap qadhā’-Ku? Apakah anda berkeinginan agar Aku merubah dunia karena anda? Atau anda berkeinginan agar Aku mengganti Lauḥ-ul-Maḥfūzh, sebab anda? Lalu Aku memutuskan apa saja menurut apa yang anda kehendaki, bukan menurut apa yang Aku kehendaki? Supaya apa yang anda sukai bisa terwujud, bukan menurut apa yang Aku sukai? Aku bersumpah, demi keagungan-Ku, bahwa apa yang anda adukan kepada-Ku itu, kalau tergerak di hati anda sekali lagi, sungguh Aku akan lepas baju kenabian dari anda, lalu Aku akan ceburkan anda ke dalam neraka, dan Aku tidak mempedulikan anda.”
Orang yang berakal sehat, tentu benar-benar mendengarkan dan memperhatikan didikan dari Tuhan yang sangat penting ini dan ancaman Allah yang sangat mengerikan ini terhadap para nabi-Nya dan hamba-hambaNya yang istimewa itu. Terhadap mereka para kekasihnya saja begitu, lalu bagaimana kira-kira tindakan Allah terhadap selain nabi?
Kemudian, coba perhatikan firman Allah tersebut di atas: “Seandainya apa yang anda adukan kepada-Ku itu tergerak sekali lagi di dalam hati anda.” Ancaman ini ditujukan kepada gerak-gerik hati, lalu bagaimana kalau orang yang menghadapi qadhā’ itu berkeluh-kesah, berteriak-teriak, memaki-maki dan mengadu kepada Tuhannya di depan orang banyak serta mengajak teman-temannya untuk membantu pengaduannya.
Ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang tidak suka terhadap qadhā’ Allah yang hanya dilakukan sekali saja, lalu bagimanakah ancaman Allah terhadap orang yang selama hidupnya selalu membenci qadhā’? Ancaman ini untuk orang yang mengadu kepada Allah, lalu bagaimana murka Allah kepada orang yang mengadu kepada selain Allah?
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita, dari keburukan amal kita. Dan kita memohon kepada Allah, semoga berkenan mengampuni dosa-dosa kita, memaafkan keburukan tata krama kita serta berkenan membaguskan keadaan kita, dengan pengawasan Allah. Sungguh, Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.
Jika ditanyakan: “Apakah arti ridhā’ terhadap qadhā’ itu, dan hakikatnya serta hukumnya?”
Ketahuilah, para ulama kita telah berkata: “Ridhā’ itu meninggalkan kebencian.” Sedangkan yang dimaksud kebencian hati, yaitu menyebut-nyebut selain apa yang menjadi qadhā’ Allah dan dianggapnya lebih baik bagi orang itu ketimbang qadhā’ Allah yang lebih patut baginya. Padahal apa yang dianggapnya lebih baik itu, tidak ia yakini akan kerusakan dan kebaikannya. Meninggalkan rasa benci ini menjadi syarat dalam ridhā’ terhadap qadhā’ Allah. Pahamilah hal ini.
Jika anda bertanya: “Apakah keburukan dan maksiat itu bukan merupakan qadhā’ dan qadar Allah? Bagaimana seseorang harus ridhā’ kepada keburukan itu?”
Ketahuilah, kewajiban ridhā’, hanya pada qadhā’ Allah. Qadhā’ jelek bukanlah tidak baik. Yang buruk itu hanyalah perkara yang di-qadhā’. Jadi, ridha kepada qadhā’ itu bukan berarti ridhā’ kepada kejelekan.
Para guruku telah berkata: “Qadhā’ itu meliputi empat hal, yaitu: Nikmat (senang), sengsara (susah), baik dan buruk.”
Mengenai nikmat, orang Islam wajib ridhā’ kepada qadhā’, baik kepada Tuhan yang menetapkan maupun pada nikmat yang telah ditetapkan itu. Seorang hamba wajib bersyukur, karena nikmat itu adalah nikmat dari Allah dan wajib memperlihatkan nikmat itu (dalam kerangka untuk bersyukur bukan untuk pamer) dengan menampakkan bekas nikmat (pada kebaikan sesuai dengan kehendak yang menetapkan atau yang memberi).
Sedangkan mengenai qadhā’ kesengsaraan atau kesulitan hidup, orang Islam wajib ridha’ kepada Tuhan yang meng-qadhā’, juga pada qadhā’ dan apa yang tetapkan itu. Orang Islam wajib bersabar, kesengsaraan hidup yang menimpanya.
Adapun mengenai qadhā’ kepada Dzat yang memberi qadhā’, kepada qadhā’ dan juga yang di-qadhā’. Ia harus menyebutnya sebagai anugerah dan berbaik sangka, bahwa itu adalah yang terbaik bagi dirinya.
Sementara pada qadhā’ yang buruk, seorang hamba juga harus ridhā’ kepada Dzat yang meng-qadhā’, juga pada qadha’ dan yang di-qadha’ dalam sudut pandang sebagai sebuah ketetapan bukan dari sisi keburukannya.
Karena, pada hakikatnya apa yang ditetapkan (di-qadhā’) itu kembali pada qadhā’ dan Dzat yang memberikan qadhā’. Ini, sama halnya ketika anda rela pada madzhab ulama yang berbeda dengan pendapat anda. Anda memandang pendapat itu sebagai sesuatu yang maklum, namun bukan merupakan pendapat anda, karena pendapat anda berbeda dengannya. Tetapi anda ridhā’, karena sesuatu yang maklum itu anda pandang sebagai suatu ilmu. Jadi ridhā’ dan cinta anda itu, sebenarnya adalah ridhā’ kepada pengetahuan madzhab orang yang berbeda pendapat, bukannya ridhā’ kepada madzhab yang berbeda dengan pendapat anda.
Jika ada yang bertanya: “Bolehkah orang yang ridhā’ kepada qadhā’ itu meminta tambahan kepada Allah?”
Jawabnya adalah boleh! Tetapi dengan syarat yang baik dan maslahah, tanpa disertai sebuah ketetapan secara pasti. Jadi, mohon tambahan itu bukan berarti mengeluarkan anda dari koridor ridhā’ bahkan bisa menunjukkan kepada ridhā’ terhadap qadhā’. Dan hal itu lebih utama, karena orang yang mengagumi dan rela terhadap sesuatu, tentu meminta tambahannya. Adalah Rasūlullāh s.a.w., ketika dihadirkan susu kepadanya, beliau mengucapkan:
اللهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَ زِدْنَا مِنْهُ
Artinya:
“Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami dalam susu ini dan semoga Engkau berkenan menambahinya.”
Dan pada kesempatan lain, Nabi s.a.w. berdoa:
وَ زِدْنَا خَيْرًا مِنْهُ
Artinya:
“Semoga Engkau berkenan memberikan tambahan yang lebih baik daripada anugerah ini.”
Kedua doa tersebut, bukan berarti menunjukkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. tidak ridha’ kepada apa yang ditentukan Allah kepadanya.
Jika anda berkata: “Tetapi tidak ada riwayat dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa beliau menyebut istitsnā’, serta syarat yang maslahah dan baik.”
Ketahuilah, bahwa perkara-perkara ini, hanya terjadi di dalam hati. Sementara pengucapan di lisan, hanyalah sebagai sebuah ungkapan apa yang ada di dalam hati, sekalipun beliau tidak mengungkapkan melalui sabdanya, tetapi hal itu telah ada di dalam hati. Pahamilah benar-benar hal itu.