Bab II
Para ulama sepakat bahwa tayammum diperbolehkan kepada dua kelompok; orang sakit dan yang sedang melakukan perjalanan apabila tidak mendapatkan air, lalu mereka berbeda pendapat mengenai empat orang:
– Orang sakit yang mendapatkan air, akan tetapi ia takut apabila menggunakannya dapat membahayakan keselamatan dirinya.
– Orang yang tidak dalam perjalanan (mukim) dan tidak memiliki air.
– Orang sehat yang dalam perjalanan dan mendapatkan air, hanya saja ia terhalang untuk menggapainya lantaran takut.
– Orang yang takut menggunakan air karena cuaca yang sangat dingin.
Orang sakit yang mendapatkan air, namun merasa khawatir apabila menggunakannya: dalam hal ini ada perbedaan pendapat:
Adapun orang sehat yang mukim (tidak dalam perjalanan) yang tidak mendapatkan air:
Sebab perbedaan pendapat: Mengenai orang sakit yang merasa khawatir untuk menggunakan air, perbedaan pendapat mereka bertolak dari pertanyaan apakah ada sesuatu yang maḥdzūf muqaddar (dihilangkan secara perkiraan) dalam ayat:
وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Kelompok yang berpendapat bahwa dalam ayat tersebut terdapat kalimat yang dibuang, mereka menafsirkannya dengan ungkapan: “Dan jika kamu sakit dan tidak dapat menggunakan air.”
Juga firman Allah:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً
“Lalu kamu tidak memperoleh air.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Dalam ayat ini, mereka menilai dhamīr (kata ganti), tepatnya kata “kamu” kembali kepada orang yang sedang melakukan perjalanan saja, mereka berpendapat bolehnya tayammum bagi orang sakit yang takut menggunakan air.
Adapun kelompok yang lain berpendapat bahwa dhamīr yang terdapat pada ayat (فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً) kembali kepada orang yang sakit dan musafir, juga tidak melihat adanya kalimat yang dibuang dalam nash ayat di atas, maka mereka berpendapat bahwa orang yang sakit tidak boleh bertayammum ketika terdapat air.
Sebab perbedaan pendapat: mengenai orang yang mukim (muqīm), akan tetapi tidak mendapatkan air adalah berbagai kemungkinan akan dhamīr yang ada dalam ayat:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً
“Lalu kamu tidak memperoleh air.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Kemungkinan kembalinya dhamīr kepada semua orang yang berhadats (maksudnya: baik musafir maupun mukim, atau hanya berlaku untuk musafir saja).
Kelompok yang berpendapat bahwa dhamīr tersebut kembali kepada semua orang yang berhadats secara umum, maka mereka berpendapat bahwa tayammum diperbolehkan bagi orang yang mukim juga, dan kelompok yang berpendapat bahwa dhamīr tersebut kembali kepada para musafir saja, atau kepada musafir dan yang sakit, mereka berpendapat tidak boleh bertayammum bagi orang yang mukim apabila terdapat air.
Sebab perbedaan pendapat: Mengenai orang yang takut keluar rumah untuk mendapatkan air adalah sesuai perbedaan mereka dalam menganalogikan (qiyās) orang tersebut kepada orang yang tidak mendapatkan air.
Demikian pula perbedaan mereka mengenai orang sehat yang merasa khawatir untuk menggunakan air karena suhu yang sangat dingin, sesuai perbedaan mereka dalam menqiyāskan orang tersebut kepada orang sakit yang takut menggunakan air.
Kelompok ulama yang memperbolehkan tayammum bagi orang sakit berdalil dengan hadits Jābir mengenai seorang sahabat yang terluka lalu mandi, hingga meninggal dunia, padahal Rasūlullāh s.a.w. mengidzinkannya untuk bertayammum, bahkan beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, Allah akan membunuh mereka.” (1281).
Demikian pula mereka menguatkan qiyās orang sehat yang takut menggunakan air karena suhu dingin kepada orang sakit, yang didukung pula dengan riwayat ‘Amr bin ‘Āsh bahwa pada suatu malam yang sangat dingin, dia mengalami junub, lalu bertayammum dan membaca firman Allah s.w.t.:
وَ لَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ، إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisā’ [4]: 29).
Lalu beliau mengutarakan hal itu kepada Nabi s.a.w., maka Nabi pun tdiak menyangkalnya.
خَرَجْنَا فِيْ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِيْ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُوْنَ لِيْ رَخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوْا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَ أَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أُخْبِرَ بِذلِكَ، فَقَالَ: قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، أَلَا سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَ يَعْصِرَ أَوْ يَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَ يَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ.
“Kami keluar dalam sebuah perjalanan, lalu seseorang dari kami tertimpa batu di kepalanya, kemudian dia bermimpi (basah), lalu bertanya kepada para sahabatnya, dia berkata: “Apakah kalian menilai ada keringanan bagiku untuk bertayammum? Mereka menjawab: “Kami berpendapat tidak ada keringanan bagimu selama kau dapat menggunakan air.” Akhirnya dia pun mandi dan meninggal dunia. Ketika Nabi s.a.w. datang, hal itu diadukan kepada beliau, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, Allah akan membunuh mereka, tidakkah sepatutnya mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui sesuatu, sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya, padahal ia cukup bertayammum dan membalut lukanya dengan sepotong kain lalu mengusap/membasahi di atasnya, dan membasuh seluruh bagian tubuhnya.” Syaikh al-Albānī – di dalam Shaḥīḥ Sunan Abī Dāūd – menyatakan bahwa hadits tersebut ḥasan tanpa sabda beliau: padahal ia cukup bertayammum”. HR. Abū Dāūd (336), ad-Dāruquthnī (1/190), al-Baihaqī (1/227), dan dalam bab ini juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbās yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd (337), Ibnu Mājah (572), dan Aḥmad (1/330).