4-1 Praktek Bersuci yang dapat Diganti dengan Tayammum – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 004 Kitab Tayammum | Bidayat-ul-Mujtahid

كِتَابُ التَّيَمُّمِ

KITAB TAYAMMUM

Pembahasan tentang masalah ini terangkum dalam tujuh bab:

Bab I

Praktek Bersuci yang dapat Diganti dengan Tayammum.

Para ulama telah sepakat bahwa tayammum sebagai pengganti dari bersuci kecil (wudhu’), dan mereka berbeda pendapat apakah dapat mengganti bersuci besar (mandi)?

  1. Diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu Mas‘ūd bahwa tayammum tidak bisa dijadikan pengganti untuk mandi (menghilangkan hadats besar).
  2. ‘Alī dan beberapa sahabat yang lain berpendapat bahwa tayammum bisa menjadi pengganti untuk bersuci dari hadats besar, dan pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama fikih.

Sebab perbedaan pendapat: berbagai persepsi yang timbul dari pemahaman terhadap ayat tayammum, dan atsar-atsar yang menyatakan bahwa tayammum digunakan untuk bersuci dari junub tidak dianggap shaḥīḥ.

Kemungkinan yang timbul pada ayat tentang tayammum yaitu firman Allah s.w.t.:

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Jelaslah dhamīr yang ada dalam ayat tersebut bisa kembali kepada orang yang berhadats kecil, atau kepada kedua-keduanya, akan tetapi bagi orang yang berpendapat bahwa al-lams dalam ayat tersebut berarti jimā‘, maka zhāhir ayat tersebut kembali kepada kedua-duanya.

Adapun bagi ulama yang berpendapat bahwa al-lams dalam ayat (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) berarti sentuhan tangan, maka dhamīr (kata ganti) tersebut hanya kembali kepada orang yang berhadats kecil, karena biasanya dhamīr (kata ganti) itu kembali kepada lafazh yang paling dekat, kecuali jika ada tafsiran dengan mendahulukan suatu lafazh dan mengakhirkan yang lain, sehingga maknanya menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Hal seperti ini tidak patut kecuali ditunjang dengan dalil, karena mendahulukan dan mengakhirkan suatu kalimat adalah majaz, sementara memahami ayat secara hakiki lebih utama daripada memahaminya secara majaz.

Sebagian ulama terkadang menduga bahwa dalam ayat tersebut terdapat sesuatu yang menuntut untuk didahulukan dan diakhirkan, yaitu jika dipahami sesuai urutannya, maka kita akan memahami bahwa sakit dan kondisi dalam perjalanan adalah hadats, akan tetapi sebenarnya hal itu tidak mesti ketika lafazh (أَوْ) “atau” ditafsirkan (الواو) “dan”, penafsiran semacam ini dijumpai dalam bahasa ‘Arab, seperti ungkapan seorang penyair:

وَ كَانَ سِيَّانِ أَنْ لَا يَسْرَحُوْا نَعَمَا أَوْ يَسْرَحُوْهُ بِهَا وَ اغْبَرَّتِ السُّوْحُ

Sama saja apakah mereka membebaskan binatang tersebut atau tidak, hewan itu tetap saja kotor.”

Karena semestinya, ungkapan (سيان زيد و عمرو), adalah salah satu sebab yang menimbulkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Adapun keraguan mereka dalam berbagai atsar yang menjelaskan masalah ini sangat jelas dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّيْ أَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ، فَقَالَ: لَا تُصَلِّ، فَقَالَ عَمَّارٌ: أَمَا تَذْكُرُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ أَنَا وَ أَنْتَ فِيْ سَرِيَّةٍ فَأَجْنَبْنَا فَلَمْ نَجِدِ الْمَاءَ، فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَ أَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فِي التُّرَابِ فَصَلَّيْتُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ، ثُمَّ تَنْفُخَ فِيْهِمَا، ثُمَّ تَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَكَ وَ كَفَّيْكَ، فَقَالَ عُمَرُ: اِتَّقِ اللهَ يَا عَمَّارُ، فَقَالَ: إِنْ شِئْتَ لَمْ أُحَدِّثْ بِهِ. وَ فِيْ بَعْضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ قَالَ لَهُ عُمَرُ: نُوَلِّيْكَ مَا تَوَلَّيْتَ.

Seorang lelaki datang kepada ‘Umar dan berkata: “Sesungguhnya aku mengalami junub dan tidak mendapatkan air.” Dia berkata: “Janganlah kamu shalat,” lalu ‘Ammār berkata: Tidakkah engkau ingat wahai Amīr-ul-Mu’minīn, ketika kita dalam sebuah pasukan, lalu aku dan kau mengalami junub dan tidak mendapatkan air. Akhirnya kau tidak melaksanakan shalat, adapun aku berguling-guling di atas tanah, lalu melakukan shalat?” setelah itu Nabi s.a.w. bersabda: “Kau cukup memukulkan kedua tanganmu (ke atas debu) dan tiuplah, kemudian kamu usapkan ke wajah dan dua telapak tangan. (1241) ‘Umar berkata: “Bertakwalah kepada Allah, wahai ‘Ammār.” Maka ‘Ammār berkata: “Jika kau ingin, aku tidak akan meriwayatkannya.”

Dalam sebagian riwayat, ‘Umar berkata kepadanya: “Kuserahkan urusan ini sesuai yang kau ketahui.

Muslim (1252) pun meriwayatkan dari Syaqīq, ia berkata: “Pada suatu ketika aku tengah duduk-duduk bersama Ibnu Mas‘ūd dan Abū Mūsā, lalu Abū Mūsā berkata: “Wahai Abū ‘Abd-ir-Raḥmān, apa pendapatmu jika seseorang berjunub lalu tidak mendapatkan air selama satu bulan, apa yang dapat ia lakukan untuk shalat?” maka ‘Abdullāh berkata kepada Abū Mūsā: “Tidak mesti tayammum walaupun dia tidak mendapatkan air selama satu bulan.” Abū Mūsā berkata: “Bagaimana dengan ayat yang terdapat dalam surah al-Mā’idah: “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)?” ‘Abdullāh berkata: “Seandainya mereka diberikan keringanan dengang ayat ini niscaya ketika cuaca dingin mereka akan bertayammum dengan tanah.” Akhirnya Abū Mūsā berkata kepada ‘Abdullāh: “Tidakkah kau mendengar perkataan ‘Ammār?” kemudian ia menuturkan hadits di atas, lalu ‘Abdullāh berkata kepadanya: “Tidakkah kau melihat bahwa ‘Umar merasa tidak puas dengan perkataan ‘Ammār.”

Akan tetapi jumhur melihat bahwa hal itu telah ditetapkan dari hadits ‘Ammār dan ‘Imrān bin Ḥusain, keduanya diriwayatkan oleh al-Bukhārī, adapun kelupaan ‘Umar sama sekali tidak berpengaruh terhadap wajibnya beramal dengan hadits ‘Ammār.

Demikian pula mereka berdalil akan bolehnya tayammum bagi yang junub dan ḥaidh dengan keumuman sabda Nabi s.a.w.:

جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا.

Bumi telah dijadikan untukku sebagai masjid (tempat shalat) dan sarana bersuci.” (1263).

Adapun hadits ‘Imrān bin Ḥushain bahwa Rasūlullāh s.a.w. melihat seseorang yang menyendiri dan tidak melakukan shalat bersama yang lainnya lalu beliau bertanya: “Wahai fulan, tidakkah kau melaksanakan shalat bersama yang lain?” dia menjawab: “Wahai Rasūlullāh, aku mengalami junub dan tidak ada air.” Maka beliau s.a.w. bersabda:

عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ.

Hendaklah kau menggunakan tanah, sesungguhnya itu cukup bagimu.” (1274).

Dari berbagai kemungkinan yang mereka perdebatkan ini timbul sebuah pertanyaan bagi kelompok yang membolehkan tayammum sebagai pengganti mandi dan sah untuk menghilangkan hadats besar: “Apakah orang yang tidak mendapatkan air boleh berjima‘ dengan istrinya atau tidak?”

Catatan:

  1. 124). Muttafaq ‘Alaih. HR. al-Bukhārī (338, 339, 340, 341, 342, dan 343), Muslim (386), Abū Dāūd (224, 225, 322, 323, dan 326), an-Nasā’ī (1/168, 169 dan 170), Ibnu Mājah (569), dan Ahmad (4/265 dan 319)
  2. 125). Shaḥīḥ. HR. Muslim (368).
  3. 126). Hadits ini diriwayatkan secara lengkap dari Abū Hurairah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

    فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَ نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَ أُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَ جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُوْرًا وَ مَسْجِدًا، وَ أُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَ خُتِمَ بيَ الْنَّبِيُّوْنَ.

    Aku diberikan keutmaan di atas para nabi dengan enam hal: aku dikaruniai jawāmi‘-ul-kalim, diberikan pertolongan melawan ketakutan (terhadap musuh), dihalalkan bagiku harta rampasan perang, tanah dijadikan sebaga sarana bersuci dan masjid, aku diutus kepada seluruh makhluk, dan para nabi ditutup olehku.” HR. Muslim (523), at-Tirmidzī (1553), Ibnu Mājah (567), Aḥmad (2/411), dan al-Baihaqī (2/433, (5/9).

  4. 127). Ini adalah kutipan dari hadits ‘Imrān bin Ḥushain yang panjang. HR al-Bukhārī (344, 348, 3571), Muslim (682), an-Nisā’ī (1/171), ‘Abd-ur-Razzāq (20537), Abū ‘Awānah (1/307), ad-Dāruquthnī (1/202), dan al-Baihaqī (1/219).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *