4-1-4 Tahapan Godaan – Rezeki & Tuntutan Nafsu | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 004 Tahapan Godaan - Minhaj-ul-Abidin

Kita pun telah cukup mendapatkan bukti, bahwa para nabi dan para wali Allah yang bertawakkal kepada Allah, pada umumnya tidak mencari rezeki. Mereka senantiasa beribadah kepada Allah. Dan dengan ijma‘, mereka itu tidak berani meninggalkan perintah Allah dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya.

Jadi, jelaslah bagi anda bahwa mencari rezeki dan sebab-sebabnya itu bukan merupakan suatu kewajiban bagi hamba.

Jika anda bertanya: “Apakah rezeki akan bertambah dengan usaha pencarian? Atau sebaliknya, rezeki akan menjadi berkurang dengan meninggalkan pencarian? Ketahuilah, bahwa masalah rezeki seseorang telah tertulis dalam Lauh-ul-Mahfuzh, dan telah ditetapkan jumlah maupun waktunya. Hukum Allah tidak bisa diganti, pembagian dan ketetapan Allah tidak dapat diubah. Inilah keterangan yang shahih menurut ulama kita.

Berbeda dengan pendapat madzhab sebagian pengikut Ḥātim dan Syaqīq yang mengatakan: “Rezeki itu tidak dapat bertambah dan tidak dapat berkurang karena pekerjaan hamba. Tetapi, harta bisa bertambah dan bisa berkurang.” Pendapat semacam ini, tidak benar. Sebab, dalil dalam dua masalah ini adalah satu, yaitu ketetapan dan pembagian. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allah s.w.t.:

لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلى مَا فَاتَكُمْ وَ لاَ تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ

Artinya:

(Kami jelaskan yang demikian ini) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-Ḥadīd: 23).

Seandainya dengan mencari, rezeki bisa bertambah dan dengan tidak mencari, rezeki bisa berkurang, tentu ada tempat bagi susah dan gembira. Apabila seseorang tidak melakukan pencarian dan menunda-nunda, membuatnya akan kehilangan rezeki, sementara kalau bersungguh-sungguh menyingsingkan lengan baju melakukan pencarian, bisa menghasilkan rezeki.

Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda kepada orang yang datang meminta:

هَاكَ لَوْ لَمْ تَأْتِهَا لأَتَتْكَ

Artinya:

Ambillah yang kau minta. Sebab, walaupun anda tidak datang ke mari, ia (yang anda minta ini) akan tetap datang kepada anda.

Seandainya ada yang bertanya: “Pahala dan siksa itu juga ditulis di Lauḥ-ul-Maḥfūzh. Sementara, kita wajib mencari pahala Allah dengan taat dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan mendapatkan siksa Allah. Lalu, apakah pahala dapat bertambah karena mencari, atau berkurang sebab meninggalkan?”

Ketahuilah, bahwa mencari pahala itu wajib, karena Allah telah memerintahkannya dan mengancam kalau meninggalkannya. Dan Allah tidak menjamin rezeki. Dengan demikian, banyak atau sedikitnya pahala dan siksa Allah, tergantung pada perbuatan hamba.

Perbedaan kedua hal tersebut dapat ditemukan dalam satu kaidah samar, yaitu apa yang dikatakan oleh sebagian ulama kita, bahwa yang tertulis di Lauḥ-ul-Maḥfūzh itu ada dua macam, yaitu: Pertama: Satu macam tertulis secara mutlak, tanpa syarat dan tanpa menggantungkannya dengan perbuatan hamba, yaitu rezeki dan ajal.

Allah menyebut-nyebut rezeki dan ajal dalam firman-Nya, secara mutlak tanpa syarat.

Perhatikan firman Allah s.w.t. berikut:

وَ مَا مِنْ دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

Artinya:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” (Hūd: 6).

Dan Allah s.w.t. berfirman:

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَ لاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

Artinya:

Maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (al-A‘rāf: 34).

Dan Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:

أَرْبَعَةٌ قَدْ فُرِغَ مِنْهُنَّ الْخَلْقُ وَ الْخُلُقُ وَ الرِّزْقُ وَ الأَجَلُ

Artinya:

Terdapat empat perkara yang telah diselesaikan (tidak lagi dapat diubah), yaitu makhluk (penciptaan), pekerti, rezeki dan ajal.

Kedua: Yang ditulis dalam Lauḥ-ul-Maḥfūzh dengan syarat yang digantung, yaitu disyaratkan dengan perbuatan hamba, yaitu pahala dan siksa.

Pahala dan siksa disebut oleh Allah dalam kitab al-Qur’ān, dalam keadaan digantungkan dengan perbuatan hamba.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوْا وَ اتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَ لأدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ

Artinya:

Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” (al-Mā’idah: 65).

Hal ini, telah begitu jelas, maka pahami dan ketahuilah dengan baik.

Jika ada yang berkata: “Kita telah jumpai dalam realitas bahwa orang-orang yang mencari rezeki pada mendapatkan banyak rezeki dan harta, sedangkan orang yang tidak mau mencari tidak mempunyai apa-apa dan fakir.”

Sebagai jawabnya adalah bahwa dalam hal ini, anda telah mengabaikan realitas yang ada, seakan-akan anda tidak pernah melihat orang yang rajin bekerja tetapi tetap saja fakir. Dan seolah-olah anda tidak pernah melihat orang yang tidak bekerja, tetapi mendapatkan rezeki dan kaya. Ini semua adalah fakta, bahkan macam yang terakhir ini banyak terjadi, supaya anda mengerti bahwa yang demikian itu merupakan ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan hal itu merupakan pengaturan Allah Yang Maha Merajai lagi Maha Bijaksana.

Abū Bakar Muḥammad bin Sābiq al-Wa‘adz, pemberi fatwa di negeri Syam, menggubah syair:

كَمْ مِنْ قَوِيٍّ قَوِيٍّ فِيْ تَقَلُّبِهِ

مُهَذَّبِ الرَّأْيِ عَنْهُ الرِّزْقُ مُنْحَرِفُ

وَ كَمْ ضَعِيْفٍ ضَعِيْفٍ فِيْ تَقَلُّبِهِ

كَأَنَّهُ مِنْ خَلِيْجِ الْبَحْرِ يَغْتَرِفُ

هذَا دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الإِلهَ لَهُ

فِي الْخَلْقِ سِرٌّ خَفِيٌّ لَيْسَ يَنْكَشِفُ

Betapa banyak orang kuat, kuat pula mondar-mandir dalam pencarian

lagi terdidik, tetapi rezeki Allah berpaling darinya.

Dan betapa banyak orang yang lemah, lemah mondar-mandir dalam penarian

Tetapi seakan-akan rezekinya tinggal memungut yang teronggok di laut.

Itu suatu bukti bahwa ia mempunyai Tuhan Yang Menciptakan

Adalah rahasia ketuhanan yang tak terungkap dan tak tergapai.

Jika anda bertanya: “Bolehkah seseorang masuk ke lembah pedalaman tanpa bekal?” Ketahuilah, bahwa jika anda memiliki keteguhan hati yang kuat menghadap kepada Allah dan kepercayaan yang kokoh terhadap janji Allah, maka masuklah. Tetapi jika tidak, lebih baik anda hidup seperti halnya kebanyakan orang yang hidup dengan ketergantungan mereka.

Aku pernah mendengar Imām Abū Ma‘ālī berkata: “Orang yang menghadap kepada Allah, sementara ia berjalan menurut kebiasaan manusia, maka Allah juga menjalankan apa-apa terhadapnya menurut kebiasaan manusia pula, dalam hal kecukupan biaya hidupnya.”

Ini merupakan perkataan yang bagus, dan sangat besar faedahnya bagi orang yang mau berpikir.

Jika anda bertanya, bukankah Allah s.w.t. berfirman:

وَ تَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

Artinya:

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197).

Ketahuilah, bahwa mengenai penafsiran ayat tersebut, terdapat dua pendapat, yaitu:

Pertama: Bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah bekal untuk akhirat. Karena itu Allah berfirman: “Sebaik-baik bekal adalah taqwā.” Bukan dengan pernyataan: “Sebaik-baik bekal adalah dunia dan sebab-sebabnya.”

Kedua: Mengenai suatu kaum yang tidak menyenangi membawa bekal ketika menunaikan ibadah haji, karena mengandalkan pemberian orang lain. Mereka meminta-minta kepada orang lain, mengeluh dan merugikan orang lain. Hingga akhirnya mereka diperintahkan untuk membawa bekal, dengan maksud mengingatkan bahwa berbekal dengan harta sendiri itu lebih baik daripada menerima harta dari meminta-minta pada orang lain dan mengandalkan pemberian mereka. Demikianlah menurut pendapatku yang dapat aku kemukakan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *