Ketahuilah bahwa rezeki itu ada empat macam, yaitu:
1. Rezeki yang dijamin (madhmūn).
2. Rezeki yang dibagikan (maqsūm).
3. Rezeki yang dimiliki (mamlūk).
4. Rezeki yang dijanjikan (mau‘ūd).
Rezeki yang dijamin oleh Allah, ialah makanan (rezeki) yang menjadi penyebab kekuatan tegaknya tubuh, tanpa sebab-sebab lain. Jaminan Allah adalah untuk rezeki semacam ini. Orang wajib bertawakkal menghadapi rezeki madhmūn ini, berdasarkan dalil akal dan dalil syara‘. Sebab, Allah membebani kita supaya berkhidmat dan taat beribadah kepada-Nya, dengan menggunakan badan kita. Jadi, Allah pasti menjamin apa yang bisa mencegah kerusakan badan, agar kita dapat melakukan apa yang dibebankan kepada kita.
Sebagian para Syaikh Kirāmiyah berkata dengan perkataan yang bagus menurut asalnya: “Jaminan rezeki para hamba itu wajib dalam kerangka kebijakan Allah, karena tiga hal:
1. Allah ibarat majikan, sementara kita adalah sebagai budak. Adalah menjadi sebuah keharusan bagi majikan mencukupi bekal yang dibutuhkan (makanan) budak, sebagaimana keharusan seorang hamba melayani majikannya.
2. Allah menciptakan para hamba yang membutuhkan rezeki, dan Allah tidak menjadikan jalan bagi mereka untuk mencari rezeki karena mereka tidak mengetahui apa rezeki mereka, di mana tempatnya, dan kapan datangnya, agar mereka mencari rezeki itu sendiri di tempatnya dan dalam waktunya, agar mereka datang kepada rezeki itu, maka menjadi keniscayaan bagi Allah mencukupi para hamba-Nya dalam masalah rezeki dan mendatangkan para hamba itu kepada rezeki mereka.
3. Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar berkhidmat. Sementara mencari rezeki kadang-kadang menghalangi manusia untuk berkhidmat, maka mencukupi ongkos-ongkos hidup bagi hamba menjadi keniscayaan bagi Allah, agar para hamba dapat berkhidmat kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.
Ini adalah ucapan orang yang tidak mengerti rahasia ketuhanan. Orang yang mengatakan bahwa Allah itu wajib memberikan rezeki, adalah orang bingung. Aku sudah menjelaskan kesalahan ucapan atau i‘tiqād semacam ini di dalam ilmu kalam.
Marilah kita kembali kepada pembahasan yang menjadi maksud dan tujuan kita. Adapun rezeki yang dibagikan Allah dan ditetapkan oleh Allah di Lauḥ-ul-Maḥfūzh, yaitu apa yang dimakan, diminum, dipakai oleh hamba, masing-masing telah ditentukan oleh Allah dengan ketetapan tertentu dan dalam batas waktu tertentu pula, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak pula mundur dari ketentuan yang telah ditetapkan, persis seperti aslinya. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
Artinya:
الرِّزْقُ مَقْسُوْمٌ مَفْرُوْغٌ مِنْهُ لَيْسَ تَقْوَى تَقِيٍّ بِزَائِدِهِ وَ لاَ فُجُوْرَ فَاجِرٍ بِنَاقِصِهِ
“Rezeki itu telah rampung pembagiannya (tidak lagi diubah). Ke-taqwā-an orang yang takwa tidak bisa menambahi rezekinya dan kedurhakaan orang yang durhaka tidak pula dapat mengurangi rezekinya.”
Sedangkan rezeki yang dimiliki oleh setiap hamba, yaitu harta di dunia yang dimiliki menurut apa yang ditentukan Allah dan dibagikan Allah untuk dimiliki oleh hamba. Itu adalah merupakan sebagian dari rezeki Allah.
Allah s.w.t. berfirman:
أَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ
Artinya:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu.” (al-Baqarah: 254).
Adapun rezeki yang dijanjikan adalah rezeki yang telah dijanjikan Allah kepada para hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat taqwā, berupa rezeki halal, yang diterimakan dengan tanpa bersusah-payah mencarinya.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مَخْرَجًا، وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
Artinya:
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar; dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (ath-Thalāq: 2-3).
Demikianlah penjelasan mengenai macam-macam rezeki. Kewajiban tawakkal hanyalah pada urusan rezeki yang dijamin oleh Allah. Pahamilah penjelasan tersebut dengan sebaik-baiknya!
Ketiga: Batasan tawakkal. Mengenai batasan (definisi) tawakkal, sebagian guruku mengatakan: “Tawakkal adalah kepasrahan hati sepenuhnya kepada Allah dengan tunduk menghadap kepada-Nya, tanpa menaruh harapan kepada selain-Nya.”
Ulama lain mengatakan: “Tawakkal adalah memelihara hati hanya ditujukan kepada Allah, dalam masalah kemaslahatan dirinya, dengan meninggalkan ketergantungan hati kepada sesuatu selain-Nya.”
Imām Abū ‘Umar – r.h. – berkata: “Tawakkal adalah meninggalkan ketergantungan (ta‘alluq) dari pada selain Allah. Sedangkan ta‘alluq dimaksud ialah mengingat-ingat akan tegaknya diri, lepas dari apa saja selain Allah.”
Syaikh al-Imām (guruku), mengatakan: “Tawakkal dan ta‘alluq (ketergantungan hati) merupakan dua ingatan yang menjadi pekerjaan hati. Tawakkal mengingat-ingat tegaknya diri atas kekuasaan Allah. Sedangkan ta‘alluq ialah mengingat-ingat tegaknya diri, lepas dari apa saja selain Allah.”
Semua pendapat tersebut, menurut pendapatku, kembali pada satu pokok, yaitu hendaklah anda memantapkan hati, bahwa tegaknya diri anda, terpenuhinya kekurangan dan kecukupan anda, semuanya datang dari Allah, bukan dari yang selain-Nya. Bukan karena harta dunia dan bukan pula oleh sebab-sebab yang lain. Kemudian, jika Allah menghendaki melalui sebab berupa makhluk atau harta dunia, maka Allah kuasa menjadikan sebab itu. Tetapi, jika tidak menghendaki melalui sebab, maka cukuplah dengan kudrat-Nya, tanpa melalui sebab dan perantara.
Jika anda menyadari hal itu, sepenuh hati, menyandarkan segalanya hanya kepada Allah, serta memutuskan harapan kepada orang lain, berarti anda telah benar-benar ber-tawakkal kepada Allah. Itulah batasan mengenai tawakkal.
Keempat: Benteng tawakkal. Adapun benteng tawakkal yang mendorong seseorang kepada tawakkal adalah ingat akan jaminan Allah. Sedangkan yang membentengi benteng tawakkal adalah ingat akan keagungan Allah, kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya, kemahasucian-Nya dari mengingkari janji, dari sifat lupa, lemah dan suci dari kekurangan.
Ketika seseorang senantiasa mengingat hal ini, tentu akan terdorong untuk bertawakkal kepada Allah dalam urusan rezeki.
Seandainya ditanyakan: “Apakah seorang hamba wajib mencari rezeki dalam segala keadaannya?” Maka, ketahuilah bahwa rezeki yang dijamin Allah, yaitu berupa penguat dan menjadi sebab tegaknya tubuh itu tidak mungkin bisa kita cari. Karena, hal itu merupakan pekerjaan Allah bagi hamba, seperti halnya hidup dan mati, manusia tidak kuasa mengadakan atau menolak.
Adapun rezeki yang dibagikan dari sebab, maka tidaklah menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang hamba untuk mencarinya, karena seseorang memang tidak perlu mencarinya. Lagi pula yang dibutuhkan seorang hamba adalah rezeki yang dijamin. Dan rezeki yang dijamin itu datangnya dari Allah dan menjadi jaminan-Nya.
Adapun mengenai firman Allah s.w.t.:
وَ ابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ
Artinya:
“Dan carilah karunia Allah.” (al-Jumu‘ah: 10).
Maksudnya adalah perintah mencari ilmu dan pahala. Bahkan ada ulama yang mengatakan: “Firman ini merupakan kemurahan dari Allah. Karena, firman ini adalah kalimat perintah yang datang sesudah larangan, sehingga mempunyai arti boleh, bukan berarti wajib atau keharusan.”
Jika ada yang berkata: “Tetapi rezeki yang dijamin itu datangnya tentu mempunyai sebab-sebab, apakah kita wajib mencari sebab-sebab itu?” Jawaban atas pertanyaan ini adalah tidak wajib bagi anda untuk mencari sebab-sebab itu, karena seorang hamba tidak membutuhkan mencari sebab. Allah bisa mendatangkan rezeki itu, baik dengan sebab maupun tanpa sebab. Lalu dari manakah kita wajib mencari sebab? Kemudian, Allah menjamin anda secara mutlak, tanpa ada syarat harus mencari atau bekerja.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ مَا مِنْ دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
Artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” (Hūd: 6).
Kemudian, bagaimana mungkin Allah memerintahkan hamba-Nya mencari sesuatu yang tidak diketahui tempatnya. Karena, ia tidak tahu sebab yang mana yang bakal menghasilkan rezeki baginya, serta rezeki mana yang menimbulkan kekuatan dan pertumbuhannya.
Maka, masing-masing kita, tidak mengetahui sebab dengan sebenar-benarnya, dari mana bisa didapat dan sebab mana yang bisa menghasilkan. Maka tidaklah benar, jika Allah membebani hamba-Nya dalam masalah ini. Renungkanlah, keterangan ini, mudah-mudahan mendapatkan petunjuk, karena apa yang diterangkan itu sudah jelas.