33. الْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَ إِنَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ إِذْ لَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَا حَجَبَهُ وَ لَوْ كَانَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَانَ لِوُجُوْدِهِ حَاصِرٌ وَ كُلُّ حَاصِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَاهِرٌ: وَ هُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Yang Maha Ḥaqq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal “Dia adalah Maha Kuasa (qāhir) atas segala sesuatu.” (al-An‘ām [6]: 18).
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Terhijab bukanlah sifat Allah s.w.t. Yang memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
Hikmah di atas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah s.w.t., berdasarkan firman-Nya: “Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hambaNya dan Dialah Yang Maha Bijaksama dan Maha Mengetahui.” (al-An‘ām [6]: 18).