3-7-3 Tahapan Rintangan – Pasal 2-2 | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

3. Perut.

Perut, cukuplah bagi anda bahwa yang menjadi tujuan hidup anda adalah ibadah, sementara makanan merupakan biji amal, serta airnya, sehingga tumbuh dan bersemi. Jika bijinya buruk, tentu tanaman menjadi tidak baik, bahkan dikhawatirkan akan dapat merusak tanah, hingga anda tidak lagi bisa bertanam dan menghasilkan apapun dari tanah itu, selamanya.

Dalam hal ini, telah sampai kepadaku mengenai Syaikh Ma‘rūf al-Karkhī berkata: “Jika anda berpuasa, perhatikanlah apa yang akan anda makan pada saat berbuka, bersama siapa anda akan berbuka puasa dan makanan siapa yang anda makan.”

Betapa banyak orang yang dengan sekali makan menjadikan hatinya berubah dari kondisinya, dari tidak kembali lagi ke keadaan semula. Banyak orang yang dengan sekali makan menjadikannya tidak mampu mengerjakan shalat malam. Banyak orang yang memandang sesuatu dengan sekali pandang, membuatnya tidak bisa membaca al-Qur’ān satu surat. Dan terkadang seseorang dengan sekali makan menjadikannya tidak dapat mengerjakan shalat malam setahun.

Untuk itu, bagi orang yang hendak beribadah dan menaruh perhatian terhadap hati, hendaklah anda sangat berhati-hati terhadap makanan dari jalan yang benar dan halal. Dan memakannya pun harus dengan etika yang benar. Jika tidak demikian, seseorang hanya akan makan, sepenuh perutnya, sehingga, ibadah yang dijalankan tidak bermanfaat sama sekali.

Meskipun seseorang memaksakan diri dan beusaha dengan berbagai cara agar dapat menjalankan ibadah, tetapi jika keadaan perut terlalu kenyang, maka ibadahnya tidak akan ada nikmatnya, serta tidak merasakan akan kemanisannya.

Oleh sebab itu, ada orang mengatakan: “Jangan berharap anda dapat merasakan manisnya beribadah, sementara anda banyak makan. Di manakah ada nūr di hati, tanpa ibadah? Nūr manakah yang berada dalam ibadah, tanpa adanya nikmat dan manisnya beribadah?”

Dalam kontek ini, Ibrāhīm bin Adham berkata: “Aku telah bergaul dengan sebagian besar ahli ibadah di Gunung Libanon. Mereka berpesan kepadaku: “Jika anda kembali ke tengah-tengah masyarakatkan, nasihatilah mereka dengan empat macam. Katakan kepada mereka: Barang siapa banyak makan, niscaya tidak akan merasakan nikmatnya beribadah; Barang siapa banyak tidur, niscaya tidak akan mendapatkan keberkatan umurnya; Barang siapa yang menginginkan keridhaan orang lain, jangan berharap mendapatkan ridha Allah; Barang siapa yang banyak berbicara tidak bermanfaat dan menggunjing, tentu ia tidak akan keluar dari dunia dalam keadaan tetap berpegang teguh pada agama Islam.”

Saḥl r.a. berkata: “Berkumpulnya segala kebaikan, adalah pada empat perkara ini dan dengannya orang bisa menjadi wali abdal, yaitu mengosongkan perut, diam, mengasingkan diri (‘uzlah) dan terjaga di malam hari (qiyām-ul-lail).

Sebagian orang-orang yang ārif ada yang berkata: “Lapar adalah modal kita.” Maknanya, apa yang telah kita hasilkan, dari waktu luang, buat keselamtan, menjalankan ibadah, manisnya beribadah dan amal yang bermanfaat, semuanya sebab lapar dan sabar menahan lapar semata-mata karena Allah s.w.t.

 

4. Hati.

Ketahuilah, bahwa hati merupakan pokok segalanya, jika hati anda rusak, maka akan rusaklah seluruhnya. Dan jika hati anda baik, akan baik pula seluruhnya. Hati ibarat pohon, dan bagian tubuh lainnya ibarat cabang-cabang pohon itu, baik atau buruknya cabang-cabang itu tentu tergantung pada pohonnya. Hati adalah raja, sedangkan seluruh anggota tubuh akan mengikutinya. Jika rajanya baik, rakyatnya pun baik, dan apabila rajanya rusak, rakyat pun akan rusak.

Apabila mata, lisan, dan perut seseorang baik, maka hal itu sebagai bukti akan kebaikan hati dan kemakmurannya. Jika anda mengetahui adanya cacat, baik itu pada mata, lisan, perut dan sebagainya, maka ketahuilah bahwa hal itu menunjukkan akan adanya kerusakan dan cacat pada hati. Bahkan selanjutnya, bisa jadi kerusakan itu justru semakin parah. Karena itu, fokuskan perhatian anda pada hati. Perbaikilah hati anda, maka seluruh anggota tubuh anda akan menjadi baik, dan anda pun menjadi tenteram.

Masalah hati memang sangatlah pelik dan sulit, sebab ia merupakan ajang gerakan dan suara-suara hati (khāthir). Sementara khāthir itu, tidaklah berada di bawah kekuasaan anda. Dalam upaya untuk melakukan pencegahan buat mengikutinya, sangat sulit dan membutuhkan energi serta kekuatan yang cukup besar. Karenanya, memperbaiki hati merupakan pekerjaan yang sangat berat bagi orang yang bersungguh-sungguh ibadah. Perhatian terhadap urusan hati ini lebih banyak dan lebih besar, bagi orang yang memiliki kecerdasan.

Abū Yazīd r.a. mengatakan: “Aku telah merawat hatiku selama sepuluh tahun, lisanku sepuluh tahun dan nafsuku sepuluh tahun, ternyata yang paling sulit perawatannya di antara ketiganya adalah merawat hati.”

Selanjutnya, anda harus memperhatikan empat perkara yang telah aku sebutkan, yaitu panjang angan-angan, tergesa-gesa dalam segala urusan, dengki dan sombong.

Sengaja aku hanya menyebutkan empat sifat buruk dari sekian sifat buruk lainnya, dan aku anjurkan agar menjaga diri dari empat sifat tersebut, karena empat perkara inilah yang menjadi penyakit manusia secara umum dan para ahli Qur’ān pada khususnya. Sebab, empat perkara ini pasti tumbuh di hati manusia secara umum dan ahli Qur’ān secara khusus. Sehingga keadaannya menjadi lebih buruk dan keji.

Anda dapat melihat orang ahli Qur’ān yang panjang angan-angannya, sementara ia menganggapnya sebagai niat melakukan kebaikan, sehingga ia terjerumus ke dalam kemalasan dan menunda-nunda amal. Suatu saat, kita melihatnya tergesa-gesa untuk mencapai derajat kebaikan, akhirnya putus dan terlempar daripadanya. Atau ia tergesa-gesa ingin doanya yang baik dikabulkan oleh Allah, akhirnya malah doanya terhalang. Atau ia tergesa-gesa mengutuk orang lain agar celaka, akhirnya ia menyesali perbuatannya itu.

Sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Nūḥ a.s. bahwa adakalanya seorang alim merasa dengki terhadap orang lain lantaran Allah memberikan kenikmatan lebih banyak terhadapnya. Bahkan, kedengkiannya itu mendorongnya untuk melakukan perbuatan buruk dan memalukan, padahal orang fisik dan jahat belum tentu berani melakukan perbuatan semacam itu.

Hal yang senada dengan makna ini, Sufyān ats-Tsaurī mengatakan: “Aku tidak takut kepada orang yang hendak menumpahkan darahku, kecuali ahli Qur’ān dan ulama’”. Orang-orang menjadi mengingkarinya disebabkan karena pernyataannya itu. Maka Sufyān berkata: “Ucapan yang demikian ini, bukan aku yang pertama kali mengucapkannya, tetapi Ibrāhīm an-Nakha‘ī.”

Dari ‘Athā’, ia berkata bahwa Sufyān ats-Tsaurī berkata kepadanya: “Berhati-hatilah terhadap ahli baca al-Qur’ān, juga terhadap diriku. Orang yang paling ku senangi di antara mereka, dalam menyifati delima yang aku katakan manis, mengatakan bahwa delima itu masam. Aku tidak merasa aman terhadap usahanya kepada penguasa jahat untuk menumpahkan darahku (membunuhku).”

Mālik bin Dīnār berkata: “Aku menerima persaksian ulama atas semua orang, tetapi aku tidak menerima persaksian mereka atas sebagian mereka yang lain. Karena, aku mengetahui mereka pendengki satu sama lain.”

Fudhail bin ‘Iyādh berkata kepada putranya: “Belikanlah aku sebuah rumah yang jauh dari para ulama. Buat apa aku bertetangga dengan orang-orang yang apabila aku salah, mereka merusak kehormatanku dan kalau aku menerima nikmat, mereka dengki.”

Begitu juga, ulama kadang-kadang menyombongkan diri dan meremehkan orang lain. Ia berpaling jika bertemu dengan orang lain, wajahnya cemberut, seolah-olah ia dikaruniai shalat lebih dua rakaat ketimbang orang lain, atau ia merasa seolah-olah telah mendapat jaminan surga dari Allah, atau bebas dari mereka, atau seakan-akan hanya dirinya saja yang beruntung, sedangkan orang lain celaka.

Di samping itu, ia mengenakan pakaian yang mencerminkan sebagai orang yang tawādhu‘, seperti pakaian bulu dan sebagainya. Dan dalam berjalan pun, berpura-pura lemah dan sopan, sedang sesungguhnya ia tidak berhak menyombongkan diri. Lahirnya terlihat tawādhu‘, namun hatinya sombong. Padahal orang buta tidak bisa melihat.

Ada suatu kisah, bahwa Farqad as-Sabkhī bertamu ke rumah Ḥasan Bashrī dengan mengenakan baju yang terbuat dari bahan kasar, sedangkan Ḥasan Bashrī mengenakan pakaian bagus. Kemudian, Farqad meraba-raba pakaian Ḥasan Bashrī. Maka Ḥasan Bashrī berkata: “Ada apa dengan bajuku? Bajuku adalah baju ahli surga, bagus. Sedangkan bajumu adalah baju ahli neraka, kasar. Aku pernah mendengar, bahwa kebanyakan ahli neraka mengenakan baju kasar.” Selanjutnya Ḥasan Bashrī berkata: “Mereka menjadikan zuhud hanya berada pada pakaian mereka, sementara hati mereka sombong.”

Kadang-kadang orang yang mengenakan pakaian kasar lebih sombong daripada orang yang mengenakan pakaian rapi dan bagus.

Dalam kontek ini, Dzun-Nūn al-Mishrī berkata melalui bait-bait syairnya:

تَصَوَّفَ فَازْدَهَى بِالصُّوْفِ جَهْلاً

وَ بَعْضُ النَّاسِ يَلْبَسُهُ مَجَانَةْ

يُرِيْكَ مُهَانَةً وَ يُرِيْكَ كِبْرًا

وَ لَيْسَ الْكِبْرُ مِنْ شَكْلِ الْمُهَانَةْ

تَصَوَّفَ كَيْ يُقَالَ لَهُ أَمِيْنٌ

وَ مَا مَعْنَى تَصَوُّفِهِ الأَمَانَةْ

وَ لَمْ يُرِدِ الإِلهُ بِهِ وَ لكِنْ

أَرَادَ بِهِ الطَّرِيْقَ إِلَى الْخِيَانَةْ.

Ia berpakaian ahli tashawwuf dengan pakaian bulu itu ia berbangga karena kebodohannya

sementara itu sebagian manusia mengenakannya sambil bergurau.

Ia memperlihatkan kepadamu kehinaan dirinya, namun sering pula mempertunjukkan kesombongannya.

Memang kesombongan tidaklah sama dengan kehinaan diri.

Ia memakai baju bulu agar dikatakan sebagai orang yang terpercaya

Padahal ke-tashawwuf-annya tidak bermakna amanah

Ia berbuat demikian bukan karena Allah,

Melainkan sebagai jalan untuk khianat.

Oleh sebab itu, wahai manusia, jagalah diri anda dari empat penyakit yang telah kami sebutkan tersebut, yaitu panjang angan-angan, tergesa-gesa dalam beramal, dengki dan sombong, lebih-lebih penyakit sombong. Sebab, tiga penyakit yang pertama adalah tempat yang licin, seandainya anda tergelincir ke dalamnya, tentu anda terjatuh dalam kemaksiatan. Sedang sombong merupakan tempat licin, yang seandainya anda tergelincir ke dalamnya, tentu anda terperosok ke dalam lautan kekafiran dan kedurhakaan.

Janganlah anda melupakan kisah Iblis dan fitnahnya. Ia membangkang dan bersikap sombong, maka ia menjadi kafir. Marilah kita kembali kepada Allah, semoga Ia menjaga kita, dengan sebaik-baik pengawasan-Nya. Dialah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *