Benar kata penyair dalam bait-bait syairnya yang begitu indah:
تَوَقَّ نَفْسَكَ لاَ تَأْمَنْ غَوَائِلَهَا
فَالنَّفْسُ أَخْبَثُ مِنْ سَبْعِيْنَ شَيْطَانًا.
“Jagalah nafsumu, janganlah merasa aman dari kejahatan-kejahatannya
Sebab nafsu lebih jahat daripada tujuh puluh setan.”
Waspadalah – semoga Allah merahmati anda – terhadap nafsu yang selalu menipu dan mengajak berbuat kejahatan. Mantapkanlah hati anda untuk mengingkari ajakannya dalam keadaan apa pun, niscaya anda menjadi benar dan selamat, in syā’ Allāh. Kemudian hendaklah anda dapat mengendalikan nafsu dengan kendali taqwā. Tidak ada upaya untuk menanggulangi bujukan nafsu, kecuali dengan taqwā.
Ketahuilah, bahwa dalam masalah ini terdapat dasar yang kokoh, yaitu ibadah. Sedangkan ibadah itu ada dua bagian, sebagian berdimensi mengerjakan dan sebagian lagi menjauhi. Bagian yang berdimensi mengerjakan adalah taat kepada Allah, sedangkan bagian yang berdimensi menjauhi adalah meninggalkan maksiat dan perbuatan jahat. Melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan itulah yang disebut taqwā.
Kemudian, bagian yang bersifat menjauhi itu dalam keadaan bagaimanapun, lebih bisa menyelamatkan, lebih bisa membaguskan diri, lebih utama dan lebih mulia bagi hamba, daripada bagian yang bersifat mengerjakan ketaatan.
Karena itu, para pemula dari ahli ibadah yang baru memasuki tahap pertama dalam itjihad, sibuk dengan bagian mengerjakan ibadah dan taat. Semua kemauan kuat mereka terfokus untuk menjalankan puasa di waktu siang, shalat di waktu malam dan sebagainya. Tetapi, orang-orang yang berada pada tingkatan tinggi dari ahli ibadah yang mempunyai kewaspadaan hati, mereka sibuk dengan bagian menjauhi maksiat dan perbuatan jahat. Himmah (cita-cita) mereka adalah menjaga hati agar tidak cenderung kepada yang selain Allah, dan menjaga perut dari berlebih-lebihan, pemeliharaan lisan dari omong kosong, pemeliharaan mata dari melihat pada apa yang tidak berguna bagi diri mereka.
Dalam kontek inilah, ahli ibadah kategori kedua di antara tujuh orang ahli ibadah berkata kepada Nabi Yūnus: “Wahai Yūnus, sebagian manusia itu ada yang dikaruniai suka shalat, tidak ada sesuatupun yang melebihinya, karena shalat adalah tiang agama. Ia menghadap kepada Allah dengan penuh ketabahan dan kesungguhan, merendahkan diri dan larut dalam kemesraan beribadah kepada Allah. Sebagian ada yang dikaruniai suka berpuasa, tidak ada amal ibadah lainnya yang mengalahkannya. Sebagian lagi ada yang dikaruniai suka bersedekah, selain sedekah dikalahkan. Wahai Yūnus, aku akan menerangkan kepada anda akan perbuatan ini. Jadikanlah sepanjang shalat anda, kesabaran menghadapi kemelaratan dan pasrah kepada Allah. Jadikanlah puasa anda, diam dari segala keburukan. Jadikanlah sedekah anda, pencegahan dari menyakitkan dan merugikan orang lain. Sebab, tidak ada sesuatupun yang anda sedekahkan yang lebih utama daripada mencegah dari merugikan orang lain. Tidak ada puasa yang lebih baik daripada diam dari segala keburukan.”
Apabila anda telah mengetahui, bahwa aspek menjauhi maksiat itu lebih utama untuk diperhatikan dan diusahakan dengan sungguh-sungguh, maka jika anda dapat menghasilkan dua sisi (mengerjakan dan menjauhi) sekaligus, berarti sempurnalah urusan anda, tercapai cita-cita dan anda pun selamat serta beruntung.
Tetapi, jika anda hanya dapat mencapai salah satunya, maka hendaklah satu itu adalah sisi menjauhi. Jadi, seandainya anda tidak beruntung, maka anda akan selamat. Jika tidak, anda tentu rugi dari kedua sisi itu semuanya, shalat malam anda tidak ada manfaatnya, bahkan terkadang pahala shalat malam anda itu menjadi musnah, sebab digerogoti penyakit kemaksiatan, (seperti riyā’, ‘ujub, dan lain sebagainya). Puasa anda sepanjang siang hari pun tidak ada gunanya, bahkan terkadang anda merusakkannya, lantaran satu kalimat saja, (seperti perkataan kotor dan perbuatan keji).
Ada satu riwayat, Ibnu ‘Abbās r.a. pernah ditanya oleh seseorang: “Bagaimana pendapat anda mengenai sifat dua orang, yaitu pertama orang yang banyak berbuat baik, tetapi banyak juga kejahatan yang dilakukannya; dan yang kedua orang yang sedikit melakukan kebaikan, dan juga sedikit kejahatannya. Mana yang lebih baik di antara keduanya?”
Ibnu ‘Abbās menjawab: “Tidak ada sesuatupun yang dapat melebihi keselamatan (selamat dari dosa kemaksiatan, yang berarti ia lebih memilih yang kedua). Dapatlah saya kemukakan sebagai contohnya, ketika seseorang sedang menderita suatu penyakit, sementara untuk mengobatinya ada dua cara, yakni mengobatinya dan meninggalkan apa yang menjadi pantangannya, maka in syā’ Allāh ia akan sembuh. Akan tetapi, jika tidak dapat melakukan keduanya, maka menghindari apa yang menjadi pantangannya lebih baik daripada tidak meminum obat. Sebab, tidak ada gunanya ia meminum obat jika pantangannya dilanggar. Sebaliknya, hanya dengan memperhatikan penjagaan terhadap yang menjadi pantangannya, terkadang dapat menyebabkan sembuh, tanpa meminum obat.”
Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Pangkal setiap obat adalah berpantang (melakukan tindakan preventif).” Maksudnya, berpantang itu bisa memadai sebagai pengganti obat. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa orang-orang India, apabila sakit, cara mengobatinya adalah dengan melakukan penjagaan secara ketat terhadap apa yang menjadi pantangannya. Si pasien dilarang makan minum dan berbicara serta melakukan apa saja yang menjadi pantangannya untuk beberapa hari, sampai ia sembuh dan sehat kembali, tanpa melakukan yang lainnya (minum obat).
Dengan demikian jelaslah bagi anda, bahwa pada pokoknya taqwā adalah inti dan pokok kekuatan serta mutiara dari segala perkara. Para ahli taqwā yang merupakan orang-orang yang berada pada tingkatan tinggi dari golongan ahli ibadah. Maka, sudah seharusnya anda mendaya fungsikan segala kemampuan secara optimal dan mencurahkan perhatian kepada perkara tersebut, yaitu taqwā.
(Pasal): Selanjutnya, peliharalah empat anggota tubuh yang merupakan pokok dan pangkal utama, yaitu:
1. Mata.
Sumber utama urusan perkara dunia dan akhirat itu berpangkal di hati. Sedangkan suara hati dan kerusakannya, sebagian besar disebabkan oleh mata. Oleh sebab itu, ‘Alī r.a. berkata:
مَنْ لَمْ يَمْلِكْ عَيْنَهُ فَلَيْسَ لِلْقَلْبِ عِنْدَهُ قِيْمَةٌ
Artinya:
“Barang siapa yang tidak dapat mengendalikan pandangan matanya, maka tiada nilai yang berharga di dalam hatinya.”
2. Lisan.
Lidah, cukuplah bagi anda bahwa nilai , keuntungan, buah kepayahan dan kesungguhan anda semuanya bergantung pada ibadah dan taat. Sedangkan bahaya yang mengancam ibadah, yang menghanguskan dan merusaknya, sebagian besar adalah dari lidah. Seperti perkataan yang mengada-ada, menghias kata, menggunjing dan sebagainya. Apa yang anda kerjakan berpayah-payah setahun penuh, bahkan lima tahun atau sepuluh tahun, terkadang bisa lebur dan rusak hanya dengan ucapan satu kata. Oleh karenanya, ada orang mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang pantas ditahan berlama-lama, selain daripada lidah.”
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa salah seorang di antara tujuh orang ahli ibadah berkata kepada Nabi Yūnus: “Wahai Yūnus, para ahli ibadah itu jika bersungguh-sungguh dalam beribadah, mereka tidaklah menggunakan penguat untuk ibadah, tidak ada sesuatu pun dari ibadah mereka itu yang lebih utama daripada sabar dan meninggalkan bicara dalam waktu yang lama.” Perkataan ini diulangi, lalu dilanjutkan: “Dan janganlah ada yang lebih kamu pentingkan ketimbang menjaga lisanmu. Jangan sampai perhatian anda tercurah kepada sesuatu yang melebihi perhatian anda terhadap keselamatan dada (hati). Menjaga keselamatan lidah dan hati.”
Selanjutnya, ingatlah akan nafas yang kamu gunakan berbicara berlebih-lebihan yang dapat merugikan dan membahayakan anda. Jika anda mengucapkan “Astaghfirullāh” (beristighfar memohon ampun kepada Allah), lalu ucapan itu bertetapan saat yang mulia, sehingga Allah mengampuni anda, sehingga anda beruntung. Atau anda mengucapkan “Lā ilāha illallāh” (tidak ada tuhan selain Allah), sehingga anda mempunyai simpanan pahala yang tidak bisa teraba oleh dugaanmu. Atau anda mengucapkan “As’alullāh-al-‘āfiyah” (aku memohon kesejahteraan kepada Allah), kadang-kadang ucapan ini bersamaan dengan bagusnya angan-angan, lalu Allah mengabulkan doa anda, sehingga anda selamat dari bencana dunia dan akhirat.
Perhatikanlah, bahwa termasuk kerugian besar dan sangat hina, jika anda meninggalkan faedah-faedah yang mulia ini, sementara anda menggunakan diri dan waktu pada hal-hal yang berlebihan dan yang tidak ada gunanya. Kalau begitu, setidaknya anda tentu mendapatkan celaan dan dihisab, serta tertahan pada hari kiamat.
Betapa indahnya perkataan penyair berikut:
وَ إِذَا مَا هَمَمْتَ بِالنُّطْقِ فِي الْبَا ـ
طِلِ فَجْعَلْ مَكَانَهُ تَسْبِيْحًا.
“Ketika engkau hendak berkata batil
Gantilah dengan ucapan tasbih.”