Pasal 5: Perut dan Penjagaannya.
Selanjutnya, wahai orang yang melaksanakan ibadah, terhadap perut anda wajib menjaga dan memperbaikinya. Sebab, perut merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sulit diperbaiki, paling banyak biaya yang dibutuhkan dan paling banyak menyita kesibukan, paling besar mudharat dan pengaruhnya. Sebab, perut merupakan sumber penyakit, karena timbul berbagai perkara (aktivitas) pada anggota tubuh yang lain, seperti kekuatan dan kelemahan kondisi tubuh, kemauan memelihara diri dari perbuatan dosa, tindakan pemogokan dan patologis serta yang semisalnya.
Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi anda untuk menjaga perut dari barang haram dan syubhat terlebih dahulu, kemudian menjaganya dan yang halal secara berlebihan, bila anda benar-benar bertekad untuk beribadah kepada Allah.
Kewajiban menjaga perut dan menjauhkannya dari yang haram dan syubhat itu disebabkan oleh tiga perkara, yaitu:
2. Untuk menghindarkan diri dari neraka Jahannam.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَ سَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (an-Nisā’: 10).
Nabi s.a.w. bersabda:
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ.
Artinya:
“Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka api neraka lebih berhak membakarnya.”
2. Orang yang makan barang haram dan syubhat, ditolak amal ibadahnya dan tidak patut untuk beribadah, karena tidak layak berkhidmat kepada Allah, kecuali orang yang dagingnya tumbuh dari yang halal lagi suci dan disucikan.
Aku berkata: “Bukankah Allah melarang orang yang junub masuk ke dalam masjid. Begitu juga, tidak diperbolehkan orang yang berhadas menyentuh kitab suci al-Qur’ān.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ لاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّى تَغْتَسِلُوْا
Artinya:
“(Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (an-Nisā’: 43).
Dan Allah s.w.t. juga berfirman:
لاَّ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya (al-Qur’ān) kecuali orang-orang yang disucikan.” (al-Wāqi‘ah: 79).
Padahal, jinabat dan terjadinya hadas itu, merupakan perkara yang mubāḥ (diperbolehkan), lalu bagaimana halnya dengan orang yang bersimbah kotoran haram dan syubhat? Bagaimana mungkin Allah akan menerima khidmat orang semacam itu? Tidak, hal itu tidak boleh terjadi selamanya dan Allah yang Maha Suci tidak mungkin mau menerimanya.
Yaḥyā bin Mu‘ādz ar-Rāzī mengatakan bahwa taat itu tersimpan dalam gudang-gudang Allah, sementara kuncinya adalah doa, gigi-gigi kuncinya adalah sesuatu yang halal. Jika kunci tidak bergigi, maka pintu tidak akan dapat dibuka. Dan jika pintu tidak dapat dibuka, bagaimana mungkin seseorang dapat sampai pada taat yang berada dalam gudang itu?
3. Memakan barang haram dan syubhat, membuat seseorang terhalang berbuat kebaikan. Jika secara kebetulan ia dapat melakukannya, maka amalannya pun ditolak dan tidak ada sedikitpun yang diterima. Dengan demikian, maka ia tidak menghasilkan apa-apa, selain kelelahan dan kepayahan serta menghabiskan waktu belaka.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
كَمْ مِنْ قَائِمِ لَيْسَ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ وَ كُمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَ الظَّمَأُ.
Artinya:
“Banyak orang yang beribadah di malam hari tetapi tidak mendapatkan pahala apa-apa selain kepayahan terjaga di malam hari. Dan betapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan pahala apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga belaka.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a.:
لاَ يَقْيَلُ اللهُ صَلاَةَ امْرِئٍ فِيْ جَوْفِهِ حَرَامٌ
Artinya:
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang dalam perutnya terdapat makanan yang haram.”
Adapun memakan makanan yang halal secara berlebihan merupakan penyakit bagi orang ahli ibadah, dan bencana bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.
Dalam masalah ini aku (Imām al-Ghazālī) telah melakukan perenungan, lalu aku dapatkan bahwa dalam masalah mengkonsumsi yang halal secara berlebihan itu, terdapat sepuluh pokok bahaya, yaitu:
Pertama: Kebanyakan makan yang halal menyebabkan hati menjadi keras (membatu) dan memadamkan cahaya.
Nabi s.a.w. bersabda:
لاَ تَمِيْتُوا الْقَلْبَ بِكَثْرَةِ الطَّعَامِ وَ الشَّرَابِ فَإِنَّ الْقَلْبَ يَمُوْتُ كُالزَّرْعِ إِذَا كَثُرَ عَلَيْهِ الْمَاءُ.
Artinya:
“Janganlah anda mematikan hati dengan banyak makan dan minum. Karena, hati bisa mati sebagaimana tanaman, apabila terlalu banyak air.”
Sebagian dari orang-orang saleh memberikan sebuah perumpamaan, bahwa perut itu diumpamakan seperti periuk, terletak di bawah hati. Apabila ia mendidih, asapnya akan mengenai hati, dan banyaknya asap akan membuat hati menjadi kotor dan hitam.
Kedua: Kebanyakan makan akan menimbulkan fitnah terhadap anggota tubuh, dan akan menyeret pada perbuatan yang tidak bermoral, bertindak melebihi kepatutan dan melakukan kerusakan. Apabila seseorang perutnya kenyang akan mendorongnya untuk berbuat lacur, matanya ingin saja melihat sesuatu yang tidak berguna dan yang diharamkan atau sesuatu yang berada di luar kepatutan. Telinga selalu ingin mendengar perkara yang tidak ada manfaatnya, yang diharamkan dan yang melebihi batas kepatutan. Begitu juga lidahnya, selalu ingin berbicara yang tidak ada gunanya, sesuatu yang diharamkan dan yang melebihi kepatutan pula. Kemaluan selalu ingin memperturutkan kecenderungan nafsu syahwat. Demikian pula kaki ingin berjalan menuju perkara yang tidak ada gunanya, yang diharamkan dan yang melebihi batas kepatutan.
Berbeda halnya jika perut lapar, anggota tubuh menjadi tenang, tidak bertingkah, tidak menginginkan hal-hal yang tidak ada gunanya dan tidak pula bertindak melampaui batas. Ustādz Abū Ja‘far berkata: “Sesungguhnya perut adalah satu anggota tubuh yang apabila lapar, maka seluruh anggota tubuh menjadi kenyang (tenang), tidak mengajak berbuat sesuatu yang bukan-bukan. Tetapi jika perut kenyang, maka seluruh anggota badan lainnya menjadi lapar.”
Kesimpulannya adalah bahwa perbuatan dan ucapan seseorang sangat bergantung pada makanan dan minumannya. Jika yang masuk ke dalam perutnya adalah makanan haram, maka yang keluar adalah perbuatan dan ucapan haram. Dan jika yang masuk ke dalam perutnya melebihi batas, maka yang keluar pun perbuatan dan ucapan yang melebihi batas kepatutan pula. Jadi, makanan itu bagaikan benih perbuatan, sementara tindakan dan perbuatan yang terjadi adalah tumbuh dari benih itu.
Ketiga: Kebanyakan makan berakibat pemahamannya sangat minim begitu pula ilmu yang didapatkan. Sebab, perut yang penuh (kenyang) itu akan menghilangkan kecerdasan berpikir. Benarlah apa yang dikatakan ad-Dāranī: “Jika anda menginginkan terkabulnya suatu hajat dunia dan akhirat, maka janganlah anda makan dahulu sebelum tercapai maksud itu. Sebab, makan itu dapat merubah akal.” Hal ini, merupakan suatu pengetahuan yang benar-benar nyata dan dapat dirasakan oleh yang pernah mengalaminya.
Keempat: Kebanyakan makan dapat mengakibatkan minimnya ibadah. Sebab kebanyakan makan membuat badan menjadi terasa berat, mengakibatkan mata mengantuk dan anggota badan lainnya terasa lesu, sehingga tidak bisa menghasilkan apa pun kecuali tidur, seperti bangkai yang tergeletak di tanah. Ada yang mengatakan: “Jika perut anda buncit (kekenyangan), maka anggaplah diri anda sebagai orang yang lumpuh.”
Diceritakan dari Nabi Yaḥyā bin Zakariyyā a.s. bahwa Iblis pernah menampakkan diri kepadanya dengan membawa jerat-jerat tali. Nabi Yaḥyā bertanya: “Hai Iblis, apa itu?” Iblis menjawab: “Ini adalah jerat syahwat yang aku pergunakan untuk menjerat anak cucu Adam.” Nabi Yaḥyā bertanya lagi: “Apakah akan anda kenakan jerat itu pada diriku juga?” Iblis menjawab: “Tidak, tetapi anda pernah makan kenyang pada suatu malam, sehingga membuat badan anda merasa berat, lalu meninggalkan shalat.” Nabi Yaḥyā berkata: “Kalau begitu, aku tidak akan makan sampai kenyang lagi selama hidupku.” Iblis berkata: “Aku menyesal telah membuka rahasiaku ini, setelah ini, aku tidak akan membocorkan lagi rahasiaku ini, kepada siapa pun.”
Peritsitwa ini mengenai orang yang selamanya tidak pernah kenyang, kecuali hanya sekali. Lalu bagaimana halnya dengan orang yang tidak pernah lapar sepanjang hidupnya, melainkan hanya semalam, lalu ia menginginkan beribadah?
Sufyān ats-Tsaurī berkata: “Ibadah adalah suatu pekerjaan, kedainya adalah berkhalwat dan alatnya adalah lapar.”
Kelima: Kebanyakan makan dapat menghilangkan manisnya beribadah. Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. pernah berkata: “Aku tidak pernah makan sampai kenyang sejak aku memeluk agama Islam, agar aku dapat merasakan manisnya beribadah kepada Tuhanku. Dan tidak pernah minum yang menyegarkan badanku, sejak aku memeluk agama Islam, karena rindu bertemu Tuhanku.”
Begitulah sifat orang-orang ahli mukāsyafah (dikaruniai kemampuan menyingkap kegaiban). Dan Abū Bakar adalah orang yang telah dikaruniai kasyaf. Sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Nabi s.a.w.:
مَا فَضَلَكُمْ أَبُوْ بَكْرٍ بِفَضْلِ صَوْمٍ وَ لاَ صَلاَةٍ وَ إِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ وَقَرَ فِيْ نَفْسِهِ.
Artinya:
“Abū Bakar tidaklah melebihi kalian, dalam hal puasa atau shalat, hanya saja ia dikarunia kewibawaan (keistimewaan kasyaf) di dalam jiwa (dada)nya.”
Syaikh ad-Dāranī berkata: “Ibadah yang paling manis adalah ketika perutku rapat dengan punggungku (lapar).”
Keenam: Kebanyakan makan, sangat mengkhawatirkan akan menjerumuskan ke dalam perkara haram atau syubhat. Sebab, sesuatu yang halal itu, tidak lain hanyalah sebagai penguat bagi anda.
Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ لاَ يَأْتِيْكَ إِلاَّ قُوْتًا وَ الْحَرَامُ يَأْتِيْكَ جُزَافَا جُزَفًا.
Artinya:
“Sesungguhnya barang yang halal itu tidaklah mendatangkan sesuatu kepada anda melainkan sebagai kekuatan, sedangkan barang yang haram itu hanyalah akan mendatangkan anda pada tindakan serampangan.”
Ketujuh: Kebanyakan makan membuat kesibukan hati dan badan, yaitu:
Nabi s.a.w. bersabda:
أَصْلُ كُلِّ دَاءٍ الْبَرَدَةُ – يَعْنِيْ التُّخْمَةُ – وَ أَصْلُ كُلِّ دَوَاءٍ الأَزْمَةُ
Artinya:
“Pangkal dari segala penyakit adalah kekenyangan. Dan pangkal segala obat adalah lapar (mengendalikan nafsu makan).”
Diriwayatkan dari Mālik bin Dīnār, bahwa ia pernah berkata: “Wahai saudara-saudaraku, aku telah mondar-mandir keluar masuk WC, hingga aku malu kepada Tuhanku, sebab banyak makan. Andai saja Allah memberiku rezeki berupa krikil yang dapat kuisap hingga aku mati.”
Kemudian dari hal tersebut jelaslah bahwa kebanyakan makan akan menuntut seseorang untuk terus mencari harta dunia dan rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain, dan waktu pun terbuang sia-sia disebabkan kebanyakan makan.
Kedelapan: Kebanyakan makan dapat mengakibatkan timbulnya berbagai persoalan di akhirat dan kerasnya sakarat-ul-maut. Diriwayatkan di dalam Akhbār (hadis), bahwa kerasnya sakarat-ul-maut itu menurut kadar kelezatan dunia yang dirasakan. Jadi, barang siapa yang banyak bersenang-senang dengan kelezatan duniawi, maka akan semakin keras sakitnya sakarat-ul-maut yang dirasakan.
Kesembilan: Kebanyakan makan mengakibatkan berkurangnya pahala di akhirat.
Allah s.w.t. berfirman:
أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِيْ حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَ اسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَ بِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ
Artinya:
“….. (kepada mereka dikatakan): Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak, dan karena kamu telah fasik.” (al-Aḥqāf: 20).
Sesungguhnya, menurut kadar kelezatan dunia yang anda ambil, kelezatan akhirat anda menjadi berkurang. Sehubungan dengan makna ini, ketika Allah menawarkan dunia kepada Nabi Muḥammad s.a.w., Ia berfirman kepada beliau: “Aku tidak akan mengurangi sedikitpun dari kenikmatan akhirat anda.”
Allah memberikan keistimewaan kepada Rasūlullāh s.a.w. dengan tidak mengurangi pahala akhirat. Berarti, selain beliau akan mengalami pengurangan kelezatan, kecuali jika Allah memberikan anugerah kepadanya dalam hal tersebut.
Diriwayatkan bahwa Khālid bin Walīd pernah menjamu khalifah ‘Umar bin Khaththāb. Khālid menyediakan makanan buat ‘Umar, lalu ‘Umar berkata: “Ini untukku, lalu mana untuk orang-orang fakir yang hijrah dari Makkah ke Madinah yang telah mati dan belum pernah kenyang makan roti gandum?” Khālid menjawab: “Mereka telah mendapatkan surga.” ‘Umar berkata: “Jika mereka beruntung telah mendapatkan surga, makanan ini, merupakan bagian kita di dunia, sementara mereka jelas-jelas terpisah dari kita.”
Diriwayatkan pula, pada suatu hari ‘Umar bin Khaththāb merasa haus. Kemudian beliau minta air. Seseorang menyodorkan kepada beliau sebuah tempat minum berisi minuman yang di dalamnya terdapat rendaman korma. Ketika ‘Umar mendekatkan minuman itu ke mulutnya, beliau merasakan air itu dingin lagi manis. Lalu ‘Umar menahannya, seraya mendesah. Sementara orang yang memberikan minuman berkata: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn, demi Allah, minuman itu telah ku buat semanis-manisnya.” ‘Umar berkata: “Justru karena manisnya itu yang mencegahku dari meninumnya. Celaka anda, seandainya tidak ada akhirat, tentu aku ikut-ikutan bersama anda menikmati kesenangan hidup di dunia.”
Kesepuluh: Kebanyakan makan menyebabkan tertahan dan bertambah beratnya hisab, dicela dan dimaki-maki, karena mengabaikan tatakarma dalam hal mengkonsumsi secara berlebihan dan mencari-cari apa yang menjadi kesenangan nafsu. Sebab, harta yang halal bakal dihisab, yang haram membawa siksa, sementara perhiasannya pasti akan musnah.
Demikianlah akibat buruk yang ditimbulkan dari kebanyakan makan. Salah satu saja daripadanya, kiranya cukup sebagai penggogah kesadaran bagi orang yang mau memikirkan tentang keselamatan dirinya. Oleh sebab itu, wahai orang yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah, anda harus pandai-pandai menjaga diri, berhati-hati dalam urusan makanan, agar tidak terjerumus pada yang diharamkan atau syubhat, sehingga mengakibatkan anda mendapatkan siksa.
Cukupkan dengan barang halal sebagai bekal beribadah kepada Allah, dan janganlah anda menjatuhkan diri pada kejahatan yang membuat anda jadi tertahan. Kepada Allah kita memohon petunjuk dan pertolongan-Nya.