Seandainya ada orang bertanya: “Kenapa diperbolehkan melakukan penetapan pada permulaan, tetapi wajib pasrah dan istitsna dalam menyempurnakan?” Kepadanya dikatakan sebagai jawabnya: “Karena tidak ada kekhawatiran dalam permulaan, sebab amal pada permulaan itu bukan suatu hal yang belum terjadi. Sedangkan dalam keadaan menyempurnakan terhadap kekhawatiran, karena menyempurnakan amal adalah suatu hal yang berada di belakang (baru akan dilaksanakan).
Dengan demikian, maka dalam penyempurnaan itu terdapat dua kekhawatiran, yaitu: Kekhawatiran bisa sampai kepada kesempurnaan, atau tidak, dalam hal ini anda tidak tahu apakah bisa sampai ke sana atau tidak; dan kekhawatiran rusaknya amal, anda tidak tahu apakah amal anda itu diterima sebagai amal baik atau tidak, rusak atau tidak? Oleh sebab itu, wajib istitsnā’ (mengucap in syā’ Allāh) lantaran kekhawatiran sampai tidaknya amal hingga paripurna dan wajib pasrah lantaran kekhawatiran akan rusaknya amal.
Ketika anda telah mendapatkan irādah (kehendak) menurut syarat-syarat ini, maka saat itu irādah menjadi niat terpuji dan keluar dari definisi angan-angan serta terbebas dari afatnya thūl-ul-amal. Renungkanlah dengan sungguh-sungguh keterangan tersebut sedikit demi sedikit.
Dan ketahuilah bahwa benteng pendeknya angan-angan adalah ingin mati. Sedangkan benteng untuk menjaga pendeknya angan-angan adalah ingat akan kedatangan maut secara mendadak tanpa tersangka-sangka lalu merenggutnya, sementara ia masih dalam keadaan terlena terbujuk nafsu dan tertipu.
Jagalah keterangan ini dan laksanakanlah, sebab setiap orang Islam tentu sangat membutuhkan keterangan ini. Tinggalkanlah kebiasaan menyia-nyiakan waktu untuk mengobrol dan bertengkar dengan orang lain. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita, berkat anugerah keutamaan-Nya.
Sedangkan dengki adalah keinginan akan hilangnya nikmat-nikmat Allah s.w.t. dari saudara sesama muslim, apa saja yang mengandung kebaikan baginya.
Jika anda tidak menginginkan hilangnya nikmat, tetapi anda ingin memperoleh seperti apa yang telah diberikan Allah kepada saudara sesama muslim itu, maka yang demikian itu disebut ghibthah (dambaan). Inilah yang dimaksudkan dalam sabda Rasūlullāh s.a.w. berikut:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ الْخَيْرِ
Artinya:
“Tidak boleh hasud terhadap nikmat yang diberikan kepada orang lain, kecuali dalam dua perkara kebaikan…”
Rasūlullāh s.a.w. menggunakan kata hasud, tetapi yang dimaksud adalah ghibthah, karena kedua kata tersebut hampir sama.
Kalau dalam nikmat yang diterima saudara sesama muslim itu tidak mengandung kebaikan baginya, lalu anda menginginkan hilangnya nikmat tersebut darinya, maka yang demikian itu disebut ghīrah (kecemburuan).
Sebagai kebalikan dengki adalah nasehat (an-nashīḥah), yaitu kehendak akan tetapnya nikmat-nikmat Allah pada saudara sesama muslim, yang mengandung kebaikan baginya.
Apabila ditanyakan: “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa nikmat yang diterima saudara sesama muslim itu mengandung kebaikan atau kerusakan, agar kita bisa berkehendak baik kepadanya atau hasud padanya?”
Jawabnya, adalah bahwa kadang-kadang kita mempunyai dugaan kuat akan adanya kebaikan atau kerusakan itu. Kuatnya dugaan bisa berlaku sebagai ilmu dalam masalah ini. Namun apabila anda merasa ragu, maka janganlah mengharapkan hilangnya nikmat seseorang muslim atau tetapnya, kecuali apabila anda kokohkan dengan kepasrahan dan syarat akan kebaikan, agar anda terlepas dari hukum dengki dan bisa menemukan faedah nasehat (an-nashīḥah).
Adapun kebaikan benteng nasihat (an-nashīḥah), yang dapat mencegah dengki, ialah selalu ingat apa yang diwajibkan Allah, yaitu saling mengasihi di antara sesama muslim. Sedangkan yang membentengi benteng ini adalah ingat kepada apa yang diagungkan Allah, yakni hak orang mukmin, pangkat yang diluhurkan Allah dan bagian orang mukmin di hadapan Allah, berupa kemuliaan yang agung di akhirat, serta keuntungan besar yang anda dapatkan di dunia dan akhirat, seperti saling tolong menolong, bantu membantu, perkumpulan-perkumpulan, jama‘ah, shalat Jum‘ah, lalu syafa‘at yang bisa kamu harapkan di akhirat dan lain sebagainya. Semua itu termasuk sebagai motivator nasehat (an-nashīḥah) bagi setiap pribadi muslim, sekaligus sebagai penghalang sikap dengki atas nikmat Allah yang diberikan kepadanya. Semoga Allah s.w.t. memberikan petunjuk kepada kita, dengan anugerah keutamaan-Nya.
Sedangkan tergesa-gesa (‘ajalah) adalah suatu sifat yang ada dalam hati yang dapat membangkitkan untuk mengerjakan sesuatu yang mula-mula muncul dalam ingatan tanpa adanya kontrol terlebih dahulu, tetapi ingin segera dituruti dan dikerjakan.
Sebagai kebalikannya adalah sikap tenang dan perlahan-lahan (at-ta’annī), yaitu suatu sifat yang juga ada dalam hati yang membangkitkan sifat berhati-hati dalam segala perbuatan, serta penelaahan secara cermat dan berlahan-lahan dalam mengerjakannya.
Adapun sikap berhenti untuk mencermati (at-tawaqquf – periksa dahulu), sebagai kebalikannya adalah mengerjakan secara serampangan (at-ta‘assuf – terobos saja). Guru kami r.a. berkata, bahwa perbedaan antara at-tawaqquf dan at-ta‘assuf adalah bahwa at-tawaqquf dilakukan sebelum memulai mengerjakan suatu perkara, sehingga menjadi jelas baginya petunjuk yang dapat dijadikan pegangan dan penuh kehati-hatian dalam mengerjakannya. Sedangkan kehati-hatian (at-ta’annī – perlahan-lahan, tenang) adalah terjadi setelah masuk ke dalam pekerjaan akan suatu perkara, sehingga dia dapat mengerjakan setiap bagiannya dengan semestinya. Sedangkan at-ta‘assuf ?????? (harus rujuk ke teks aslinya – tidak ada terjemahannya di sini – SH)
Selanjutnya, sebagai pendahuluan ketenangan dan perlahan-lahan adalah mengingat segi-segi kekhawatiran dalam segala persoalan yang dihadapi manusia dan berbagai bahaya yang menakutkan. Juga mengingat apa yang telah dihasilkan dan ditetapkan dari perenungan, sehingga dapat selamat, serta mengingat penyesalan dan ketercelaan sebagai akibat dari mengerjakan secara serampangan dan tergesa-gesa.
Demikian itu dan yang semisalnya termasuk hal-hal yang mendorong untuk bertindak perlahan-lahan dan teliti dalam segala persoalan hidup serta mencegah dari bertindak tergesa-gesa dan melakukan segala urusan secara serampangan. Kepada Allah kita memohon anugerah dan penjagaan.
Sementara sombong (kibr), maka ketahuilah bahwa ia merupakan suatu sifat yang sangat berbahaya, karena kejahatan karakternya yang selalu meninggikan diri, mengagung-agungkan dirinya, lalu bersikap sombong sebagai kelanjutnya.
Sementara sikap merendahkan diri dan merasa dirinya terhina, secara proporsional akan melahirkan sikap tawādhu‘. Masing-masing dari keduanya ada yang bersifat umum dan khusus.
Tawādhu‘ yang bersifat umum ialah merasa cukup dengan kondisi kehidupan yang bersahaja, baik berupa pakaian, tempat tinggal maupun kendaraan. Sementara takabbur, merupakan kebalikannya, yaitu bersikap tinggi hati baik dalam pakaian, tempat tinggal maupun kendaraan.
Sedangkan tawādhu‘ yang bersifat khusus adalah ujian bagi jiwa untuk menerima kebenaran dari siapapun juga baik dari orang yang rendah (awam) maupun orang yang mulia. Sementara takabbur adalah kebalikannya, yaitu merasa dirinya paling tinggi dan paling benar serta enggan menerima kebenaran. Takabbur merupakan kemaksiatan dan kesalahan yang sangat besar.
Benteng tawādhu‘ yang bersifat umum adalah hendaklah anda mengingat akan asal-muasal serta ke mana akhir perjalanan hidup anda, juga berbagai afat dan kotoran yang menimpa anda sekarang. Sebagaimana perkataan sebagian ulama: “Awal mula anda adalah berupa air mani yang menjijikkan, sedangkan akhir hidup anda menjadi bangkai yang kotor dan busuk.” (sama dengan ucapan Sayyidinā ‘Alī k.w.: Awwaluhu nuthfah wa ākhiruhu jīfah). Sementara di dalam rentang masa antara keduanya, ke sana ke mari anda selalu membawa kotoran (tinja’).
Adapun benteng tawādhu‘ yang bersifat khusus adalah mengingat akan hukuman Dzat Yang Maha ‘Adil, karena penyimpangan dan kebenaran dan kesombongan dalam kebatilan. Keterangan ini kiranya cukup bagi orang yang memiliki ketajaman penglihatan mata batin. Kepada Allah, kita memohon petunjuk dan pertolongan, Dialah sebaik-baik pemberi petunjuk dan pertolongan.