Dengki.
Dengki merupakan pekerti tercela yang merusak ketaatan dan membangkitkan keinginan untuk melakukan berbagai kesalahan. Dengki termasuk penyakit yang sulit disembuhkan. Banyak ahli baca al-Qur’ān dan ulama yang terkena penyakit ini, terutama masyarakat awam dan orang-orang bodoh, sehingga penyakit ini menghancurkan dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Tidakkah anda telah mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:
سِتَّةٌ يَدْخُلُوْنَ النَّارَ بِسِتَّةٍ: الْعَرَبُ بِالْعَصَبِيَّةِ وَ الأُمَرَاءُ بِالْجُوْرِ وَ الدَّهَاقِيْنَ بِالْكِبْرِ وَ التُّجَّارُ بِالْخِيَانَةِ وَ أَهْلُ الرَّسَاتِيْقِ بِالْجَهْلِ وَ الْعُلَمَاءُ بِالْحَسَدِ.
Artinya:
“Ada enam golongan yang masuk neraka dengan enam sebab, yaitu:
1). Orang ‘Arab, sebab fanatisme;
2). Para penguasa pemerintahan, sebab bertindak jahat (zhālim);
3). Kepala distrik, sebab sombong;
4). Para pedagang, sebab khianat;
5). Orang pedalaman, sebab kebodohan;
6). Para ulama, sebab dengki.”
Sebuah kerusakan yang kejahatannya dapat menjerumuskan para ulama ke dalam neraka, maka sungguh kita harus takut dan menjauhinya.
Ketahuilah bahwa dengki itu dapat menimbulkan lima perkara:
1. Merusak ketaatan.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الْحَطَبَ
Artinya:
“Dengki itu dapat memakan kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.”
2. Melakukan berbagai kemaksiatan dan kejahatan. Sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih bahwa orang yang dengki itu memiliki tiga ciri:
Jika di belakang mengumpat.
Senang jika orang yang dihasudi (didengki) itu terkena musibah.
Aku katakan, cukuplah kiranya bagi anda bahwa Allah memerintahkan kita agar memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan orang yang dengki. Allah s.w.t. berfirman:
وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Artinya:
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (al-Falaq: 5).
Sebagaimana halnya Allah memerintahkan kita agar memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan syaithan dan tukang sihir. Perhatikan, betapa banyak kejahatan dan fitnah yang dilakukan oleh orang yang dengki, sehingga Allah menempatkannya sejajar dengan kedudukan syaithan dan tukang sihir. Dan tiada yang bisa dimintai perlindungan kecuali Allah s.w.t.
3. Kelelahan dan kegelisahan tanpa faedah, bahkan hal itu juga berdosa dan merupakan kemaksiatan. Seperti dikatakan oleh Ibnu Simāk r.h.: “Aku tidak melihat orang zhalim yang lebih menyerupai orang yang dizhalimi, daripada orang yang berjiwa dengki yang hina, akal yang bingung dan susah yang terus-menerus.”
4. Kebutaan hati, sehingga hampir saja tidak mampu memahami satu hukum pun dari hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla. Seperti dikatakan Sufyān ats-Tsaurī: “Biasakan diam dalam waktu lama, tentu anda bersifat wara‘ (hati-hati dan menjaga diri). Jangan rakus terhadap dunia, tentu anda menjadi orang yang dapat menjaga diri; Janganlah suka mencela orang lain, niscaya anda akan selamat dari celaan orang lain; Dan janganlah menjadi orang yang dengki, niscaya anda akan cepat paham.”
5. Terhalang dari memperoleh anugerah dan selalu diliputi kehinaan. Hampir-hampir tidak akan dapat meraih apa yang diinginkan dan tidak mendapatkan pertolongan dalam mengatasi musuh. Sebagaimana yang dikatakan Ḥātim al-‘Asham: “Orang yang menyembunyikan permusuhan di dalam hati itu bukanlah orang yang beragama. Orang yang suka mencela orang lain bukanlah orang yang ahli beribadah. Orang yang suka mengadu domba bukanlah orang yang bisa dipercaya. Dan penghasud (pendengki) bukanlah orang yang mendapatkan pertolongan.”
Aku katakan, bagaimana penghasud bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, sedangkan yang ia inginkan adalah hilangnya nikmat Allah dari para hamba-hambaNya yang muslim. Bagaimana ia bisa mendapatkan pertolongan dalam mengatasi musuh-musuhnya, sedangkan musuh-musuhnya adalah hamba Allah yang beriman.
Betapa bagus doa Abū Ya‘qūb:
اللهُمَّ صَبَّرْنَا عَلَى تَمَامِ النِّعَمِ عَلَى عِبَادِكَ وَ حُسْنِ أَحْوَالِهِمْ
Artinya:
“Ya Allah, sabarkanlah kami atas kesempurnaan nikmat yang Engkau berikan kepada hamba-hambaMu dan baiknya keadaan mereka.”
Sesunguhnya dengki itu adalah penyakit yang dapat merusak ketaatan anda, memperbanyak kejahatan dan maksiat, mencegah ketenangan jiwa dan kecerdasan pemahaman hati anda, serta sebagai penghalang dari pertolongan Allah dalam mengatasi musuh dan mendapatkan apa yang anda cari.
Maka, adakah penyakit yang lebih parah daripada sifat dengki ini? Karena itu, bersungguh-sungguhlah anda dalam usaha menghilangkan dan menghindarkan sifat dengki ini. Semoga Allah berkenan memberikan pertolongan kepada kita dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.
Tergesa-gesa Dalam Mengerjakan Kebaikan.
Tergesa-gesa dalam menjalankan kebaikan merupakan sebuah sikap yang dapat meluputkan tujuan, dan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.
Dan sikap tergesa-gesa itu dapat menimbulkan empat macam bencana, yaitu:
1. Orang yang beribadah dengan maksud mencapai kedudukan dalam kebaikan dan istiqāmah serta bersungguh-sungguh, namun kadang-kadang ia melakukannya, padahal belum masanya. Hal itu dapat membuatnya kelelahan dan putus asa, lalu ia tidak lagi bersungguh-sungguh, sehingga ia menjadi terhalang dari kedudukan yang hendak ia capai itu. Atau kalau tidak begitu, ia bertindak melampaui batas dan memperpayah diri, yang pada akhirnya terputus dari kedudukan itu. Ia berada di antara keteledoran dan kecerobohan, keduanya merupakan hasil dari sikap tergesa-gesa. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ دِيَنَنَا مَتِيْنٌ فَأَوْغِلْ فِيْهِ بِرِفْقٍ فَإِنَّ الْمُنْبَتَّ لاَ أَرْضًا قَطَعَ وَ لاَ ظَهْرًا أَبْقَى.
Artinya:
“Bahwasanya agama kita itu kokoh, maka jalankanlah dengan perlahan-lahan (tidak tergesa-gesa). Sebab, orang yang telah putus semangatnya itu tidak bisa melintasi bumi dan dan tidak bisa terus berada di atas tunggangannya.”
Ada pepatah ‘Arab mengatakan:
إِنْ لَمْ تَسْتَعْجِلْ تَصِلْ
Artinya:
“Jika saja anda tidak tergesa-gesa, tentu anda sampai (pada tujuan).”
Berkata pula seorang penyair:
قَدْ يُدْرِكُ الْمُتَأَنِّيْ بَعْضَ حَاجَتِهِ
وَ قَدْ يَكُوْنُ مَعَ الْمُسْتَعْجِلِ الزَّلَلُ
Artinya:
“Dengan pelan-pelan penuh ketekunan sebagian hajat akan didapatkan
Dengan tergesa-gesa bisa jadi hanyalah ketergelinciran yang didapatkan.”
2. Orang ahli ibadah, tentu mempunyai hajat, lalu ia memperbanyak doa kepada Allah dan bersungguh-sungguh agar hajatnya tercapai. Namun kemudian terkadang tergesa-gesa ingin doanya segera terkabul sebelum waktunya, lalu tidak kesampaian, akhirnya ia akan merasa bosan dan lelah. Lantas berhenti berdoa, akhirnya hajat dan tujuan menjadi tidak mencapai.
3. Terkadang orang yang sedang menjalani ibadah itu dizhalimi oleh orang lain, lalu membuatnya marah dan tergesa-gesa mendoakan orang yang berbuat zhalim kepadanya agar segera mendapatkan hukuman, sehingga orang Islam mengalamai kerusakan karenanya. Bahkan bisa jadi ia melampaui batas, sehingga terperosok ke dalam kemaksiatan dan kebinasaan.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ يَدْعُ الإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَ كَانَ الإِنْسَانُ عَجُوْلاً
Artinya:
“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Isrā’: 11).
4. Pokok dari ibadah adalah wara‘ sebagai kekuatannya, dan pokok dari wara‘ adalah perenungan secara mendalam dalam segala hal, dan mengkaji secara penuh setiap hal menurut kemampuan yang dimilikinya, seperti makan, minum, berpakaian, berbicara dan berbuat.
Apabila seseorang bersikap tergesa-gesa dalam segala urusan, tidak mau perlahan-lahan dan berhati-hati dalam mencapai kejelasan apa yang dihadapi, tentu ia tidak dapat memperhatikan dan memandang segala urusan yang dihadapi itu sebagaimana mestinya. Ia akan tergesa-gesa berbicara, lalu lidahnya tergelincir dalam kesalahan, tergesa-gesa ketika makan, lalu terjerumus ke dalam barang haram dan syubhat. Demikian pula dalam setiap persoalan hidup, sehingga ia kehilangan sifat wara‘. Adakah kebaikan yang didapatkan dalam ibadah tanpa kehati-hatian dan penuh kesungguhan (wara‘)
Apabila dalam setiap perkara telah terputus eksistensi kebaikannya, terhalang hajat-hajatnya, dan menjadi penyebab kerusakan kaum muslimin, juga dirinya sendiri, bahkan dikhawatirkan akan terlepasnya sifat wara‘ yang menjadi modal pokok ibadah, maka tentu menjadi keharusan bagi manusia untuk mencurahkan perhatian kepada hal tersebut, dan berusaha memusnahkan ketergesa-gesaan yang menjadi penghalang untuk meraih maksud dan sampai pada tujuan itu, lalu memperbaiki diri.