3-4-3 Tahapan Rintangan – Nafsu | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

Jika anda berkata: “Sungguh agung kedudukan taqwā ini dan sangat perlu untuk diketahui, maka sudah seharusnya anda diterangkan secara detail dan mendalam.”

Ketahuilah, bahwa memang begitulah kedudukan taqwā, sudah seharusnya kedudukan taqwā ini diagungkan, wajib dicari dan setiap orang perlu mengetahuinya. Tetapi mesti tahu bahwa guna mencapai suatu urusan yang mulia dan besar diperlukan usaha yang maksimal, ketabahan dan semangat yang tinggi serta kesungguhan.

Begitu halnya dengan taqwā, untuk dapat meraihnya dibutuhkan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Anda dituntut untuk memenuhi hak-haknya dan menaruh perhatian yang besar. Untuk menghasilkannya juga merupakan pekerjaan besar dan penting. Segala kemuliaan dan kelezatan itu memang sebanding dengan jerih payah dan biaya yang dikorbankan.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَ إِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-‘Ankabūt 29: 69).

Dan Allah, Dia-lah Tuhan Yang Maha Belas Kasih, dengan kekuasaan-Nya segala yang sulit menjadi mudah. Karena itu, dengarkan, perhatikan dengan seksama, dan pahamilah dengan sungguh-sungguh keterangan-keterangan tersebut, sehingga anda benar-benar mengetahuinya, lalu segera mengerjakannya. Dan memohonlah pertolongan kepada Allah agar dapat mengamalkan yang telah anda ketahui. Sebab, semua persoalan itu berada di dalam ilmu dan amal. Semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita, berkat anugerah kemuliaan-Nya.

Selanjutnya aku katakan – semoga Allah memberikan berkah dalam kehidupan beragama anda dan menambah kekuatan keyakinan anda – Pertama-tama ketahuilah bahwa taqwā menurut pendapat guru-guruku adalah membersihkan hati dari dosa yang belum pernah dilakukan, sehingga timbul tekad yang kuat untuk meninggalkannya, yang dapat memelihara diri dari semua maksiat.

Lafal at-taqwā menurut bahasa berasal dari lafal al-waqwā dengan menggunakan huruf wāwu yang merupakan bentuk masdar dari lafal wiqāyah. Dikatakan dalam tashrifnya, sebagai berikut: waqā – yaqī wiqāyatan – waqwan, lalu huruf wāwu yang berada pada posisi fā’ fi‘il dari lafal yang terakhir itu (waqwan) diganti dengan tā menjadi taqwā, sebagaimana lafal al-wuklan menjadi at-tuklan, dan yang semisalnya.

Dengan demikian, apabila telah berhasil pemeliharaan antara seorang hamba dengan kemaksiatan, karena kuatnya tekad dan ketetapan hati untuk meninggalkannya, maka orang tersebut disebut sebagai orang yang ber-taqwā. Dikatakan juga bahwa taqwā ialah pembersihan hati dari kemaksiatan dan kekuatan tekad serta kemantapan hati untuk senantiasa berada dalam ke-taqwā-an.

Terdapat tiga makna kata taqwā, di dalam Al-Qur’ān, yaitu:

  1. Taqwā berarti takut, sebagaimana firman Allah s.w.t.:

وَ إِيَّايَ فَاتَّقُوْنَ

Artinya:

Dan hanya kepada-Ku, takutlah kamu.” (al-Baqarah 2: 41).

Dan firman Allah s.w.t.:

وَ اتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ

Artinya:

Takutlah kamu pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (al-Baqarah 2: 281).

2. Taqwā berarti taat dan ibadah. Allah s.w.t. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, ber-taqwā-lah kepada Allah sebenar-benar taqwā kepada-Nya.” (Āli ‘Imrān 3: 102).

Ibnu ‘Abbās berkata mengenai artinya: “Taatlah anda kepada Allah dengan sebenar-benar taat.”

Dan Mujāhid berkata: “Ayat tersebut mengandung makna, kewajiban taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya; keharusan mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya; bersyukur kepada Allah dan tidak mengkufuri-Nya.

3. Taqwā berarti membersihkan hati dari segala dosa. Inilah dia hakikat taqwā, selain kedua arti sebelumnya, sebagaimana firman Allah:

وَ مَنْ يُطِعِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ يَخْشَ اللهَ وَ يَتَّقْهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ

Artinya:

Barang siapa taat kepada Allah dan Rasūl-Nya dan takut kepada Allah dan ber-taqwā kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (an-Nūr 24: 52).

Dalam ayat ini, Allah s.w.t. menyebut tentang taat, takut, barulah kemudian menyebut taqwā. Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa hakikat taqwā bukanlah berarti taat dan takut, akan tetapi membersihkan hati dari apa yang telah kami terangkan di atas.

Selanjutnya, guru-guruku – semoga Allah merahmati mereka – mengatakan bahwa tingkatan taqwā itu ada tiga:

1. Taqwā dari perbuatan syirik.

2. Taqwā dari perbuatan bid‘ah.

3. Taqwā dari segala perbuatan maksiat yang bersifat furū (perkara cabang, bukan pokok-pokok akidah). Allah telah menyebutkan tiga tingkatan ini dalam sebuah ayat, berikut:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَ آمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَ آحْسَنُوْا

Artinya:

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka ber-taqwā serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap ber-taqwā dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) ber-taqwā dan berbuat kebajikan.” (al-Mā’idah 5: 93).

Taqwā yang pertama adalah taqwā dari perbuatan syirik dan iman yang menjadi bandingannya adalah tauhid.

Taqwā yang kedua adalah taqwā dari segala perbuatan bid‘ah, sedangkan iman yang disebut bersamanya adalah mengakui akidah-akidah ahlus sunnah wal jamā‘ah.

Taqwā yang ketiga adalah taqwā dari segala perbuatan maksiat cabang (furū). Iqrār dalam kedudukan ini, sebagai bandingannya adalah iḥsān. Yaitu, taat dan istiqāmah dalam menjalankannya. Maka, tingkatan ketiga ini merupakan tingkatan orang yang istiqāmah berbuat taat kepada Allah.

Ayat di atas mencakup penuturan tiga tingkatan taqwā, yaitu: tingkatan iman, tingkatan sunah dan tingkatan istiqāmah dalam taat. Demikian penjelasan para ulama mengenai makna taqwā.

Selanjutnya, aku berpendapat, bahwa taqwā berarti menjauhi yang halal secara berlebih-lebihan. Arti semacam ini sesuai dengan hadis masyhur yang diriwayatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w., beliau bersabda:

إِنَّمَا سُمِّيَ الْمُتَّقُوْنَ مُتَّقِيْنَ لِتَرْكِهِمْ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا عَمَّا بِهِ بَأْسٌ

Artinya:

Hanyalah orang-orang yang bertakwa yang disebut Muttaqin. Sebab, mereka meninggalkan apa yang tidak membahayakan, lantaran untuk menghindari terjadinya bahaya.

Dari perkataan ulama dan sabda Nabi Muḥammad s.a.w. aku dapat menyimpulkan dalam sebuah batasan atau definisi bahwa taqwā adalah menjauhi segala hal yang anda khawatirkan dapat mendatangkan bahaya bagi agama anda. Tidakkah anda tahu bahwa orang sakit akan menghindari sejauh-jauhnya setiap pantangan yang membahayakannya. Ia akan menjauhi segala sesuatu yang menjadi pantangannya itu, baik makanan, minuman atau pun buah-buahan dan segalanya, yang dapat membahayakan dirinya.

Ada pun perkara yang dikhawatirkan dapat mendatangkan mudarat bagi agama itu, terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Murni keharaman dan kemaksiatan.

2. Barang halal tetapi berlebihan. Sebab, menyibukkan diri dan membiasakan berlebihan dengan yang halal melebihi kepatutan dapat menyeret pada perkara haram dan maksiat, karena kerakusan dan pembangkangan nafsu serta kejahatannya.

Oleh sebab itu, barang siapa menghendaki selamat dari perkara yang membahayakan urusan agamanya, maka ia harus menjauhi perkara yang mengkhawatirkan dan menjauhi sikap berlebihan dalam yang halal, agar tidak terseret kepada perkara yang nyata-nyata haram, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadis Nabi di atas.

Maka definisi taqwā yang tepat dan dapat mencakup semua yang dimaksud adalah menjauhi segala sesuatu yang dapat mendatangkan mudarat bagi agama. Dalam bentuk penjelasannya yang terperinci adalah menjauhi barang haram dan perbuatan maksiat serta berlebih-lebihan dalam barang halal.

Apabila kita ingin memberikan batasan (definisi) taqwā menurut ajaran Ilmu Sirri, maka batasan taqwā yang mencakup semua arti taqwā, yaitu membersihkan hati dari kejahatan yang belum pernah dilakukan, dengan niat yang kuat untuk meninggalkannya, sehingga dapat menjaga diri dari setiap kejahatan.

Ada pun keburukan dan kejahatan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Kejahatan asli, yaitu perkara yang dilarang Allah secara haram, seperti , kemaksiatan murni.

2. Keburukan tidak asli, yaitu perkara yang dilarang Allah, namun sifatnya untuk mendidik, yaitu mengonsumsi yang dihalalkan secara berlebih-lebihan. Seperti mengambil yang mubah atas dorongan syahwat.

Taqwā pada pertama adalah taqwā fardhu, jika ditinggalkan mengharuskan siksa neraka. Sedangkan taqwā yang kedua adalah taqwā kebaikan atau adab (tata krama), yang seandainya ditinggalkan, maka mengharuskan penahanan, pemeriksaan, pencelaan dan caci maki.

Barang siapa yang telah mengerjakan taqwā yang pertama, maka ia masih berada pada tingkatan taqwā yang paling rendah, yaitu tingkatan orang yang istiqāmah taat kepada Allah. Dan barang siapa telah mengerjakan taqwā yang kedua, maka ia berada pada tingkatan yang tinggi, yaitu tingkatan orang yang istiqāmah meninggalkan perkara yang diperbolehkan.

Apabila seseorang telah mengerjakan kedua macam taqwā ini, yaitu menjauhi segala perbuatan maksiat dan hal-hal halal yang berlebihan, berarti ia telah menyempurnakan arti taqwā, telah memenuhi hak-haknya dan mengumpulkan semua kebaikan yang ada di dalam taqwā. Taqwā semacam inilah yang disebut wara‘ yang sempurna, yang merupakan pokok urusan agama. Inilah tingkatan adab di hadapan Allah.

Demikianlah keterangan dan makna taqwā secara global. Pahamilah semoga anda mendapatkan petunjuk, insya Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *