Para ulama berbeda pendapat tentang wudhu’ yang berkaitan dengan wanita mustaḥādhah: Sekelompok ulama mewajibkannya mandi satu kali, yaitu saat si wanita mendapati bahwa ḥaidhnya telah berakhir dengan adanya salah satu tanda seperti yang telah disebutkan para ulama di atas.
Kelompok ini terbagi kepada dua: kelompok ulama yang mewajibkan wanita yang bersangkutan untuk berwudhu’ setiap kali akan mengerjakan shalat. Sementara kelompok lainnya hanya sekedar menganjurkannya untuk berwudhu’.
Kelompok ini adalah Mālik, Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya, serta mayoritas ulama dari berbagai negeri. Namun kebanyakan dari mereka mewajibkan wudhu’ untuk setiap kali si wanita akan mengerjakan shalat. Adapun yang tidak mewajibkannya dan hanya menganjurkan adalah ulama dari kalangan madzhab Mālikī.
Kelompok lain menyatakan, bahwa wanita mustaḥādhah wajib mandi untuk setiap kali ingin mengerjakan shalat.
Ulama lainnya berpendapat bahwa yang wajib baginya adalah untuk mengakhirkan shalat Zhuhur ke awal ‘Ashar, lalu bersuci dan menggabungkan (jam‘) kedua shalat tersebut, atau mengakhirkan Maghrib hingga awal waktu ‘Isyā’, lalu bersuci dan menggabungkan kedua shalat tersebut, kemudian bersuci kembali untuk mengerjakan shalat Shubuḥ. Artinya, dia diwajibkan bersuci tiga kali dalam sehari semalam.
Ada sekelompok ulama berpendapat bahwa wanita tersebut hanya diwajibkan bersuci sekali dalam sehari semalam. Di antara ulama yang tidak menentukan waktu mandi bagi wanita mustaḥādhah adalah pendapat yang diriwayatkan dari ‘Alī r.a. Dan di antara ulama ada juga yang berpendapat si wanita wajib bersuci dari satu masa suci ke masa suci berikutnya.
Ringkasannya, dalam masalah ini terdapat empat pendapat:
Sebab perbedaan pendapat: Adanya pertentangan antara zhāhir hadits-hadits dalam masalah ini.
Terdapat empat hadits dalam masalah ini, sebuah hadits yang disepakati ke-shaḥīḥ-annya dan tiga hadits yang masih diperdebatkan.
لَا إِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلَّى.
“Tidak, itu hanyalah darah penyakit dan bukan darah ḥaidh. Jika ḥaidh datang, maka tinggalkanlah shalat, dan jika ia telah pergi (habis), maka sucikanlah darah tersebut dan kerjakanlah shalat.” (1201).
Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi:
تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلَاةٍ.
“….berwudhu’lah bagi setiap shalat yang akan kamu kerjakan.”
Tambahan ini tidak diriwayatkan oleh al-Bukhārī ataupun Muslim. Abū Dāūd dan sekelompok ulama hadits lain men-shaḥīḥ-kannya.
Redaksi ini diriwayatkan oleh Ishaq dari az-Zuhrī. Dan murid-murid az-Zuhrī lainnya meriwayatkan dengan redaksi: “Sesungguhnya dia (‘Ā’isyah) mengalami istiḥādhah, lalu bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w., dan beliau pun bersabda kepadanya: “Ia hanyalah darah penyakit, dan bukan darah ḥaidh.” Beliau memerintahkan ‘Ā’isyah untuk mandi dan shalat.
‘Ā’isyah r.a. melakukannya setiap kali akan mengerjakan shalat, karena itulah yang dia pahami dari ungkapan yang ada. Dan bukan karena perintah tersebut datang secara langsung dari Nabi s.a.w.
Dan dari jalur inilah al-Bukhārī meriwayatkannya.
لِتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ غُسْلًا وَاحِدًا، وَ لِلْمَغْرِبِ وَ الْعِشَاءِ غُسْلًا وَاحِدًا، وَ تغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلًا وَاحِدًا وَ تَتَوَضَّأْ فِيْمَا بَيْنَ ذلِكَ.
“Hendaknya dia mandi sekali untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar, dan sekali untuk Maghrib dan ‘Isyā’, dan sekali mandi untuk shalat Fajar. Dan hendaknya dia berwudhu’ di antara mandi dan shalat tersebut.” (1223) (HR. Abū Dāūd dan dinilai shaḥīḥ oleh Abū Muḥammad bin Ḥazm).
Ketika semua zhāhir hadits saling berbeda, maka para ulama fikih menempuh empat cara: naskh (penghapusan), tarjīḥ (mengunggulkan pendapat yang kuat), jam‘ (kompromi saat terdapat pertentangan nash), dan binā’ (kompromi saat dianggap tidak ada pertentangan nash).
Perbedaan antara binā’ dengan jam‘ adalah orang yang menempuh cara binā’ tidak menemukan adanya kontradiksi antar berbagai hadits, lalu dia menggabungkannya. Sedangkan jam‘ diawali dengan pandangan adanya kontradiksi di antara berbagai dalil secara zhāhir. Camkanlah ini! Karena di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jelas.
Adapun kelompok yang menempuh cara tarjīḥ, mereka akan mengambil hadits Fāthimah binti Abī Ḥubaisy sebagai argumentasi, karena hadits tersebut disepakati ke-shaḥīḥ-annya, lalu mereka mengamalkan zhāhir-nya. (Maksudnya, Nabi s.a.w. tidak memerintahkannya untuk mandi setiap kali ingin mengerjakan shalat, dan tidak pula memerintahkan untuk men-jama‘ shalat dengan sekali mandi). Ini adalah pendapat Mālik, Abū Ḥanīfah, Syāfi‘ī dan para pengikut mereka, dan mereka adalah kalangan mayoritas (jumhur) ulama.
Lalu kelompok ulama yang menganggap shaḥīḥ-nya hadits ini dengan penambahan substansi (maksud hadits) atau perintah untuk berwudhu’ setiap kali ingin mengerjakan shalat, mereka pun lantas mewajibkannya. Dan bagi kalangan ulama yang tidak menganggapnya shaḥīḥ, mereka tidak mewajibkannya.
Adapun kelompok ulama yang menempuh jalan binā’, mereka mengatakan bahwa di antara hadits dari Fāthimah dan Ummu Ḥabībah yang diriwayatkan oleh Ibnu Isḥāq sama sekali tidak terdapat kontradiksi. Sebab isi dari hadits Ummu Ḥabībah adalah penjelasan tambahan atas konteks hadits Fāthimah. Dan hadits Fāthimah hanyalah jawaban atas sebuah pertanyaan: Apakah darah istiḥādhah yang keluar itu menghalangi shalat ataukah tidak. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengabarkan bahwa ia bukanlah darah ḥaidh yang menghalangi shalat, dan beliau tidak mengabarkan wajibnya bersuci untuk setiap shalat, tidak pula kala terputusnya dari ḥaidh (istiḥādhah?????) tersebut.
Sementara dalam hadits Ummu Ḥabībah, beliau s.a.w. memerintahkan satu hal, yaitu bersuci untuk setiap kali melakukan shalat.
Kendati demikian, jumhur ulama mengatakan: Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang diperlukan. Jika mandi dianggap wajib untuk dilakukan setiap kali seorang wanita mengalami istiḥādhah ingin mengerjakan shalat, tentu Rasūlullāh s.a.w. akan mengabarkannya. Dan sangat lemah pendapat yang menyatakan bahwa Fāthimah mengetahui hal tersebut namun kemudian dia lengah membedakan antara darah istiḥādhah dan darah ḥaidh.
Mengenai tidak diberinya informasi tentang kewajiban mandi ketika darah ḥaidh terputus kepada Fāthimah oleh Rasūlullāh s.a.w., tercakup dalam sabda beliau: “Itu bukanlah darah ḥaidh.” Sebab, kala itu as-Sunnah telah tersebar dan menyatakan bahwa wanita yang darah ḥaidhnya sudah terhenti, maka dia wajib mandi. Jadi, Rasūlullāh s.a.w. tidak menginformasikannya karena Fāthimah sudah tahu mengenai kewajiban tersebut.
Lalu, masalahnya tidaklah demikian dalam konteks kewajiban bersuci untuk setiap kali ingin mengerjakan shalat. Kecuali, jika digugat bahwa tambahan ini muncul sebelumnya adanya pertanyaan Fāthimah, baru kemudian konteks hukumnya tetap belakangan. Maka, timbullah pertanyaan yang sangat populer: apakah sebuah tambahan dapat menjadi naskh (penghapus nash sebelumnya) ataukah tidak? Karena sebelumnya sudah diketahui dari hadits Fāthimah yang dinukil dari jalur lain yang menyebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah memerintahkannya untuk mandi. Begitulah kondisi pendapat ulama yang menempuh cara tarjīḥ dan binā’.
Adapun kalangan orang yang menempuh cara naskh mengatakan bahwa hadits Asmā’ binti ‘Umais adalah penghapus bagi hadits Ummu Ḥabībah. Hal ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: “Sahlah binti Suhail mengalami istiḥādhah, dan Rasūlullāh s.a.w. sebelumnya telah memerintahkannya untuk mandi setiap kali ingin mengerjakan shalat. Lalu, setelah kewajiban tersebut memberatkan Sahlah, maka beliau s.a.w. memerintahkannya untuk menggabungkan sekali mandi bagi shalat Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isyā’ dengan sekali mandi, lalu mandi untuk ketiga kalinya saat hendak mengerjakan shalat Shubuḥ.” (1234).
Kelompok ulama yang menempuh cara jam‘ mengatakan bahwa hadits Fāthimah binti Abī Ḥubaisy merupakan rujukan bagi wanita yang dapat membedakan masa ḥaidh dan istiḥādhah-nya. Sementara hadits Ummu Ḥabībah merupakan rujukan bagi wanita yang tidak dapat mengenalinya. Karena itulah maka wanita ini diperintahkan untuk bersuci setiap kali hendak mengerjakan shalat sebagai sikap hati-hati kala akan melakukan shalat. Juga, karena setiap kali wanita yang baru suci dari ḥaidh dan hendak mengerjakan shalat, maka dia telah diperintahkan untuk mandi.
Sementara hadits Asmā’ binti Ḥumaisy yang merupakan rujukan bagi wanita yang tidak dapat membedakan masa ḥaidh dan istiḥādhah-nya, serta mengalami keluarnya darah yang terputus-putus, maka jika kondisinya demikian (darahnya terputus-putus) wajib baginya untuk mengerjakan shalat dengan sekali mandi setiap kali hendak mengerjakan dua shalat fardhu.
Ada lagi kalangan ulama yang menempuh cara memilih (takhyīr) antara hadits Ummu Ḥabībah dan Asmā’, mereka berargumentasi dengan hadits Hamnah binti Jahsy yang di dalamnya menyebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. memberikannya pilihan.
Di antara kalangan ulama ini ada yang mengatakan bahwa yang diberi pilihan adalah para wanita yang tidak mengetahui masa ḥaidhnya. Ada juga yang menyatakan bahwa wanita mustaḥādhah secara mutlak-lah yang diberi hak pilih, terlepas apakah dia mengetahui masa ḥaidhnya ataupun tidak.
Ini adalah pendapat kelima dalam masalah yang kita bahas. Hanya saja, yang ada dalam hadits Hamnah binti Jahsy adalah pilihan antara melakukan semua shalat dengan sekali bersuci dan bersuci tiga kali dalam sehari semalam. Dan ulama yang berpendapat bahwa yang wajib adalah bersuci sekali dalam sehari semalam mungkin pendapatnya timbul karena adanya keraguan. Dan kami tidak mengetahui sebuah atsar pun yang mendasari pendapat seperti ini.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi bolehnya menggauli wanita mustaḥādhah dalam tiga pendapat:
Sebab perbedaan pendapat: Pertanyaan seputar apakah bolehnya seorang wanita yang mengalami istiḥādhah mengerjakan shalat dengan keringanan karena kuatnya kewajiban shalat, ataukah bolehnya dia untuk shalat karena dia dihukumi layaknya wanita yang suci?
Bagi kelompok yang menyatakan itu sebagai keringinan, maka seorang suami dianggap tidak boleh menggaulinya. Dan bagi kelompok yang melihat bahwa hukum wanita mustaḥādhah sama dengan hukum wanita suci menganggap si suami boleh saja menggaulinya.
Secara umum, ini adalah masalah yang tidak dikomentari (maskut) dalam syari‘at. Adapun yang membedakan antara tenggang masa lama dan sebentarnya istiḥādhah hanyalah berdasarkan pendekatan analisa istiḥsān.