3-3-4 Tahapan Rintangan – Syaithan (4/4) | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

Ada pun pasal yang menerangkan tipu daya dan bujukan syaithan, maka sebagai pemaparan yang representatif adalah bahwa tipuan syaithan terhadap anak turun Ādam dalam ketaatan, terdapat pada tujuh segi, yaitu:

Pertama: Syaithan mencegah anak turun Ādam dari berbuat ketaatan. Apabila anak turun Ādam itu dijaga oleh Allah, maka ia menolak bisikan syaithan dengan mengatakan: “Hai Iblis, aku sangat membutuhkan kebaktian dan taat kepada Allah s.w.t. karena aku harus mengumpulkan bekal dari dunia yang fana untuk menuju ke akhirat yang kekal.

Kedua: Lalu syaithan menyuruhnya agar menunda ketaatan itu. Jika ia dijaga Allah s.w.t. maka ia menolak bisikan syaithan itu dengan mengatakan: “Batas umurku tidaklah berada dalam kekuasaanku, dan di samping itu, kalau aku menunda-nunda amal hari ini sampai besok, lalu amal besok kapan aku kerjakan? Karena, setiap hari mesti ada amal yang harus aku kerjakan.

Ketiga: Kemudian syaithan menyuruhnya untuk bergegas-gegas beramal, seraya membisikkan: “Cepat, ayo cepat, agar segera beres dan anda bisa mengerjakan yang lain.” Apabila anak turun Ādam ini dipelihara oleh Allah, maka ia menolak bisikan syaithan itu dengan mengatakan: “Sedikit beramal yang dilakukan dengan sempurna lebih baik daripada banyak tapi banyak cacat dan kekurangannya.”

Keempat: Lalu syaithan menyuruhnya agar menyempurnakan amalnya dan memperlihatkannya pada manusia sehingga muncul unsur riyā’. Jika ia mendapatkan penjagaan Allah, maka ia menolak bisikan setan itu, seraya berkata: “Apa perlunya aku beramal dengan menampak-nampakkan kepada orang? Bukankah tidak cukup bagiku dilihat oleh Allah?”

Kelima: Selanjutnya, syaithan berusaha menjerumuskan orang itu ke dalam ‘ujub (membangga-banggakan diri dan mengagumi amal sendiri dengan sombong) seraya membisikkan: “Betapa agung anda, betapa selalu dalam kesadaran dan kewaspadaan, dan alangkah mulianya anda.” Jika ia dijaga Allah, maka ia akan menolak ajakan dan bisikan syaithan itu dengan mengatakan: “Apa yang dapat aku lakukan itu semuanya adalah berkat karunia dan anugerah Allah s.w.t. bukan dari diriku sendiri, aku bukanlah apa-apa, tidak ada yang bisa aku banggakan. Allah-lah yang memberikan karunia istimewa kepadaku dengan pertolongan-Nya dan dengan karunia-Nya pula, Allah menjadikan amalku bernilai. Seandainya tidak ada karunia Allah, apalah harganya amal ini dibandingkan dengan nikmat Allah yang diberikan kepadaku dan kemaksiatanku kepada Allah?”

Keenam: Selanjutnya, syaithan datang lagi dengan cara keenam yang merupakan tipu daya paling besar dan hanya bisa diketahui oleh orang yang benar-benar waspada, yaitu syaithan berbisik: “Rajin-rajinlah anda beribadah di saat sunyi dan tidak diketahui orang lain, tentu Allah akan menonjolkan diri anda di lain waktu, di tengah-tengah masyarakat.” Syaithan membisikkan demikian adalah untuk menipu setiap orang yang beramal dan maksudnya amal itu tercampuri dengan riya’

Apabila orang itu dijaga oleh Allah, maka ia akan menolak bisikan syaithan itu, seraya mengatakan: “Wahai makhluk terkutuk, sampai detik ini anda selalu datang untuk merusak amalku. Dan sekarang anda datang lagi, berpura-pura hendak membaguskan amalku, padahal sebenarnya hendak merusaknya. Aku hanyalah hamba Allah dan Dialah Allah, Tuhan bagiku. Jika dia berkehendak bisa saja Dia menonjolkan diriku, sebaliknya Dia pun kuasa menyembunyikan. Kalau Dia berkehendak bisa saja menjadikan aku sebagai orang yang berharga, dan bila Dia berkehendak bisa saja menjadikan aku terhina. Semua itu terserah kepada Allah, aku tidak peduli, apakah akan dipopulerkan pada publik ataukah tidak, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Ketujuh: Selanjutnya, syaithan kembali datang kepadanya dengan cara yang ketujuh, seraya membisikkan pada orang itu: “Sesungguhnya anda tidak perlu melakukan amal semacam ini, karena, kalau memang anda ditakdirkan menjadi orang yang beruntung, maka tidak beramal pun tidak membahayakan bagi anda. Dan jika anda ditakdirkan menjadi orang yang celaka, maka amal yang Anda kerjakan itu tidak akan ada gunanya.” Apabila orang itu dijaga oleh Allah, ia akan menolak dengan mengatakan: “Aku hanyalah sebagai hamba, sedangkan bagi seorang hamba wajib melaksanakan perintah sebagai bentuk penghambaannya kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan lebih mengetahui akan sifat ketuhanan-Nya. Dia bisa saja menetapkan apa saja yang Dia kehendaki dan Dia bisa berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Di samping, amal tetap bermanfaat bagiku, bagaimana pun keadaanku. Sebab, kalau aku ditakdirkan sebagai orang yang beruntung, maka aku membutuhkan amal agar pahalaku bertambah banyak. Dan jika aku orang yang celaka, aku pun membutuhkan amal agar aku tidak mencela diriku sendiri. Bahwasanya, Allah tidak akan menyiksaku karena ketaatanku kepada-Nya dalam keadaan bagaimana pun dan amal itu tidak akan merugikan aku. Dalam pada itu, seandainya aku dimasukkan ke neraka, sementara aku adalah orang yang taat kepada Allah, itu lebih aku sukai daripada aku dimasukkan ke dalam neraka lantaran aku maksiat. Namun bagaimana bisa begitu, karena janji Allah pasti hak dan firman-Nya juga benar. Allah telah menjanjikan pahala kepada orang-orang yang benar. Terhadap orang yang taat dan bakti, Allah menjanjikan pahala. Jadi, barang siapa menghadap kepada Allah dalam keadaan beriman dan membawa ketaatan, sama sekali tidak akan masuk neraka, namun dia tentu masuk surga, bukan karena ia berhak masuk surga lantaran amalnya, melainkan sebab janji Allah yang benar.”

Dalam konteks yang demikian ini, Allah menginformasikan sikap orang-orang yang beruntung sesudah masuk surga, mereka berkata, sebagaimana dalam ayat berikut:

وَ قَالُوا الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهُ

Artinya:

Dan mereka mengucapkan: Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami.(az-Zumar: 74)

Oleh sebab itu, maka sadarlah – semoga Allah selalu menyertakan rahmat-Nya kepada anda – bahwa persoalannya telah jelas sebagaimana yang Anda lihat dan dengar. Terhadap berbagai hal dan perbuatan yang lain anda dapat menganalogikan atau mengqiyaskan, dan memohonlah pertolongan kepada Allah dan berlindunglah pada-Nya. Karena, semua perkara berada dalam kekuasaan-Nya. Dialah yang memberikan pertolongan dan petunjuk. Tiada daya (untuk meninggalkan maksiat) dan tidak pula ada kekuatan (untuk menjalankan ketaatan), kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.