Bab III
Landasan dalam pembahasan ini adalah firman Allah s.w.t.:
وَ يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Ḥaidh itu adalah suatu kotoran”.” (Qs. al-Baqarah [2]: 222).
Dan berbagai hadits yang akan kami sebutkan kemudian.
Kaum muslimin telah sepakat bahwa ḥaidh dapat menghalangi empat hal berikut ini:
Yang mewajibkan wanita ḥaidh untuk meng-qadhā’ shalatnya hanyalah sebagian dari kalangan Khawārij.
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.
“Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu ḥaidh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 222).
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum yang berkaitan dengan ḥaidh dan istiḥādhah, di sini kami hanya menyebutkan lima masalah yang cukup populer sebagaimana berikut ini:
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan bolehnya bersenang-senang dengan wanita ḥaidh. Mālik, Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa seorang suami dapat menikmati apa yang ada di atas bagian pusar saja. Sementara Sufyān Dāūd az-Zhāhirī menyatakan bahwa si suami hanya wajib menjauhi tempat keluarnya darah saja.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya beda persepsi mengenai teks (zhāhir) beberapa hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, dan kemungkinan yang dapat difahami dari firman Allah s.w.t. tentang ḥaidh.
Dalam beberapa hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan dari ‘Ā’isyah, (1123) Maimūnah, (1134) dan Ummu Salamah r.a. (1145) diterangkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah memerintahkan para wanita ḥaidh untuk mengencangkan tali sarungnya, barulah kemudian sang suami dapat menggaulinya.
Begitu pula dijelaskan dalam hadits dari Tsābit bin Qais dari Nabi s.a.w., sesungguhnya beliau s.a.w. bersabda:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ بِالْحَائِضِ إِلَّا النَّكَاحَ.
“Lakukanlah segala sesuatu kepada wanita ḥaidh kecuali jima‘ (senggama).” (1156).
Abū Dāūd meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ā’isyah r.a., Nabi s.a.w. bersabda kepadanya saat dia ḥaidh:
اِكْشِفِيْ عَنْ فَخِذَيْكِ!
“Bukalah kedua pahamu itu!”
Maka aku (‘Ā’isyah) pun membukanya, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya kedua pahaku, dan aku pun menelungkup hingga beliau merasakan hangat yang sebelumnya beliau kedinginan. (1167).
Sedangkan kemungkinan beda penafsiran ayat, adalah dalam firman Allah s.w.t.:
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ.
“Katakanlah: “Ḥaidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu ḥaidh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 222).
Yakni, apakah ayat ini difahami secara umum ataukah menjadi pengkhususan bagi dalil yang ada, ataukah termasuk lafazh umum yang harus difahami secara khusus berdasarkan firman Allah s.w.t.: “Katakanlah: “Ḥaidh itu adalah suatu kotoran”.” Karena kotoran letaknya hanya di tempat darah.
Ataukah ayat tersebut harus dipahami secara umum. Maksud kami, andai ayat ini harus difahami dengan konteks khususnya – kecuali jika ada dalil yang dapat menkhususkannya – , maka dalam kasus bersenang-senang dengan wanita ḥaidh hanya boleh dilakukan di bagian atas pusar saja, karena hukum ini mendapat mengecualikan dari as-Sunnah. Dan berdasarkan pendapat yang masyhur dari kalangan ulama Ushul menyebutkan bahwa al-Qur’ān dapat dikhususkan oleh as-Sunnah.
Dan bagi kelompok ulama yang berpendapat bahwa ayat ini berlafazh umum namun dimaksud khusus, mereka mengunggulkan ayat ini menjadi dalil yang melarang untuk menggauli segala sesuatu yang berada di bawah pusar wanita yang tengah ḥaidh.
Kemudian, di antara para ulama ada pula yang menempuh cara kompromi (jam‘) antara dalil-dalil ini dengan konteks (makna yang terkandung) ayat tersebut, dan menilai bahwa maksud teguran yang ada dalam ayat tersebut adalah karena ḥaidh menyimpan unsur penyakit. Mereka menggiring hadits-hadits yang melarang menggauli wanita ḥaidh pada bagian bawah pusar sebagai larangan yang berhukum makruh, serta menjadikan hadits-hadits yang menerangkan tentang pembolehan untuk melakukannya dan konteks ayat di atas sebagai dasar hukum mubahnya perbuatan tersebut.
Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang menyatakan bahwa dalam diri seorang wanita ḥaidh tidak ada yang najis kecuali tempat keluarnya darah ḥaidh. Yaitu hadits yang menyebutkan: Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah memerintahkan ‘Ā’isyah r.a. mengambilkan tutup kepala, lalu ‘Ā’isyah berkata: “Sesungguhnya aku sedang ḥaidh.” Rasūlullāh s.a.w. pun bersabda:
إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِيْ يَدِكِ.
“Sesungguhnya ḥaidh kamu itu bukan terjadi di tanganmu.” (1178).
Demikian pula sebuah hadits shaḥīḥ yang menerangkan bahwa ‘Ā’isyah r.a. saat tengah ḥaidh pernah menyisir rambut Rasūlullāh s.a.w., lantas beliau s.a.w. bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ.
“Sesungguhnya seorang mu’min itu tidaklah najis.” (1189).
مَا لَكِ أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: شُدِّيْ عَلَيْكِ مِئْزَرَكِ وَ عُوْدِيْ حَيْثُ كُنْتِ.
“Apakah kamu sedang nifas?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau lantas bersabda: “Ikatlah kainmu dan kembalilah seperti semula.” (HR. ath-Thabrānī (33/533, 644, dan 679), serta al-Baihaqī (1/311).