3-2-5,6,7 Hukum Darah yang Keluar dari Rahim – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 003-2 Hukum Darah Yang Keluar Dari Rahim - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kelima: Apakah ash-shufrah (cairan hitam) dan al-kudrah (cairan kekuning-kuningan) termasuk Ḥaidh?

Para ulama berbeda pendapat tentang ash-shufrah dan al-kudrah, apakah keduanya termasuk darah ḥaidh.

Sekelompok ulama berpendapat bahwa keduanya adalah darah ḥaidh seperti yang layaknya keluar di masa ḥaidh. Inilah pendapat yang dipegang oleh Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Mālik, dan diungkapkan dalam al-Mudawwanah. “Ash-shufrah dan al-kudrah keduanya termasuk jenis ḥaidh, baik keluar dari masa ḥaidh atau selain masa ḥaidh, atau keluar bersama darah ḥaidh maupun tidak.” Dāūd azh-Zhāhirī dan Abū Yūsuf berkata: “Ash-shufrah dan al-kudrah bukan darah ḥaidh, kecuali jika muncul bersama darah.”

Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara zhāhir (teks) hadits dari Ummu ‘Athiyyah r.a. dengan hadits dari ‘Ā’isyah r.a.

Jelasnya, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah r.a. dia berkata: “Kami tidak menganggap bahwa ash-shufrah dan al-kudrah setelah suci merupakan darah ḥaidh.” (1031).

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: Para wanita pernah datang membawa lap yang berisi kapas yang masih tersisa bercak cairan hitam dan cairan kuning, dan menanyakan tentang hukum shalat dengannya. Maka ‘Ā’isyah berkata: “Janganlah kalian terburu-buru (memutuskan untuk shalat) sampai kalian melihat darah putih yang biasa timbul di akhir masa ḥaidh.” (1042).

Kelompok yang memegang hadits ‘Ā’isyah r.a. di atas, menjadikan ash-shufrah dan al-kudrah sebagai darah ḥaidh, baik yang keluar di masa ḥaidh maupun bukan, atau yang keluar bersama darah maupun tidak. Karena ketentuan hukum satu masalah pada dasarnya tidak berbeda.

Adapun ulama yang menggabungkan kedua hadits tersebut mengatakan: “Hadits Ummu ‘Athiyyah r.a. menunjukkan hukum kepada cairan (ash-shufrah dan al-kudrah) yang turun saat setelah terhentinya darah, sementara hadits ‘Ā’isyah r.a. menunjukkan kepada hukum saat cairan tersebut turun berbarengan dengan terhentinya ḥaidh. Atau, hadits ‘Ā’isyah r.a. menunjukkan hukum cairan yang turun pada masa ḥaidh, sementara hadits Ummu ‘Athiyyah r.a. menunjukkan yang bukan turun pada masa ḥaidh.”

Ada juga ulama yang mengambil teks zhāhir hadits Ummu ‘Athiyyah r.a. dan tidak berpendapat bahwa ash-shufrah dan al-kudrah masuk ke dalam ketegori darah haidh, baik yang jika keluar pada masa ḥaidh maupun bukan, berbarengan dengan terputusnya darah maupun setelah terputusnya darah. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh s.a.w.:

دَمُ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ.

Darah haidh adalah darah hitam yang sudah dikenal.” (1053).

Alasan lainnya adalah karena ash-shufrah dan al-kudrah bukanlah darah. Ia hanyalah cairan yang keluar dari rahim, dan ini adalah pendapat madzhab Muḥammad bin Ḥazm.

Masalah keenam: Tanda-tanda suci.

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai tanda-tanda suci. Sekelompok ulama berpendapat bahwa tanda suci adalah terlihatnya cairan putih atau kering. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Ḥubaib dari kalangan pengikut Mālik, terlepas apakah kebiasaan wanita tersebut suci dengan cairan putih atau dengan keringnya cairan tersebut. Apa saja yang dia lihat kala itu, maka menunjukkan dia telah suci.

Sementara ulama lainnya membedakan jika si wanita telah terbiasa melihat cairan putih, maka dia menjadi suci setelah melihatnya. Dan jika dia termasuk wanita yang tidak biasa melihatnya, maka masa sucinya ditandai dengan keringnya cairan yang ada. Pendapat ini diungkapkan dalam al-Mudawwanah dari Mālik.

Sebab perbedaan pendapat: Di antara para ulama ada yang memperhitungkan kebiasaan, dan ada pula yang memperhitungkan terputusnya darah.

Jika seorang wanita memiliki kebiasaan suci dengan kering cairan, maka ia dianggap suci dengan keluarnya cairan putih. Dan wanita yang sucinya biasanya ditandai dengan keluarnya cairan putih, maka ia tidak dapat menganggap suci dirinya hanya dengan keringnya cairan yang keluar.

Dan ada juga pendapat yang menyatakan sebaliknya. Ini semua merupakan pendapat para pengikut Mālik.

Masalah ketujuh: Wanita mustaḥādhah.

Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang mengalami istiḥādhah dan darahnya terus keluar apakah dia layak dihukumi sebagai ḥaidh. Para ulama juga berbeda pendapat tentang wanita ḥaidh yang mengalami keluarnya darah yang terus-menerus kapankah dapat dianggap sebagai wanita yang mustaḥādhah. Dan masalah ini telah dipaparkan pada pembahasan yang lalu.

Mālik berpendapat bahwa wanita mustaḥādhah selamanya dihukumi sebagai wanita dalam keadaan suci sampai sifat darahnya berubah menjadi darah ḥaidh. Hal itu terjadi ketika masa istiḥādhah-nya lebih lama dari masa suci terpendek, maka kala itu darahnya dianggap sebagai darah ḥaidh. Maksud kami, hal ini terjadi jika terjadi perubahan darah dan masa istiḥādhah-nya telah melampaui batas terpendek (minimal) masa suci. Jika tidak, maka dia terus dianggap sebagai darah istiḥādhah.

Abū Ḥanīfah berpendapat: Wanita yang mengalaminya harus menunggu selama masa yang sesuai dengan masa ḥaidhnya. Bagi perempuan pemula, dia harus menunggu hingga masa ḥaidh terpanjang (maksimal), yaitu 10 hari.

Syāfi‘ī berpendapat: Jika wanita yang mengalaminya dapat membedakan antara darah istiḥādhah dan darah ḥaidh, maka dia harus melakukannya. Jika dia biasa berpatokan dengan kebiasaan, maka ia dapat mengukurnya dengan kebiasaan yang ada. Dan jika dia mampu melakukan kedua-keduanya, dalam hal ini ada dua pendapat: dia dapat membedakan, atau memilih untuk mengukurnya dengan kebiasaan.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi dua buah hadits:

  1. Hadits ‘Ā’isyah r.a. dari Fāthimah binti Ḥubaisy: “Nabi s.a.w. telah memerintahkan ‘Ā’isyah untuk meninggalkan shalat ketika mengalami istiḥādhah seukuran masa ḥaidh saat sebelum tertimpa penyakit. Kemudian dia mandi dan melakukan shalat.” (1064).

Makna yang serupa terkandung dalam hadits Ummu Salamah r.a. yang telah disebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Mālik. (1075).

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd dari Fāthimah binti Ḥubaisy yang menyatakan bahwa dia pernah mengalami istiḥādhah, lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya:

إِنَّ دَمَ الْحَيْضِ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَنِ الصَّلَاةِ، وَ إِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَ صَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ.

Sesungguhnya darah ḥaidh itu hitam dan dapat dikenali. Jika demikian, maka janganlah kamu mengerjakan shalat. Namun jika tidak demikian (tidak berwarna hitam dan dikenali), maka berwudhu’lah dan kerjakanlah shalat, karena ia adalah ‘irq”. (1086). (Hadits ini dianggap shaḥīḥ oleh Abū Muḥammad bin Ḥazm).

Di antara para ulama ada kalangan yang menempuh cara men-tarjīḥ (menggunggulkan pendapat yang kuat) dari kedua hadits tersebut. Dan ada pula yang men-jam‘ (mengkompromikan) antara berbagi hadits.

Kelompok yang memperkuat hadits Ummu Salamah r.a. dan yang semakna dengannya berpatokan tentang kasus istiḥādhah kepada panjangnya masa ḥaidh yang biasa. Sementara Mālik hanya berpatokan kepada jumlah hari dari masa ḥaidh bagi wanita ḥaidh yang ragu apakah dia mengalami istiḥādhah, tanpa mengategorikan wanita mustaḥādhah yang ragu apakah dia sedang ḥaidh (Maksudnya, Mālik tidak memperhitungkan seluruh jumlah hari atau tanggal spesifik dalam bulan itu, karena jumlah hari tersebut sudah sangat dimaklumi). Dan dalil hadits Ummu Salamah menerangkan tentang kondisi wanita mustaḥādhah yang ragu apabila dia sedang ḥaidh, maka hukum yang dijustifikasikan adalah atas hitungan hukum cabang tanpa memperhitungnya hukum asal. Dan pendapat ini sungguh aneh, silahkan anda renungkan kembali.

Adapun kelompok yang men-tarjīḥ hadits Fāthimah binti Ḥubaisy menilai bahwa kasus istiḥādhah berpatokan kepada warna darah yang keluar. Di antara mereka ada yang menambahkannya dengan syarat melebihi batas suci terpendek (minimal). Ini adalah pendapat Mālik seperti yang disebutkan oleh ‘Abd-ul-Wahhāb. Namun di antara ulama ada juga yang tidak mensyaratkan melebihinya batas suci terpendek (minimal) tersebut.

Sementara kalangan yang men-jam‘ (mengkompromikan) hadits yang ada menilai: Hadits pertama berlaku bagi wanita yang mengetahui rinci masa ḥaidhnya, jumlah hari, bulan dan masa yang tepat bagi datangnya ḥaidh. Sementara hadits kedua berlaku bagi wanita yang tidak mengetahui masa ḥaidhnya, tetapi mengenal warna darah yang keluar.

Di antara para ulama ada yang berpendapat: jika si wanita tidak dapat membedakan, tidak mengetahui kapan letak pasti ḥaidhnya dalam satu bulan – terlepas apakah dia tahu lama masa ḥaidhnya ataupun tidak – , kala itu dia hendaknya berpedoman kepada hadits Hamnah binti Jahsy yang di-shaḥīḥ-kan oleh at-Tirmidzī: Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya:

إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِيْ عِلْمِ اللهِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ.

Itu hanyalah pukulan dari syaithan (penyakit). Maka anggaplah kamu sedang ḥaidh selama enam atau tujuh hari yang hanya diketahui oleh ilmu Allah. Lalu mandilah!” (1097).

Hadits ini akan dipaparkan secara lengkap dalam pembahasan tentang wanita yang mengalami istiḥādhah di masa suci.

Berikut ini adalah beberapa masalah masyhur yang akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya yang secara umum terdiri dari empat pembahasan:

  1. Masa perpindahan antara suci dan ḥaidh.
  2. Masa perpindahan antara ḥaidh dan suci.
  3. Masa perpindahan antara ḥadih dan istiḥādhah.
  4. Masa perpindahan antara istiḥādhah dan ḥaidh. Dan hanya masalah inilah yang dijelaskan dalam hadits.

Adapun tiga masalah lain, batasannya sama sekali tidak dikomentari. Begitu pula tentang masalah masa perpindahan dari nifas kepada istiḥādhah.

Catatan:

  1. 103). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (268), Abū Dāūd (307), an-Nasā’ī (1/186), Ibnu Mājah (647), ad-Dārimī (1/234, 235), ad-Dāruquthnī (1/219), ath-Thabrānī (25/119, 151, 152 dan 153), serta al-Baihaqī (1/337).
  2. 104). Shaḥīḥ. HR. Mālik dalam al-Muwaththa’ (1/59 dan 128), serta dari jalur Mālik diriwayatkan oleh al-Baihaqī (1/335). Al-Albānī dalam Irwa’-ul-Ghalīl (1/218) berkata: “Hadits shaḥīḥ.”
  3. 105). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (286 dan 304), an-Nasā’ī (1/185), ad-Dāruquthnī (1/206, dan 207), dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī (1/174) dan disepakati oleh adz-Dzahabī. Ini adalah potongan hadits Fāthimah binti Abī Ḥubaisy yang telah dijelaskan.
  4. 106). Takrīj-nya telah disebutkan.
  5. 107). Takrīj-nya telah disebutkan.
  6. 108). Takrīj-nya telah disebutkan.
  7. 109). Ḥasan. HR. Abū Dāūd (287), at-Tirmidzī (128), Ibnu Mājah (622 dan 627), Aḥmad (4/39), al-Ḥākim (1/172), dan dinilai ḥasan oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *