3-2-3 Tahapan Rintangan – Makhluk (3/5) | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

Apabila ditanyakan: “Apakah hukum ‘uzlah dan mengasingkan diri menjauh dari manusia? Jelaskan kepada kami keadaan tingkatan manusia dalam ber-‘uzlah dan mengasingkan diri, serta sejauh mana ruang lingkup yang menjadi keniscayaan.”

Ketahuilah – semoga Allah merahmati kita semua – bahwa manusia dalam masalah ‘uzlah ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

Pertama: Orang yang tidak dibutuhkan oleh manusia lain, baik dalam hal ilmu mau pun penjelasan hukum. Bagi orang semacam ini, yang lebih utama adalah mengasingkan diri dari masyarakat, kecuali pada waktu mengerjakan shalat Jum‘at, shalat jamā‘ah, shalat ‘Īd, ibadah haji, majelis ilmu sunah, atau kebutuhan yang berkaitan dengan penghidupan yang harus diusahakan. Jika tidak mau mengasingkan diri, maka hendaklah ia menutup diri dan tinggal di rumah, tidak perlu mengenal dan tidak pula dikenal masyarakat.

Adapun apabila orang itu senang putus hubungan dengan manusia, maka janganlah sama sekali mencampuri salah satu urusan mereka. Baik urusan agama mau pun urusan keduniaan, urusan jama‘ah atau Jum‘ah, dan sebagainya. Karena dengan begitu terlihat jelas baginya kemaslahatan dan kesempatan beribadah. Namun pemutusan hubungan dengan manusia itu, tidak mungkin dapat ia lakukan, kecuali adanya salah satu dari dua faktor, yaitu:

1. Jika ia berada di suatu tempat yang menjadikan ia tidak berkewajiban mengerjakan kefardhuan-kefardhuan (seperti shalat Jum‘ah dan jama‘ah), misalnya di puncak gunung, di dalam lembah dan yang semisalnya. Mungkin jalan yang ditempuh dengan mengasingkan diri di tempat seperti itu, merupakan salah satu cara untuk mendorong seseorang untuk dapat melakukan ibadah yang sebanyak-banyaknya.

2. Apabila ia benar-benar merasa yakin bahwa madharat bergaul dengan masyarakat jauh lebih besar daripada meninggalkan kefardhuan-kefardhuan tersebut. Jika demikian, hal itu merupakan alasan untuk meninggalkan kefardhuan, seperti meninggalkan shalat Jum‘ah dan berjamā‘ah.

Di Makkah, aku pernah melihat seorang Syaikh menyendiri tidak hadir ke Masjidil Haram untuk berjamā‘ah, pada hal tempatnya dekat dan keadaannya sehat. Maka pada saat aku bertanya kepadanya mengenai ketidakhadirannya di masjid. Lalu ia menjelaskan ‘udzurnya seperti apa yang kuterangkan di atas, yakni pahala yang diperolehnya tidak seimbang dengan dosa-dosa, sebagai akibat yang menyertainya selama ia keluar ke masjid dan bertemu dengan banyak orang.

Sebagai kesimpulannya, kiranya dapatlah aku katakan bahwa orang yang mempunyai ‘udzur tidaklah patut dicela. Allah yang lebih mengetahui akan ‘udzur seseorang, Dia lebih mengetahui segala yang hal yang tersimpan di dalam hati seseorang.

Tetapi, jalan yang paling tepat adalah jalan pertama, di mana ia tetap bergaul bersama-sama dengan manusia dalam hal mengerjakan shalat Jum‘ah, berjamā‘ah dan beberapa kebaikan lainnya, serta menyendiri dari hal-hal yang selain itu, yang diyakini akan menimbulkan dampak negatif.

Apabila seseorang menginginkan jalan yang kedua, yaitu sama sekali tidak hendak bergaul dengan sesama manusia, maka hendaklah ia pergi ke tempat-tempat yang sekiranya dapat menggugurkan hal-hal yang difardhukan, seperti shalat Jum‘at dan berjamā‘ah.

Selanjutnya, ada pun jalan ketiga adalah berdiam di tempat ramai dan tidak mengerjakan shalat Jum‘ah dan berjamā‘ah bersama orang lain dengan alasan ‘udzur, seperti dapat menimbulkan dosa dan akibat buruk yang ditimbulkannya, maka hal ini harus diteliti secara mendalam dan memerlukan banyak pertimbangan, sehingga benar-benar bisa bebas dari kewajiban-kewajiban tersebut. Jalan yang ketiga ini, sangat mengkhawatirkan, bisa-bisa terjebak dalam kesalahan. Jadi, jalan pertama dan kedua adalah lebih selamat dan terpelihara.

Kedua: Orang yang menjadi panutan, dan ilmunya dibutuhkan masyarakat dalam urusan agama mereka, untuk menjelaskan perkara yang benar dan menolak pembuat bid‘ah agama, atau untuk mengajak kepada kebaikan dengan perbuatan, ucapan dan sebagainya.

Maka, golongan ini tidak dibenarkan mengasingkan diri dari masyarakat. Mereka harus menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan nasihat kepada para hamba Allah, menjaga dan memelihara agama Allah, dan menerangkan hukum-hukum Allah.

Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., sesungguhnya beliau bersabda:

إِذَا ظَهَرَتِ الْبِدَعُ وَ سَكَتَ الْعَالِمُ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Artinya:

Ketika bid‘ah-bid‘ah telah bermunculan, sementara orang yang alim mengasingkan diri (yakni mendiamkan diri), maka laknat Allah akan menimpa padanya.

Hal ini terjadi, jika orang alim tersebut berada di tengah-tengah mereka. Apabila orang alim itu keluar dari kalangan mereka, maka tindakan mengasingkan diri dari mereka itu juga tidak tepat dan tidak diperbolehkan.

Diceritakan, pernah pada suatu ketika ustad Abū Bakar bin Faurak bermaksud menyendiri guna beribadah kepada Allah. Sesampainya di sebuah gunung, ia tiba-tiba mendengar suara yang memanggil: “Hai Abū Bakar, anda seorang pembela agama Allah di tengah-tengah masyarakat dan kini anda tinggalkan mereka.” Begitu mendengar ucapan itu, ia segera kembali pulang. Peristiwa inilah yang menyebabkan ia bergaul dengan masyarakat.

Ma’mūn bin Aḥmad menceritakan kepadaku bahwa Ustādz Abū Isḥāq berkata kepada ahli ibadah di sebuah gunung Libanon: “Wahai orang yang makan rumput di sini, anda tinggalkan umat Muḥammad berada di tangan-tangan ahli bid‘ah, sementara anda sibuk beribadah dan makan rumput di sini.” Mereka berkata kepadanya: “Kami sudah tidak kuat lagi bergaul dengan masyarakat. Berbeda dengan anda yang diberi kekuatan oleh Allah s.w.t. untuk menegakkan perjuangan di tengah-tengah umat, maka anda berkewajiban melakukan itu.”

Kemudian, Abū Isḥāq menyusun sebuah kitab yang berjudul Al-Jāmi‘ lil-Jalīly wal-Khafiy. Ketahuilah bahwa keadaan para ahli ibadah yang berada di gunung Libanon itu, selain mempunyai banyak ilmu, juga banyak beramal serta mempunyai penglihatan yang tajam dalam menempuh jalan akhirat.

Ketahuilah bahwa orang semacam ini, yakni orang yang dibutuhkan masyarakat dalam urusan agama, maka dalam pergaulan di tengah-tengah mereka diperlukan dua perkara yang cukup berat, yaitu:

1. Memiliki kesabaran dan kesantunan yang agung, berpandangan lemah lembut dan senantiasa memohon pertolongan Allah s.w.t.

2. Meski pun secara lahiriah bergaul dengan masyarakat, tetapi hendaklah hatinya menyendiri. Jika mereka perlu bicara maka layanilah dengan perkataan yang baik, jika mereka berkunjung, hormatilah menurut derajatnya dan syukuri. Jika mereka diam dan berpaling, ambillah manfaat dari sikap diam mereka. Jika mereka mengerjakan kebenaran dan kebaikan, maka bantulah. Jika mereka mengerjakan kesia-siaan dan kejahatan, berpalinglah dan jauhilah mereka. Atau bahkan cegah dan laranglah, jika sekiranya bisa diharapkan mereka mau menerima.

Kemudian penuhilah hak-hak masyarakat seperti ziarah, menengok orang sakit dan sebagainya. Hendaklah tidak menuntut imbalan dan tidak pula mengharapkannya dari mereka, serta tidak menampakkan rasa kecewa karena tidak ada imbalan. Jika mampu, berilah mereka dan terimalah seandainya diberi. Hendaklah bisa menahan diri bila dikecewakan oleh mereka, tampakkan muka manis dan baguskan penampilan kepada mereka. Sembunyikan kebutuhan terhadap mereka, hendaknya ditanggung dan diusahakan sendiri.

Lakukanlah evaluasi dan introspeksi diri secara khusus, jadikanlah hal itu sebagai bagian dari aktivitas peribadatan yang khusus. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar bin Khaththāb r.a.: “Jika aku tidur malam, tentu aku menyia-nyiakan diriku. Dan jika aku tidur siang, niscaya aku menyia-nyiakan rakyatku. Lalu bagaimana aku mesti tidur di antara dua kepentingan itu.”

Semakna dengan hal tersebut aku gubah bait-bait syair berikut:

Jika kamu menyukai petunjuk para imam,

kuatkanlah dirimu, untuk sanggup menerima berbagai cobaan

dengan hati sabar di kala menghadapi setiap kegetiran

tangkal segala kegetiran itu dengan hati yang penuh kesabaran

jagalah lisanmu, pejamkan mata

sembunyikan rahasia

kunci pintu rumah

sunggingkan senyuman di bibirmu

meski perut lapar dan hati terluka

keutamaan terpendam dan cacat tersebar

setiap hari masa mendera kamu

teman-teman menaburkan aroma kegetiran

tetapi hati tetap taat kepada Allah.

Siang hari kamu sibuk berbuat kebaikan buat manusia,

tanpa kau sebut-sebut

sedangkan malam hari kau tumpahkan rindu

menghadap Tuhan

tanpa ada yang tahu

ambillah kesempatan malam

jadikan ia jalan lapang buat hari esok

raih kemuliaan

pada saat yang lain

kesulitan mencari jalan.

Ya, secara lahiriah diri bergaul bersama orang banyak, tetapi hatinya jauh dari mereka. Demikian itu, bagi kehidupanku merupakan perkara yang sangat berat dan cara hidup yang amat sulit.

Dalam hal ini, guruku berkata dalam wasiatnya: “Wahai anakku hiduplah bersama anak-anak zaman semasa dengan anda, tetapi janganlah mengikuti mereka.” Kemudian beliau berkata: “Alangkah sulitnya hidup semacam ini, hidup bersama orang-orang yang masih hidup, tetapi mengikuti orang-orang agung yang telah mati.”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd: “Bergaullah anda dengan orang banyak, tetapi tinggalkanlah mereka – karena hati anda memusat menghadap kepada Allah – dan jangan cemari agama anda, inilah titik kulminasi kehidupan jiwa yang terpuaskan.”

Kemudian, aku katakan, apabila fitnah telah menyebar, sebagian menimpa atas sebagian yang lainnya, seakan keadaan penuh dengan fitnah, sementara urusan agama semakin mundur, orang-orang Islam sudah berpaling dari agama. Mereka tidak lagi membutuhkan orang alim dan tidak memperhatikan orang yang mengurusi persoalan keagamaan yang sangat berguna dan tidak pula menaruh perhatian sedikit pun dalam urusan agama mereka. Anda menyaksikan fitnah menyebar merata di mana-mana, tidak terkecuali telah menghinggapi orang-orang yang dipandang istimewa.

Dalam keadaan demikian inilah orang alim mempunyai alasan untuk melakukan ‘uzlah, mengasingkan diri dari masyarakat dan berhenti menyebarkan ilmu. Aku takut, jangan-jangan apa yang aku sebutkan itu telah menjadi realitas pada zaman sekarang ini, sebuah zaman yang meletihkan dan menyulitkan. Kepada Allah jualah kita memohon pertolongan, dan berserah diri.

Inilah hukum ‘uzlah dan menyendiri, mengasingkan diri dari masyarakat. Pahamilah keterangan ini baik-baik, sebab kekeliruan dalam masalah ini menjadi persoalan besar dan banyak bahayanya. Semoga Allah s.w.t. memberikan petunjuk kepada kita semua.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *