Pembahasan mengenai darah-darah yang keluar dari rahim terangkum dalam tiga bab pembahasan:
Kamu Muslimin sepakat bahwa darah yang keluar dari rahim ada tiga macam:
إِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَ بِالْحَيْضَةِ.
“Ia (darah istiḥādhah) hanyalah ‘irq (darah), namun bukan darah haidh.” (1001).
Bab ini membahas tentang tanda-tanda perpindahan dari satu jenis darah ke darah lainnya, juga perpindahan dari suci kepada haidh, dan perpindahan haidh kepada suci. Semuanya terkait dengan masalah masa haidh dan suci.
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tujuh masalah fikih yang sesuai dengan ketentuan ushūl:
Para ulama berbeda pendapat mengenai masa haidh terpanjang dan terpendek.
Mālik mengatakan bahwa waktu terpanjang adalah lima belas hari. Dan inilah pendapat yang dipegang oleh Syāfi‘ī. Sementara Abū Ḥanīfah menilai waktu terpanjangnya adalah sepuluh hari.
Adapun masa haidh paling pendek. Mālik menilai tidak ada batasannya, mungkin hanya sekali keluar lantas dapat dikatakan sebagai haidh. Hanya saja, satu gumpalan yang keluar ini tidak diperhitungkan dalam qurū’ pada bab talak (thalaq). Syāfi‘ī menilai masa terpendeknya adalah sehari semalam. Dan Abū Ḥanīfah menilainya tiga hari.
Mengenai minimal masa suci, dalam hal ada beberapa riwayat pendapat dari Mālik, sebagiannya menyatakan sepuluh hari, ada juga yang menyatakan delapan hari, dan diriwayatkan pula lima belas hari. Pendapat terakhir inilah yang diambil oleh kalangan ulama Baghdad dari kalangan pengikut Mālik, dan dipegang oleh Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah.
Lalu ada juga yang berpendapat tujuh belas hari, dan pendapat terakhir ini adalah masa terpanjang yang kami ketahui. Dan para ulama lainnya menilai tidak ada batasan terpanjang untuk masa suci.
Jika demikian, bagi kelompok yang membatasi waktu haidh terpendek menganggap masa yang kurang dari batasan tersebut sebagai istiḥādhah. Adapun kelompok yang tidak memilik ukuran masa haidh terpendek akan menilai keluarnya darah satu kali saja akan dianggap sebagai darah haidh.
Demikian pula tentang batasan waktu terpanjang, jika keluarnya telah melebihi batasan yang ada, maka darahnya dianggap sebagai darah istiḥādhah. Namun dalam hal ini madzhab Māliki mengategorikan dua macam wanita, yaitu perempuan pemula dan wanita yang sudah terbiasa.
Bagi pemula, dia harus meninggalkan shalat saat melihat darah melebihi lima belas hari, pendapat ini juga dianut oleh Syāfi‘ī. Mālik justru berpendapat bahwa perempuan ini wajib melakukan shalat setelah yakin akan adanya darah istiḥādhah, Syāfi‘ī berpendapat dia hanya wajib mengulang shalat yang telah lalu, kecuali jika haidhnya hanya mencapai batasan minimal (sehari semalam).
Ada juga pendapat Mālik yang mengatakan perempuan tersebut harus menunggu lamanya masa haidh wanita sebaya, kemudian meneliti selama tiga hari dan jika tidak berhenti maka ia dianggap sedang sakit.
Adapun wanita yang sudah terbiasa dengan haidh, Mālik menilainya dalam dua riwayat pendapat:
Syāfi‘ī beranggapan agar wanita itu berpedoman kepada masa haidh biasanya saja.
Semua pendapat ini diperdebatkan oleh kalangan ulama fikih, baik yang berpatokan dengan masa haidh terpendek maupun terpanjang.
Adapun waktu suci terpendek sama sekali tidak memiliki dasar, kecuali berdasarkan pengalaman dan kebiasaan (empirik) saja. Karena pengalaman masing-masing wanita berbeda-beda, maka membatasi masanya pun menjadi sulit pada kebanyakan wanita, dan terjadilah perbedaan pendapat seperti yang kami kemukakan di atas.
Secara umum, para ulama sepakat bahwa jika darah melebihi batas waktu maksimal, maka darah itu dianggap sebagai darah penyakit. Dengan dalil dari sebuah sabda Nabi s.a.w. yang shaḥīḥ kepada Fāthimah binti Ḥubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلَاةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّيْ.
“Jika haidh datang, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah tiada, maka cucilah darah tersebut dan kerjakanlah shalat.” (1012).
Dan darah yang keluar setelah melewati batas maksimal, berarti haidhnya dianggap sudah tidak ada.
Syāfi‘ī dan Mālik dalam salah satu riwayatnya tentang wanita yang sudah biasa mengalami haidh berpendapat, bahwa batasan masanya berpedoman kepada kebiasaan. Ini berlandaskan kepada hadits Ummu Salamah r.a. yang disebutkan dalam al-Muwaththa’: Seorang wanita terus mengeluarkan darah pada zaman Rasūlullāh s.a.w., lalu Ummu Salamah meminta fatwa kepada Rasūlullāh s.a.w., dan beliau bersabda:
لِتَنْظُرْ عِدَّةَ اللَّيَالِي وَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ كَانَتْ تَحِيْضُهُنَّ مِنَ الشَّهْرِ قَبْلَ أَنْ يُصِيْبَهَا الَّذِيْ أَصَابَهَا فَلْتَتْرُكِ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذلِكَ مِنَ الشَّهْرِ فَإِذَا خَلَّفَتْ ذلِكَ فَلْتَغْتَسِلْ ثُمَّ لِتَنْتَثْفِرْ بِثَوْبٍ ثُمَّ لِتُصَلِّيْ.
“Hendaklah dia memperhatikan malam dan siang saat dia pernah haidh pada satu bulan sebelum dia mengalami haidh, lalu tinggalkanlah shalat sesuai dengan ukuran (hari) pada bulan tersebut. Jika telah melebihinya maka mandilah, dan tutuplah (tempat keluar haidh) dengan kain, kemudian kerjakanlah shalat.” (1023).
Para ulama mengaitkan hukum wanita haidh yang ragu terhadap istiḥādhah yang menimpanya dengan hukum wanita mustaḥādhah yang ragu akan haidhnya dia. Syāfi‘ī berpendapat bahwa perempuan pemula dapat memperhatikan masa haidh wanita yang sebaya dengan dirinya. Dan Mālik menyamakan hukumnya.
Adapun keharusan untuk menunggu tiga hari – seperti yang diungkapkan oleh Mālik -, itu adalah pendapat yang dipegang hanya oleh Mālik dan para pengikutnya. Sedangkan semua ulama fikih dari berbagai negeri menyelisihinya kecuali al-Auzā‘ī. Alasannya, karena kaidah ini tidak ditemukan dalam hadits shaḥīḥ, dan yang ada hanyalah sebuah atsar yang dha‘īf.