Bab III
Hukum Janābah dan Haidh
Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan janabah, maka di dalamnya ada tiga masalah:
Masalah pertama: Masuk ke Dalam Masjid.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum masuknya orang yang tengah junub ke dalam masjid, menjadi tiga pendapat:
1. Sekelompok ulama melarangnya secara mutlak. Ini adalah pendapat madzhab Mālikī dan pengikutnya.
2. Ulama lain melarangnya, kecuali bagi yang hanya sekedar lewat masjid dan tidak berdiam di dalamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syāfi‘ī.
3. Boleh untuk semua orang (baik yang berjunub maupun tidak). Di antara yang berpendapat demikian setahu kami adalah Dāūd azh-Zhāhirī dan para pengikutnya.
Sebab beda pendapat antara Syāfi‘ī dan pengikut Dāūd Zhāhirī adalah makna yang terkandung dalam firman Allah s.w.t.:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَ أَنْتُمْ سُكَارَى.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (Qs. an-Nisā’ [4]: 43).
Apakah ayat ini mengandung majāz (kiasan) sehingga ada kalimat yang dibuang, yaitu kalimat “tempat shalat” hingga tafsirnya menjadi: “Janganlah kalian mendekati tempat shalat.” Ataukah kalimat (عَابِرِ السَّبِيْلِ) “orang lewat” merupakan pengecualian dari larangan mendekati tempat shalat.
Ataukah juga tidak ada kalimat yang dibuang hingga ayat tersebut harus difahami secara murni, hingga kalimat (عَابِرِ السَّبِيْلِ) mengandung makna orang yang sedang dalam perjalanan dan tidak mendapatkan air padahal sedang junub.
Kelompok yang menyatakan adanya majāz (kiasan) pada ayat tersebut membolehkan lewatnya orang yang sedang junub di masjid. Sementara kelompok yang menyatakan tidak adanya majāz mengatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan adanya dalil larangan untuk berdiam di dalam masjid.
Mengenai larangan lewat dalam masjid kami tidak mengetahui dalilnya, kecuali zhāhir (teks) hadits yang diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w.:
لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِجُنُبٍ وَ لَا حَائِضٍ.
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang junub dan haidh.” (981).
Hadits hal ini, perbedaan para ulama tentang konteks hukum wanita haidh sama dengan perbedaan mereka tentang hukum orang yang junub.
Masalah kedua: Menyentuh Mushḥaf al-Qur’ān.
Sekelompok ulama menyatakan orang yang junub boleh hanya sekedar menyentuhnya. Sedangkan ulama lain melarangnya, mereka adalah kalangan ulama yang melarang seorang yang junub untuk menyentuh mushḥaf ketika tidak berwudhu’.
Sebab perbedaan pendapat: Sebab-sebab yang terdapat pada larangan menyentuh mushḥaf bagi orang yang tidak berwudhu’. Yaitu firman Allah s.w.t.:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ.
“…tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Qs. al-Wāqi‘ah [56]: 79).
Dan kami telah menguraikan sebab perbedaan pendapat dalam ayat ini. Ini pula yang merupakan sebab beda pendapat ulama dalam hal hukum wanita haidh yang menyentuh mushḥaf.
Masalah ketiga: Membaca al-Qur’ān Bagi Orang yang Tengah Junub.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan sekelompok ulama membolehkannya.
Sebab perbedaan pendapat: Banyaknya kemungkinan penafsiran dari hadits ‘Alī r.a. yang mengatakan: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi Rasūlullāh s.a.w. untuk membaca al-Qur’ān kecuali janābah (junub).” (992).
Sekelompok ulama mengatakan bahwa riwayat ini sama sekali tidak menetapkan suatu hukum, dan hanya merupakan asumsi perawi. Karena seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Nabi s.a.w. tidak membaca al-Qur’ūn karena junub jika bukan beliau sendirilah yang mengabarkannya.
Sementara jumhur ulama menilai bahwa ‘Alī r.a. tidak mungkin mengatakannya hanya sebatas asumsi belaka. Dia mengatakannya justru dari hasil penelitian.
Ulama lainnya menyamakan konteks hukum wanita haidh dengan hukum orang yang sedang junub. Dan ada juga sebagian ulama yang membedakannya, dan memperbolehkan wanita haidh untuk sedikit membaca al-Qur’ān berdasarkan istiḥsān lamanya masa haidh. Ini adalah madzhab Mālikī.