30. (لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ): الْوَاصِلُوْنَ إِلَيْهِ وَ مَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (ath-Thalāq [65]: 7). Orang yang mampu adalah yang telah sampai kepada Allah. Dan Orang yang disempitkan rezekinya adalah orang yang berjalan kepada-Nya.”
Kalangan ‘ārif yang telah mencapai ma‘rifat adalah yang mendapat keluasan rezeki berupa ilmu dan ma‘rifat. Maka, mereka menafkahkan apa yang telah mereka dapatkan itu ketika berdalil dengan pengetahuan mereka. Itu adalah hukum waktu yang berlaku atas mereka. Sementara, para sālik disempitkan rezekinya sehingga mereka hanya menafkahkan sesuai dengan yang ditetapkan atas mereka. Karena itulah mereka mencari-cari dalil untuk sampai kepada-Nya. Ini adalah hukum yang berlaku atas mereka. Sebab, Allah tidak membebani satu jiwa pun kecuali sesuai dengan apa yang didatangkan kepadanya. Dan Allah mengutamakan kemudahan bagi semua (Allah akan menjadikan setelah kesulitan kemudahan). (491). Ayat ini berlaku bagi semua, baik ahli wushūl maupun para sālik yang berjalan kepada-Nya. Ayat ini juga tidak menghilangkan hukum asal yang telah berlaku, seperti dalam urusan nafkah istri, dan tidak menolaknya, tetapi justru menguatkannya, (502) karena masuk dalam bab nafkah yang bersifat lebih umum daripada harta. Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh r.a. menyebutkan tawajjuh kelompok wushūl dan sālik: (lihat Ḥikam # 31)