25. مَا تَوَقَّفَ مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِرَبِّكَ وَ لَا تَبَسَّرَ مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِنَفْسِكَ
“Permintaanmu tidak akan menyulitkan Tuhanmu, dan permitaanmu tidak akan memudahkan nafsumu.”
Maksudnya, ketika kau meminta kepada Allah, berarti kau bersandar kepada-Nya agar Dia memudahkan terwujudnya apa yang kauminta. Ada tiga cara orang yang bersandar kepada Allah, yaitu tafwīdh atau menyerahkan sepenuhnya apa yang kau kehendaki, tawakkal pada apa yang dihasilkan, dan istiqāmah dalam tawajjuh, atau menghadap kepada Allah. Jika ketiganya telah sempurna maka kau akan mendapatkan kemudian berkaitan dengan apa yang kau minta. Bisa jadi kau segera mendapatkan apa yang dikehendaki, atau mungkin tidak mendapatkannya. Sebab, yang dimaksud dari permintaan adalah dinginnya terpaan kebutuhan, bukan kekekalan wujud yang diminta. Buah dari permintaan adalah ridha, baik dalam ada maupun tiada. Itu adalah permintaan kepada Allah dengan-Nya. Ada juga permintaan hamba kepada Allah tetapi disertai nafsunya. Artinya, ia meminta dengan nafsunya, mengikuti keinginan nafsunya. Dengan demikian, berarti ia bersandar kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Cirinya ada tiga: menghasratkan pemenuhan tanpa tafwīdh, bersandar kepada sebab tanpa tawakkal, kerja keras mengejar yang diminta tanpa disertai istiqāmah dan taqwā. Permintaan serupa itu hanya akan membawanya kepada kesulitan, baik di saat ada maupun tiada. Maka, apa pun yang diminta, meskipun ringan, secara hakikat sesungguhnya terlarang, karena dalam permitaan terkandung kelupaan bersyukur, keberpisahan dari al-Ḥaqq, dan kebersandaran kepada mukhluk.
Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan dalam at-Tanwīr: “Dan keadaan apa pun yang Allah memasukkanmu ke dalamnya, sesungguhnya itu menafikan pertolongan dirimu di dalamnya. Kau berada dalam keadaan itu bukan karena dirimu dan bukan pula karena upayamu. Allah berfirman: “dan katakanlah, Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam tempat masuk yang benar.” (461). Jadi, tempat masuk yang benar adalah yang kaumasuki bukan karena dirimu. Begitu pula tempat keluar yang benar.”
Dengan demikian, kembali dan pulang kepada Allah adalah tanda keberuntungan. Sebaliknya, kembali dan pulang kepada diri (nafs) adalah tanda kerugian, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athā’illāh r.a. (lihat Ḥikam # 26)