24. لَا تَسْتَغْرِبْ وُقُوْعَ الْأَكْدَارِ مَا دُمْتَ فِي هذِهِ الدَّارِ فَإِنَّهَا مَا أَبْرَزَتْ إِلَّا مَا هُوَ مُسْتَحِقُّ وَصْفِهَا وَ وَاجِبُ نَعْتِهَا
“Selama kau berada di tempat ini (dunia), jangan aneh melihat sesuatu yang mengeruhkan jiwa, karena dunia ini hanya memunculkan segela yang bisa disifati dan yang wajib disifati.”
Itu karena dunia disifati dengan kerendahan, atau kesulitan. Artinya, dunia ini adalah tempat kesulitan dan kepayahan. Usianya pendek, barangnya sedikit, dan ujiannya sangat banyak. Barang siapa yang menempatkan dirinya sesuai dengan apa yang telah ditentukan untuknya dan ia beramal di dalamnya maka ia akan mendapatkan kenyamanan, dan seluruh waktunya berada dalam kedamaian. Barang siapa yang menantikan kebalikannya maka ia akan merasa lelah tanpa mendapatkan hasil apa-apa. Karena itulah Ja‘far ash-Shādiq r.a. (441) mengatakan: ‘Barang siapa menuntut apa yang tidak diciptakan untuknya, niscaya ia akan lelah dan tidak akan diberi rezeki, yakni kenyamanan dan istirāḥ di dunia.” Kemudian ia bersenandung:
Kau menuntut rehat di negeri fana’
Merugilah dia yang menghendaki
apa yang takkan mungkin mewujud.
Diriwayatkan bahwa al-Junaid mengatakan: “Aku tidak mengharapkan kepuasan atas apa-apa yang datang kepadaku dari alam ini, karena aku telah menegaskan asal, yaitu bahwa dunia adalah negeri keraguan dan kepalsuan, seluruh alam adalah keburukan. Di antara hukum alam adalah ia memberiku segala yang kubenci. Jika ia memberiku sesuatu yang kucintai maka itu adalah bonus. Jika tidak, maka yang menjadi sumber asal adalah yang pertama.”
Ibnu Mas‘ūd r.a. (452) mengatakan: “Dunia adalah tempat ilusi dan kepalsuan. Apa pun di dalamnya yang memberi kebahagiaan adalah bonus.”
Maka, segala kesibukan, kepayahan, kesulitan, dan sebagainya harus ditujukan untuk Allah s.w.t. sehingga Dia akan membalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat. Inilah yang diperingatkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh r.a.: (lihat Ḥikam # 25)