مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَ نَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ
“Ketika orang-orang yang mencari Tuhan ingin berhenti di maqam yang menjadi tempat mukasyafahnya, isyarat hakikat menyerunya dan berbisik: “Apa yang kaucari ada di depanmu”.”
Ketika seorang murid ingin berhenti dengan tekadnya, sementara ia telah berada di tempat tersingkapnya sebagian pengetahuan dan ma‘rifat atau yang lainnya, seruan dari hamparan hakikat membisikinya dengan lisān ḥāl: “Apa yang minta berupa ma‘rifat al-Ḥaqq ada di depanmu. Ia akan tetap di depanmu selamanya. Maka, keraskanlah usaha pencarianmu dan jangan biasakan dirimu dengan kemalasan. Sebab, meskipun telah disingkapkan kepadamu ilmu af‘āl dan makna-makna kebersandaran (an-nasab) lahiriah, kau akan meluputkan mawqif-ul-asmā’ dan taḥaqquq dengan makna-maknanya yang sesuai dengan dirimu serta apa pun yang tampak untukmu darinya. Jika yang disingkapkan kepadamu berupa makna-makna sifat dan hakikat-hakikatnya maka kau akan meluputkan penyingkapan keagungan dzat dan kemuliaannya. Dan seperti itu pulalah pada setiap tingkatan hingga yang tidak ada ujungnya. Sebab, tidak ada batas akhir bagi sesuatu yang diketahui. Pengetahuan tentangnya tidak akan berakhir di negeri akhirat yang abadi berbeda halnya dengan pengetahuan di negeri dunia.
Dan ada tiga macam sikap berhenti (wuqūf), yaitu berhenti karena puas, berhenti karena melihat ujung, dan berhenti karena merasa dekat. Seorang guru sufi mengatakan bahwa berhentinya seorang murid merupakan keburukan di perjalanan. Perjalanan berhenti karena rasa puas dan keberhentian memutuskan sālik dari tawajjuh. Ini merupakan keburukan yang sangat besar bagi para sālik. Kita berlindung kepada Allah agar dihindarkan dari berburukan itu. Dan kadang-kadang nafsu menyerunya untuk berhenti pada apa yang tampak sebagai karamah. Ia berhenti baik karena merasa puas, karena merasa dekat, atau karena meyakini bahwa ia telah mencapai ujung atau puncak perjalanan. Karena itu, Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan:
20. وَ لَا تَبَرَّجَتْ ظَوَاهِرُ الْكَوَّنَاتِ إِلَّا وَ نَادَتْكَ حَقَائِقُهَا: إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“Dan setiap kali alam ciptaan menampakkan keindahannya, isyarat hakikatnya menyeru sang salik dan berbisik: “Kami hanyalah godaan. Maka, janganlah kamu kufur.”
Artinya, alam ciptaan muncul dengan segala keindahan dan daya tariknya untuk memalingkanmu dari perjalanan. Kau berhenti dan berpaling kepada alam ciptaan karena keajaibannya dan juga karena faedahnya. Maka, ketika alam ciptaan menampakkan sesuatu, nafsu terdorong kepadanya sehingga ia ingin berhenti bersamanya. Namun, di saat itulah lisān ḥāl memanggilnya dan mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah ujian atau cobaan bagimu, apakah kau akan berhenti bersama kami sehingga terhijab dari tuhan kami ataukah kau akan bersabar hingga mendapatkan anugerahnya. Kami hanyalah cobaan untuk mengujimu, apakah kau bersyukur atas nikmat Allah, ataukah kufur. Maka, janganlah kufur terhadap nikmat Allah kepadamu. Kau telah kufur jika kau berhenti bersama kami, mementingkan kami, sibuk dengan kami sehingga kau tidak dapat melihat al-Ḥaqq dengan kami atau pun tanpa kami.”
Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang Dia limpahkan kepadamu dan beramallah sebagaimana dikatakan dalam bait-bait as-Syusytarī: (431).
Ketika berjalan, jangan melirik kepada yang lain,
Segala sesuatu selain Allah adalah yang lain.
Karenanya, jadikanlah dzikir-Nya sebagai benteng.
Jangan berhenti di satu maqām, karena ia adalah penghalang.
Bersungguh-sungguhlah di perjalanan dan mintalah pertolongan.
Ketika kau melihat suatu maqām disingkapkan, beranjaklah dari sana.
Aku pun beranjak dari segala sesuatu yang serupa dengannya.
Katakanlah aku tidak punya permintaan kepada selain-Mu
Tidak ada gambaran yang tersingkap, tak juga hadiah yang dipetik.
Dan rahasia ilmu para alim golongan kanan adalah jalan kepada-Nya.
Maka, jangan pernah kautinggalkan jalan golongan kanan.
Secara umum, berhenti dengan himmah-mu pada sesuatu selain al-Ḥaqq adalah telarang. Kesibukan dirimu untuk mencarinya merupakan kunci segala kebaikan, tetapi itu dari sisi ‘ubūdiyyah, bukan dari sisi-sisi lainnya. Sebab, semua sisi pencarian dapat diketahui kecuali sisi ‘ubūdiyyah. Ibnu ‘Athā’illāh r.a. menjelaskan setiap sisi itu dengan ungkapannya: (lihat Ḥikam # 21)