2-2-1,2,3,4 Hal-hal Yang Membatalkan Mandi Hadats – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: Kitab Mandi Besar | Bidayat-ul-Mujtahid

Bab II

Hal-hal yang Membatalkan Mandi Hadats

 

Dasar masalah ini adalah firman Allah s.w.t.:

وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا.

Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Demikian pula firman-Nya:

وَ يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ أَذًى.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Itu adalah sesuatu yang kotor.” (Qs. al-Baqarah [2]: 222).

Para ulama telah sepakat bahwa mandi hadats hukumnya wajib jika dua hadats berikut ini terjadi:

 

Masalah pertama: Keluarnya Mani.

1. Keluar mani dengan cara sehat saat tidur ataupun terjaga, baik bagi laki-laki maupun perempuan wajib hukumnya untuk mandi hadats. Kecuali sebuah pendapat yang disampaikan an-Nakha‘ī yang tidak mewajibkan mandi bagi seorang wanita disebabkan mimpi bersenggama.

2. Hanya saja, jumhur ulama sepakat untuk menyamakan konteks hukum bagi laki-laki dan perempuan dalam hal mimpi jima‘ (senggama). Berdalil dengan hadits Ummu Salamah r.a. yang tsābit: “Wahai Rasūlullāh, seorang wanita telah bermimpi seperti yang dilihat oleh laki-laki dalam tidurnya. Apakah wajib baginya untuk mandi hadats?” Beliau menjawab: “Ya, jika dia melihat air (mani).” (941).

 

Masalah kedua: Haidh.

Adapun hadats kedua yang disepakati untuk dilakukannya mandi hadats adalah darah haidh (kala berhenti keluar). Ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:

وَ يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ أَذًى.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Itu adalah sesuatu yang kotor.” (Qs. al-Baqarah [2]: 222).

Demikian pula berdasarkan perbuatan Nabi s.a.w. yang mengajarkan mandi kepada ‘Ā’isyah r.a. karena haidh, dan para istri beliau lainnya.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ushūl pada masalah ini. Dan terbagi dalam dua masalah yang cukup populer berikut ini:

 

Masalah ketiga: Jima‘ (Senggama).

Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. berbeda pendapat seputar batas jima‘ yang mewajibkan untuk mandi:

Sebagian para sahabat ada yang berpendapat bahwa yang mewajibkan mandi adalah ketika bertemunya dua khitān (alat kelamin), baik yang menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak. Inilah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama di berbagai negeri, Mālik dan pengikutnya, Syāfi‘ī dan pengikutnya, demikian pula sekelompok dari kalangan Ahl-uzh-Zhāhir (kalangan tekstualis pengikut madzhab Dāūd azh-Zhāhiri).

Sementara sekelompok ulama dari kalangan Ahl-uzh-Zhāhir berpendapat bahwa mandi hanya wajib dilakukan karena keluarnya mani.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antar beberapa hadits. Karena dalam masalah ini terdapat dua buah hadits tsābit yang disepakati oleh para perawi yang shaḥīḥ.

Al-Qādhī berkata: “Kapan saja kukatakan: tsābit, itu berarti hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhārī atau Muslim, atau pula disepakati oleh keduanya.”

1. Hadits Abū Hurairah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَ أَلْزَقَ الْخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

Jika seseorang telah duduk di antara kedua kaki dan kedua tangannya (istrinya), lalu bersentuhanlah khitan dengan khitan, maka kala itu wajib untuk mandi.” (952).

2. Hadits tentang ‘Utsmān r.a. yang pernah ditanya: “Bagaimana pendapatmu jika seseorang menggauli istrinya tetapi tidak mengeluarkan mani?” ‘Utsmān menjawab: “Dia hendaknya berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Begitulah aku mendengarkannya dari Rasūlullāh s.a.w.” (963).

Para ulama dalam masalah ini menempuh dua cara, salah satunya adalah naskh (menghapus), dan yang kedua adalah dengan cara kembali kepada kesepakatan ketika terjadi kontradiksi yang tidak memungkinkan akumulasi pendapat (jam‘) ataupun pengunggulan (tarjīḥ).

Jumhur ulama menilai bahwa hadits Abū Hurairah me-naskh (menghapus) hadits ‘Utsmān r.a. Di antara dalil mereka akan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan dari perkataan Ubai bin Ka‘b: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. menetapkan itu sebagai keringanan di awal masa kedatangan Islam, kemudian beliau memerintahkan (wajibnya) mandi besar karenanya.” (974) (HR. Abū Dāūd).

Dan jumhur ulama telah menguatkan hadits dari Abū Hurairah di atas dengan qiyās (analogi). Para ulama berkata: “Ketika ijmā‘ (konsensus ulama) memutuskan hukuman ḥudūd, maka kala itu (ketika bertemunya dua khitan) mandi hadats pun wajib untuk dilakukan.” Mereka mengisahkan bahwa qiyās ini diambil dari pendapat para khalifah yang empat.

Jumhur ulama juga memperkuat pendapat ini dengan dalil dari hadits ‘Ā’isyah r.a. yang menukil khabar-nya dari Rasūlullāh s.a.w. (HR. Muslim).

 

Masalah keempat: Jenis Mani yang Mewajibkan Mandi.

Para ulama berbeda pendapat tentang karakter (jenis) mani yang andai keluar maka mewajibkan dilakukannya bersuci: Mālik mempertimbangkan keluarnya mani disebabkan oleh adanya syahwat. Syāfi‘ī menilai konteks keluarnya manilah yang mewajibkan dilakukannya mandi, baik dengan adanya syahwat ataupun tidak.

Sebab perbedaan pendapat: Beda pendapat ulama dalam masalah ini terjadi pada dua hal:

1. Apakah kata “junub” juga ditujukan kepada orang yang junub dengan kondisi di luar kebiasaan, ataukah tidak. Kelompok yang berpendapat bahwa junub hanya ditujukan kepada orang yang junub dengan kondisi biasa, mereka menilai tidak wajibnya mandi bagi orang keluar mani tanpa syahwat. Dan ulama yang menilai bahwa junub dapat dituju untuk berbagai konteks keluarnya mani, mereka berpendapat wajibnya dilakukannya bersuci, walau keluarnya mani tersebut tanpa syahwat.

2. Menyerupakan keluarnya mani tanpa syahwat dengan keluarnya darah istiḥādhah.

Tentang darah karena istiḥādhah, para ulama berbeda pendapat antara mewajibkan bersuci dan tidak. Tentang hal ini akan kami bahas dalam pembahasan tentang haid, walau sebenarnya memungkinkan untuk dibahas saat ini.

Dalam konteks pendapat madzhab, dalam masalah ini ada sebuah hal khusus, yakni: jika air mani keluar dengan diikuti rasa nikmat, lalu keluar lagi beberapa saat kemudian tanpa rasa nikmat. Seperti seseorang yang bersuci setelah keluarnya air mani akibat hubungan intim lalu maninya kembali keluar, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa mandinya tidak perlu diulang. Alasannya, karena keluarnya mani yang pertama disertai dengan syahwat, sedangkan yang kedua tanpa syahwat.

Kelompok ulama yang menyaratkan adanya syahwat, maka mereka berpendapat wajibnya bersuci. Sementara yang tidak mensyaratkan adanya syahwat, menilai tidak wajibnya bersuci dalam kasus di atas.

Catatan:

  1. 94). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (282, 6121, 130, 3328 dan 6091), Muslim (313), at-Tirmidzī (122), an-Nasā’ī (1/114), Ibnu Mājah (600), Aḥmad (2/292) (6/302 dan 306), ‘Abd-ur-Razzāq (1049), al-Ḥumaidī (298), serta Ibn-ul-Jarūd (88).
  2. 95). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (241 dan 291), Muslim (348), Abū Dāūd (216), an-Nasā’ī (1/111), Ibnu Mājah (610), Aḥmad (2/234, 237, 393, 471, dan 520), serta al-Baihaqi (1/163).
  3. 96). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (292 dan 179), Muslim (347), Aḥmad (1/63 dan 64), dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (224), serta al-Baihaqī (1/164 dan 165).
  4. 97). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (215), at-Tirmidzī (110), dan di-shaḥīḥ-kan oleh Ibnu Khuzaimah (225)), dan Ibnu Ḥibbān (1179). Diriwayatkan pula oleh ad-Dāruquthnī (1/126), ath-Thabrānī (538), al-Baihaqī (1/156), serta dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *