19. لَا تَطْلُبْ مِنْهُ أَنْ يُخْرِجَكَ مِنْ حَالَةٍ لِيَسْتَعْمِلَكَ فِيْمَا سِوَاهَا…..
“Jangan pernah meminta kepada-Nya untuk mengeluarkanmu dari suatu keadaan dan kemudian menempatkanmu pada keadaan yang lain.”
Alih-alih demikian, berdiri dan tegaklah di tempat berdiri yang telah ditetapkan Allah untukmu seraya meminta istiqāmah di dalamnya. Cukuplah semua itu bagimu. Sesungguhnya kau diperintah karena tiga alasan.
Pertama, agar kau bisa menegakkan hak-hak kehambaanmu dengan penuh rida.
Kedua, agar kau bisa menemukan ketenangan dan kenyamanan dalam istishan. Di antara caranya adalah kau harus menerima setiap pengaturan, baik pengaturan yang keras maupun pengubahan yang sulit.
Ketiga, agar kau tidak diberi sesuatu yang kaumintakan tetapi kemudian kau terhalang dari ketenangan dan kedamaian.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki meminta kepada Allah agar mendapatkan dua kali makan dalam suatu hari dan waktu luang untuk beribadah. Tidak lama kemudian ia pun dipenjara. Setiap hari ia mendapatkan dua kali jatah makan dan waktu yang luang untuk beribadah. Laki-laki itu merenungkan keadaannya, lalu mengadu kepada Allah. Dikatakan kepadanya: “Kau meminta dua kali makan dan waktu untuk beribadah, tetapi kau tidak meminta ketenangan dan kenyamanan hati.” Maka, ia pun bertobat meminta ampunan kepada Allah sehingga tidak lama setelah itu kasusnya dibatalkan dan ia pun dikeluarkan dari penjara.
Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan dalam at-Tanwīr: “Maka patutkanlah adabmu wahai mu’min, jangan meminta kepada-Nya agar mengeluarkanmu dari suatu perkara dan kemudian Dia memasukkanmu ke dalam sesuatu yang lain jika keadaan yang kau berada sebelumnya bersesuaian dengan lisan pengetahuan. Sesungguhnya sikap seperti itu termasuk adab yang buruk kepada Allah. Bersabarlah. Jangan meminta dikeluarkan sekehendak nafsumu sehingga kau diberi apa yang kauminta tetapi terhalang dari kenyamanan dan kedamaian. Maka, banyak orang yang meninggalkan sesuatu dan memasuki sesuatu yang lain untuk menemukan istirah yang kemudian membuatnya lelah. Ia dimasukkan dalam keadaan yang sulit sebagai hukuman atas ikhtiarnya.”
Kemudian, bisa jadi seorang hamba menghendaki sesuatu berupa asbab yang lainnya, tetapi kemudian ia mendapatkan hal lain yang merupakan lawannya. Karena itu, orang yang meminta beralih atau pindah dari suatu keadaan adalah orang yang sempit pemahamannya. Jika tidak, ia akan menyerahkan urusannya kepada Allah, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athā’illāh r.a.:
19. فَلَوْ أَرَادَكَ لَاسْتَعْمَلَكَ مِنْ غَيْرِ إِخْرَاجٍ.
“Jika Dia menghendakimu, niscaya Dia membuatmu beramal tanpa perlu mengeluarkanmu (dari keadaan).”
Caranya, Dia memunculkan untukmu faedah-faedah tajrīd bersama asbāb dan faedah asbāb bersama tajrīd. Dan itu terjadi atas kehendak-Nya tanpa penghalang dan tanpa kesulitan. Karena itulah banyak kalangan mutajarrid yang mendapat rezeki berlimpah sehingga ia menjadi orang yang kaya-raya dan banyak pula kalangan mutasabbib yang mendapat keluangan waktu sehingga ia dapat menghimpun antara ibadah dan mencari sebab. Diriwayatkan bahwa Sahl ibn ‘Abdillāh at-Tustarī r.a. berkata: “Ketika mereka membawaku ke maktab, aku menjadi sibuk mengawasi hatiku kutinggalkan tugas-tugasku yang berkaitan dengan kertas dan tulisan. Maka, Aku meminta kepada Allah sehingga Dia menghimpunkan keduanya untukku.”
Karena itu, Syaikh Abul-‘Abbās al-Mursī berkata kepada Ibnu ‘Athā’illāh r.a. yang mengadu ingin keluar dari keadaannya, yaitu sibuk dengan pengetahuan lahir. Ibnu ‘Athā’illāh r.a. berdalih bahwa kesibukan seperti itu akan menghalanginya dari wushūl. Maka, Syaikh Abul-‘Abbās berkata: “Duduklah di tempatmu berada saat ini. Apa pun yang ditetapkan Allah kepadamu pasti akan membuatmu sampai (wushūl) kepada-Nya.”
Kemudian ia menatapnya dan berkata: “Ini keadaan kalangan shiddīqūn. Mereka tidak keluar dari sesuatu hingga al-Ḥaqq subḥānahu wa ta‘ālā mengeluarkan mereka sebagaimana Dia memasukkan mereka. Maka, ketahuilah bahwa kau berada dalam salah satu dari tiga keadaan: kau diberdirikan dalam keadaanmu tanpa perpindahan, tanpa pertambahan dan penuh rahmat. Atau Dia membuatmu beramal di dalamnya tanpa perlu rahmat. Atau Dia membuatmu beramal di dalamnya tanpa perlu mengeluarkanmu sehingga kau mendapatkan ghanīmah ‘ubūdiyyah yang melekat pada ghanīmah faedah yang diminta, dengan tambahan yang telah kau dapatkan. Atau, Dia menyiapkanmu untuk keluar dari keadaanmu saat ini dengan syarat penegakan (syarth-ul-iqāmah) yang dantang belakangan, yaitu keistiqāmahanmu di dalamnya.
Kemudian jika kau berdiri pada keadaanmu berupa istislām (berserah diri) atau imtitsāl (tunduk pada perintah) maka jangan berhenti dengan tekadmu pada sesuatu selain al-Ḥaqq. Sebab, segala sesuatu selain Dia adalah hijab dari-Nya meskipun berfaedah dan berkaramah. Inilah yang dijelaskan Ibnu ‘Athā’illāh r.a. dalam ungkapannya: (lihat Ḥikam # 20)