2-1-2,3 Niat, Berkumur & Istinsyaq – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: Kitab Mandi Besar | Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kedua: Niat.

Para ulama berbeda pendapat apakah niat termasuk dalam syarat mandi hadats ataukah tidak. Kondisi ini sama seperti perbedaan mereka dalam hukum niat saat berwudhu’.

Mālik, Syāfi‘ī, Aḥmad, Abū Tsaur, Dāūd dan para pengikutnya berpendapat bahwa niat termasuk syarat mandi. Sementara Abū Ḥanīfah dan pengikutnya, serta ats-Tsaurī berpendapat bahwa mandi cukup dilakukan tanpa niat, seperti halnya berwudhu’.

Sebab perbedaan pendapat: Beda pendapat para ulama seputar hukum wudhu’, dan telah dijelaskan pada pembahasan yang lalu.

 

Masalah ketiga: Berkumur dan istinsyāq (memasukkan air mengeluarkan air dari hidung).

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkumur dan istinsyāq seperti perbedaan pendapat mereka dalam masalah wudhu’ (antara wajib atau tidak). Sekelompok ulama menilai bahwa keduanya adalah wajib untuk dilakukan. Sementara ulama lain berpendapat tidak wajib.

Di antara ulama yang tidak berpendapat wajib adalah Mālik dan Syāfi‘ī. Dan yang menilainya wajib adalah Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya.

Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara hadits Ummu Salamah r.a. dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang tatacara mandi Nabi s.a.w. Dalam hadits yang menjelaskan cara mandi Nabi s.a.w. telah disebutkan hal berkumur dan istinsyāq. Sementara dalam hadits Ummu Salamah r.a. tidak disebutkan perintah untuk berkumur maupun istinsyāq.

Kelompok yang menjadikan hadits ‘Ā’isyah dan Maimūnah r.a. sebagai penjelas bagi keumuman hadits Ummu Salamah dan firman Allah s.w.t.: “Dan jika kamu junub maka mandilah….” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6), berpendapat bahwa berkumur dan istinsyāq adalah wajib.

Dan kelompok lain menganggap bahwa kedua nash ini saling bertentangan. Mereka memahami bahwa hadits ‘Ā’isyah dan Maimūnah r.a. berkenaan dengan hukum sunnah, sementara hadits Ummu Salamah berkenaan dengan hal yang wajib.

Karena inilah, mereka juga berbeda pendapat apakah menyegar rambut dalam bersuci wajib ataukah tidak. Madzhab Mālikī menilainya sebagai mustaḥabb. Sementara kalangan ulama lainnya memandang wajib.

Kelompok yang menyatakan wajib memperkuat pendapat mereka dengan sabda Nabi s.a.w.:

تَحْتَ كُلِّ شَعَرَةٍ جَنَابَةً فَأَنْقُوْا الْبَشَرَةَ، وَ بُلُّوا الشَّعَرَ.

Di bawah setiap rambut terdapat janabah, karena itu bersihkanlah kulit rambut, dan basahkanlah rambut.” (921).

Catatan:

  1. 92). Dha‘īf. HR. Aḥmad (6/110 dan 254), Isḥāq bin Rahawaih dalam Musnad (1680) dari ‘Ā’isyah r.a., Abū Dāūd (248) dari Abū Hurairah r.a. dan mengatakan: “al-Ḥārits bin Wajīh haditsnya munkar, karena hadits tersebut lemah.” Demikian pula at-Tirmidzī meriwayatkan dari Abū Hurairah (106), Ibnu Mājah (597), dan al-Baihaqī (1/175), serta dianggap dha‘īf oleh al-Albānī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *