Hati Senang

2-1-1 Ad-Dalk (Menggosok-gosok Badan) – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd


Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

كِتَابُ الْغُسْلِ

KITAB MANDI BESAR

 

Landasannya pokok masalah ini adalah firman Allah s.w.t.: “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Pembahasan segala pokok utamanya, dilengkapi dengan pembahasan hukum, orang yang wajib mandi dan tentang air mutlak terangkum dalam tiga bab:

Adapun mandi besar ini diwajibkan kepada setiap orang yang telah terbebani wajib shalat, dan ini tidak diperselisihkan lagi. Demikian pula, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal hukum wajibnya mandi bagi orang yang telah terbebani wajib shalat ini.

Dalil masalah itu adalah semua dalil tentang wajibnya wudhu’ – seperti yang telah kami utarakan pada pembahasan yang lalu – juga berbagai dalil tentang hukum air yang telah dibahas di muka.

 

Bab I

Mengetahui Tata Cara Mandi

Dalam bab ini ada empat masalah terkait:

 

Masalah pertama: Ad-Dalk (menggosok-gosok badan).

Para ulama berbeda pendapat apakah di antara syarat bersuci dengan mandi diharuskan terjadinya mengeluskan tangan ke semua bagian badan seperti dalam berwudhu’, ataukah cukup hanya dengan mengucurkan air ke semua bagian badan walau tanpa sentuhan langsung kedua tangan.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengucurkan air saja sudah cukup. Sementara Mālik dan mayoritas pengikutnya, serta al-Muzanī (pengikut Syāfi‘ī) berpendapat bahwa jika terlewat satu bagian saja maka bersucinya belum sempurna.

Sebab perbedaan pendapat: Karena adanya ragam makna dalam kata “al-ghusl”, dan kontradiksi antara berbagai hadits yang menjelaskan tentang tata cara mandi dengan qiyās (analogi) mandi terhadap wudhu’.

Jelasnya, hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai tata cara mandi Rasūlullāh s.a.w. (dalam hadits dari ‘Ā’isyah r.a. ataupun hadits Maimūnah), di dalamnya sama sekali tidak disebutkan aturan untuk menyentuh semua bagian badan dengan tangan. Yang ada hanyalah meratakan air.

Dalam hadits ‘Ā’isyah r.a. disebutkan: “Rasūlullāh s.a.w. jika mandi karena junub, maka beliau akan memulainya dengan membasuh kedua tangan, kemudian mengucurkan (air) dengan tangan kanan ke bagian tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu’ seperti wudhu’ beliau untuk shalat. Kemudian beliau mengambil air, lalu memasukkan jari-jari ke bagian bawah rambut, lalu mengucurkan tiga gayung air ke kepala, kemudian mengucurkan air ke seluruh kulit.” (891).

Dan tata cara yang diungkapkan pada hadits Maimūnah tidak jauh berbeda dengan ungkapan yang terdapat dalam hadits di atas. Bedanya hanya dalam membasuh kaki yang diakhirkan setelah bersuci. (902).

Demikian pula hadits Ummu Salamah ketika dia bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang keharusan ikatan rambutnya untuk dibuka ketika mandi junub. Beliau s.a.w. pun menjawab:

إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكَ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكَ الْمَاءَ فَإِذًا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ.

Cukup bagimu mengucurkan air dengan kedua telapak tangan ke kepala sebanyak tiga kali, kemudian kamu kucurkan air ke badanmu. Dengan demikian kamu telah bersuci.” (913).

Hadits ini paling kuat dalam menafikan keharusan (menggosokkan badan dengan tangan) dibandingkan hadits-hadits lainnya. Sebab, jika menggosok-gosokkan badan dengan tangan dalam mandi hadats wajib dilakukan, tentu Rasūlullāh s.a.w. tidak akan pernah meninggalkannya. Dan hadits ini hanya menyebutkan syarat-syaratnya saja.

Karena itu, para ulama bersepakat bahwa tata cara mandi yang ada dalam hadits ‘Ā’isyah r.a. dan Maimūnah adalah tata cara yang paling sempurna. Sementara yang dijelaskan dalam hadits dari Ummu Salamah r.a. hanyalah rukun-rukunnya.

Wudhu’ sebelum mandi tidaklah termasuk syarat mandi wajib. Berbeda dengan pendapat Syāfi‘ī yang syādz yang memiliki kekuatan pada sisi zhāhir haditsnya, sementara pendapat jumhur ulama kuat dari segi penelitian. Karena telah nyata bahwa mandi besar adalah syarat sahnya wudhu’, dan wudhu’ bukan syarat sahnya mandi hadats. Ini termasuk masalah benturan qiyās (analogi) dengan zhāhir (teks) hadits. Dan Syāfi‘ī lebih mengedepankan aspek zhāhir hadits daripada qiyās.

Sebagaimana telah kami katakan bahwa sekelompok ulama lebih mengambil zhāhir hadits daripada meng-qiyās-kan mandi kepada wudhu’, sehingga mereka memandang tidak wajibnya menggosok-gosokkan badan dengan tangan dalam mandi. Yang lainnya lebih memperkuat qiyās mandi kepada wudhu’ daripada zhāhir hadits, sehingga mereka mewajibkan menggosok-gosokkan badan dengan tangan dalam mandi seperti aturan dalam wudhu’.

Singkatnya, kelompok yang lebih memperkuat qiyās mewajibkan menggosok-gosokkan badan dengan tangan dalam mandi, sementara kelompok yang memperkuat zhāhir hadits menggugurkan kewajiban menggosok-gosokkan badan dengan tangan dalam mandi.

Yang kami maksud dengan qiyās adalah menganalogikan mandi dengan wudhu’, sementara ber-ḥujjah dari segi lafazh adalah suatu tindakan yang lemah. Karena kata al-ghusl dan ath-thuhr dalam bahasa ‘Arab mengandung makna yang berimbang (nyaris serupa).

Catatan:

  1. 89). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (248 dan 262) Muslim (316), Abū Dāūd (242), at-Tirmidzī (104), dan an-Nasā’ī (1/135).
  2. 90). Lafazh haditsnya adalah: “Nabi s.a.w. mengucurkan air ke kedua tangannya, lalu membasuh keduanya dua atau tiga kali, kemudian mengucurkan air dengan tangan kanannya ke tangan kiri, lalu membasuh kemaluannya, kemudian menyentuhkan tangan ke bumi, kemudian berkumur dan beristinsyaq, kemudian membasuh muka dan kedua tangannya, kemudian membasuh kepala sebanyak tiga kali, kemudian mengucurkan air ke seluruh badan, kemudian pindah dari tempatnya, lalu membasuh kedua kakinya.” (HR. al-Bukhārī (249, 260, 265, 274, 276, dan 281) Muslim (317), Abū Dāūd (245), at-Tirmidzī (103), dan an-Nasā’ī (1/137).
  3. 91). Shaḥīḥ. HR. Muslim (317), Abū Dāūd (245), at-Tirmidzī (103), dan an-Nasā’ī (1/137), Ibnu Mājah (603) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (246) dan diriwayatkan pula oleh ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (23/296, 657, dan 658).
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.