8. إِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا إِنْ قَلَّ عَمَلُكَ
“Jika Dia membukakan jalan bagimu kepada sisi pengenalan, tidak usah risau meski amalmu masih sedikit.”
Alih-alih, kau harus bergembira karena dibukakan jalan untuk mengenali Dia. Kau harus bergembira karena bisa jadi kau tidak akan mendapatkan jalan lain untuk mengenali Dia. Lalu yang dimaksud dengan sisi pengenalan di sini adalah sesuatu yang membuatmu mengetahui keagungan Tuhan dan kehinaan dirimu; mengetahui dunia berikut isinya; serta mengetahui makhluk berikut hakikat-Nya. Semua itu pada akhirnya tertanam kuat dalam relung hatimu sehingga sikap untuk berbuat atau tidak berbuat selalu bergantung padanya. Puncaknya adalah ketika pengenalan itu menghalangimu untuk memperbanyak amal. Jika karena itu amal menjadi sedikit, kau harus mengabaikannya. Sebab, yang memerintahkan adalah Dia yang maha mengendalikan. Segala sesuatu berasal dari Dia dan akan kembali kepada-Nya.
Setiap hamba harus melaksanakan perintah-Nya, dan setiap hamba harus tunduk kepada semua ketentuan-Nya. Dan tidak sepatutnya hamba memiliki tekad untuk melakukan dosa atau melalaikan perintah. Namun, jika ternyata ia tidak bisa mengerjakan apa yang diperintahkan secara sempurna maka ia tidak mendapatkan dosa. Hal ini didasarkan atas sejumlah riwayat. Misalnya, diceritakan dalam sebuah hadits bahwa Nabi s.a.w. Beliau dan para sahabat tertidur di suatu lembah hingga tidak mengerjakan shalat malam. Itu terjadi setelah memberikan amanat kepada Bilāl yang dititahkan untuk berjaga. Saat itu beliau bersabda: “Tidak apa-apa. Allah menahan ruh kita.” Beliau mengembalikan kepada ketetapan Allah ketika tidak bangun pada waktunya untuk mendirikan shalat.
Namun, Nabi s.a.w. menyikapi secara berbeda dalam kesempatan dan keadaan yang berbeda. Dikisahkan bahwa suatu hari beliau bertanya kepada ‘Alī dan Fāthimah: “Mengapa kalian tidak shalat malam?”
Kemudian ‘Alī menjawab: “Allah menahan ruh kami.” (151) Beliau memukul pahanya seraya bersabda: “Manusia memang banyak berdebat.”
Para ulama menjelaskan: “Nabi menyebutnya berdebat karena sebetulnya mereka tidak shalat malam karena junub, tetapi mereka mengaitkannya kepada taqdir. ‘Alī r.a. menjawa seperti itu karena malu mengungkapkan yang sesungguhnya.”
Selanjutnya Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan:
8. فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَ هُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ
“Sebab, Dia tidak membukakan jalan itu kecuali karena ingin memperkenalkan diri kepadamu.”
Hal ini terlihat dari kondisinya. Sebab, pembukaan jalan itu tidak terjadi kecuali dengan pengenalan berupa hamparan makrifat yang hanya bisa didapat melalui Dia dan hanya bisa dicapai dengan anugerah-Nya. Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan:
8. أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ
“Tidakkah kau menyadari bahwa perkenalan tersebut merupakan anugerah-Nya kepadamu.”
Dengan ungkapan itu seakan-akan Ibnu ‘Athā’illāh berkata: “Bukankah kau mengetahui bahwa pengenalan itu berasal dari-Nya? Dialah yang memberikannya. Ia merupakan hamparan-Nya. Jika Dia mengarahkannya untukmu berarti Dia mengarahkan pengenalan yang membuatmu sampai kepada makrifat – puncak harapan dan impian setiap hamba.”
(8. وَ الْأَعْمَالُ أَنْتَ مُهْدِيهَا إِلَيْهِ وَ أَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ)
(sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya)
Amal merupakan persembahanmu kepada Allah untuk mendekatkan diri (taqarrub) dan mendapatkan sesuatu yang ada di sisi-Nya. Jadi, sangat berbeda antara amal serta sifat-sifatmu yang tidak sempurna yang kau persembahkan untuk-Nya dan sifat, perbuatan, dan karunia-Nya yang agung yang Dia persembahkan untukmu.
Jauhnya jarak antara keduanya sebagaimana jauhnya kedudukan antara keduanya: Tuhan dan hamba. Bagaimana mungkin keduanya serupa?! “Apakah Dia yang menciptakan serupa seperti yang tidak mencipta?! Apakah kalian tidak mengambil pelajaran?!” (162). Membandingkan antara karunia serta kemurahan-Nya dengan perbuatan kita merupakan kekeliruan besar yang yang bersumber dari kurangnya makrifat kepada Dia Yang Maha Pemurah dan Memberi karunia. Sungguh teramat jauh jarak antara apa yang Dia perbuat terhadapmu agar kau selamat dengan usaha yang kau lakukan sendiri untuk selamat.
Usaha dan perbuatanmu membutuhkan kebersihan dan keikhlasan, sedangkan perbuatan-Nya terhadapmu bersih dari cacat maupun bantuan yang lain. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Khayr-un-Nassāj (173) yang mengatakan: “Warisan amalmu adalah sesuatu yang sesuai dengan perbuatanmu. Mintalah warisan anugerah dan kemurahan-Nya. Itu jauh lebih baik bagimu.” Kemudian untuk mengukuhkan harapan hamba, Ibnu ‘Athā’illāh berkata: (lihat Ḥikam # 9)