1-6 Jangan Berhenti Berdoa Meskipun Doanya Tak Kunjung Dikabul – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

6. لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ

“Jangan sampai lambatnya pemberian padahal kau terus-terusan berdoa membuatmu putus asa.”

Seorang hamba semestinya terus berdoa sebagai wujud kehinaan, kerendahan, dan kefakiran dirinya di hadapan Allah. Ketika membutuhkan sesuatu, sepatutnya ia terus berdoa memohon kepada Allah. Sikap itulah yang dituntut dari hamba dalam berdoa. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menjamin pengabulan doa. Jika kau telah berdoa serta tekun melakukannya, jangan pernah berputus asa. Pasalnya, putus asa muncul karena kau melihat sebab akibat dan kesungguhan doamu. Kau berputus asa karena merasa telah sungguh-sungguh berdoa tetapi apa yang kau mintakan tak juga dikabulkan. Nah, jika kau meninggalkan pintu Tuhan lantaran doamu lambat dikabulkan, berarti kau membatasi permintaan itu dengan doa yang sebetulnya merupakan wujud ekspresi kehinaan dan kefakiran dirimu serta wujud kesadaranmu akan kehadiran dan keagungan-Nya.

Berkaitan dengan permintaan kepada Tuhan, manusia terbagi tiga golongan. Pertama, orang yang menghampiri Tuhan dengan pasrah sehingga ia ridha dan selalu terhubung kepada-Nya baik dalam keadaan ada maupun tiada. Orang semacam ini tidak akan berhenti berdoa meskipun doanya tak kunjung dikabul.

Kedua, orang yang bersimpuh di depan pintu-Nya karena yakin pada janji-Nya dan selalu menyaksikan ketentuan-Nya. Ia selalu melihat kelalaian yang dilakukannya dan ketika doanya tak juga dikabulkan, ia merasa banyak cacat pada dirinya dan juga kekurangan pada doanya. Kadang-kadang keterlambatan itu membuatnya putus asa, tetapi sering pula keadaan itu justru melahirkan harapan-harapan baru. Ketika keinginannya terwujud dan dikabulkan oleh Allah, ia semakin mementingkan syariat dan tak henti-hentinya mengagungkan Allah.

Ketiga, orang yang berdiri di depan pintu-Nya disertai sejumlah sebab, dalih, dan sikap lalai. Ia menginginkan sesuatu tanpa mengambalikannya kepada ketentuan dan kebijaksanaan Allah. Orang semacam ini bisa jadi ragu terhadap janji Tuhan, bimbang, atau nyaris putus asa tanpa sebab yang jelas. Semoga Allah menyelamatkan kita dari termasuk golongan semacam ini.

Syaikh Abū Muḥammad ‘Abd-ul-‘Azīz al-Mahdawī r.a. berkata: “Orang yang ketika berdoa tidak mau meninggalkan pilihannya dan tidak ridha dengan pilihan Tuhannya, ia adalah orang yang dilulu (istidrāj). Kepada orang semacam itu dikatakan: “Penuhi permintaannya! Aku tidak suka mendengar suaranya.” Namun, apabila ia bersama dengan pilihan Allah, bukan dengan pilihan dirinya maka ia termasuk yang doanya dikabulkan meskipun tidak diberi. Amal manusia bergantung pada penutupnya.” Kondisi bodoh yang melahirkan putus asa bisa dilenyapkan dengan mengetahui luasnya janji Tuhan dan bahwa realisasinya tidak terbatas. Inilah yang dijelaskan Ibnu ‘Athā’illāh dalam hikmahnya:

 

6. فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَ فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ تُرِيْدُ

“Dia telah menjamin untuk menerima doamu sesuai dengan pilihan-Nya, bukan sesuai dengan pilihanmu, serta pada waktu yang Dia inginkan, bukan pada waktu yang kau inginkan.”

Penjelasan ini terkandung dalam firman Allah: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan!” (91) Dia berjanji untuk mengabulkan, tetapi dalam bentuk yang bersifat umum. Dia tidak mengatakan: “Pasti Ku kabulkan apa yang kalian minta, pada waktu yang kalian inginkan, dalam bentuk yang kalian kehendaki.” Masalah ini dipertegas oleh sabda Nabi s.a.w.: “Setiap orang yang berdoa berada di antara tiga kondisi: permintaannya segera dikabulkan, ditunda pengabulannya, atau; dialihkan dari keburukan (kepada kebaikan) yang senilai dengannya (sesuai dengan apa yang dimintanya)”. (102).

Nabi s.a.w. bersabda: “Setiap doa kalian dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, seperti dengan mengatakan: “Aku sudah berdoa tetapi tak juga dikabulkan”.” (113).

Diriwayatkan bahwa jarak antara pengabulan doa Mūsā serta Hārūn dan firman-Nya: “Doa kalian telah dikabulkan.” (124) adalah empat puluh tahun. Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. menafsirkan firman Allah berikutnya: “Hendaknya kalian kukuh” mengandung arti: “janganlah kalian tergesa-gesa”. Kemudian kalimat “Jangan kalian mengikuti orang yang tidak mengetahui” berarti, jangan mengikuti orang yang ingin doanya segara dikabul.

Pengabulan doa merupakan pilihan dan wewenang mutlak Allah baik isi dan waktunya, karena tiga sebab: Pertama, karena cinta dan perhatian-Nya kepada hamba. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Penyayang, dan Maha Mengetahui. Dia yang Maha Pemurah pasti akan memberikan apa yang diminta oleh hamba-Nya sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya. Dia mengabulkan apa pun yang dalam pengetahuan-Nya hal itu baik untuk hamba. Sementara manusia tidak mengetahui apa yang baik dan yang lebih baik untuk dirinya. Bisa jadi ia menginginkan sesuatu yang buruk untuknya atau membenci sesuatu yang sebenarnya baik untuknya.

Kedua, karena pengabulan doa lebih menunjukkan sisi ‘ubūdiyyah hamba dan lebih menampakkan kendali rubūbiyyah-Nya. Sebab, seandainya pengabulan doa diserahkan kepada keinginan hamba maka permintaannya menjadi penentu atau kehendak Allah. Dan tentu saja mustahil kehendak Allah diatur atau diarahkan oleh permintaan hamba.

Ketiga, karena doa merupakan ‘ubūdiyyah. Hakikat doa adalah memperlihatkan kefakiran, kerendahan, dan rasa butuh hamba kepada Allah. Jika pengabulan doa sesuai dengan keinginan hamba, rasa rendah, hina, dan butuh itu tidak akan terungkapkan dalam lafal-lafal permintaannya. Tanpa rasa butuh kepada Allah maka rahasia taklif menjadi sirna.

Seorang sufi mengatakan: “Manfaat doa adalah menunjukkan kefakiran dan rasa butuh hamba di hadapan Allah. Jika tidak, tentu Tuhan maha kuasa melakukan apa saja.”

Selanjutnya Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan persoalan yang lebih penting lagi agar hamba tidak berputus asa terhadap janji Tuhan meskipun ketentuan waktunya sudah jelas. Ia mengatakan: (lihat Ḥikam # 7)

Catatan:

  1. 9). Q.S. Ghāfir [40]: 60.
  2. 10). Imām Aḥmad meriwayatkan dalam sanad yang baik, demikian pula dengan al-Ḥākim dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah seorang Muslim memanjatkan doa yang tidak berisi dosa dan pemutusan silaturahim kecuali pasti Allah berikan untuknya salah satu dari tiga keadaan berikut: doanya segera dikabulka; disimpan untuk diberikan di akhirat; atau dialihkan dari keburukan yang senilai dengannya.” Mereka berkata: “kalau begitu, baiknya kita banyak berdoa.” “Allah memiliki lebih banyak lagi.” Jawab beliau.
  3. 11). H.R. Bukhārī Muslim dan yang lain.
  4. 12). Q.S. Yūnus [10]: 89.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *