1-5 Bukti Padamnya Mata Hati – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

5. اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ

“Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijaminkan untukmu dan kelalaianmu mengerjakan apa yang dituntut darimu merupakan bukti padamnya mata hati.”

 

Mata hatimu disebut padam karena kau menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kau membalik sesuatu yang seharusnya tidak kau balik. Kau meninggalkan kewajiban yang seharusnya kau kerjakan tetapi kemudian sibuk mengatur dan mengurusi perkara yang sudah dijaminkan untukmu.

Dalam at-Tanwīr Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan: “Bagaimana dikatakan memiliki akal dan bashīrah jika kau sibuk dengan sesuatu yang telah dijaminkan untukmu dan melalaikan apa yang dituntut darimu.”

Seorang sufi mengatakan: “Allah telah menjaminkan dunia untuk kita dan menuntut akhirat dari kita. Oh, andai saja Dia menjaminkan akhirat untuk kita dan menuntut dunia dari kita.”

Ibnu ‘Athā’illāh menggunakan kata ijtihād (bersungguh-sungguh) dalam hikmah di atas karena upaya mendapatkannya tidak tercela, bahkan kadang-kadang diminta. Hanya saja, yang penting diingat adalah agar hamba senantiasa menyadari ketentuan-Nya yang telah berlaku serta menyadari kelalaian yang telah dilakukan. Dan meninggalkan urusan yang paling utama. Kemudian, penuhilah segala yang dituntut darimu baik berupa amal wajib maupun amal sunnah. Seandainya upaya sungguh-sungguh (ijtihād) itu diganti dengan kondisi larut atau tenggelam dalam urusan itu dan sikap lalai diganti dengan meninggalkan sepenuhnya maka yang terjadi bukan lagi padamnya mata hati, melainkan butanya mata hati. Sesungguhnya dunia ini bagaikan air sungai yang dilewati pasukan Thalut. Tidak ada peminum yang selamat kecuali yang hanya menciduk satu cidukan dengan tangannya. Sementara, bashīrah adalah mata hati sebagaimana penglihatan adalah mata indriawi.

Kemudian, tanda seseorang bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang sudah dijaminkan ada tiga, yaitu [i] kecewa ketika sesuatu yang diinginkan tidak didapatkan, [ii] lepasnya sikap taqwa dalam upaya yang dilakukan untuk mendapatkannya, dan [iii] lalai menunaikan kewajiban ketika berusaha mendapatkannya.

Tanda kebalikannya pun ada tiga, yaitu [i] ridha dengan kenyataan yang berlaku, [ii] taqwa ketika melakukan upaya, dan [iii] menjaga adab saat berusaha mendapatkannya.

Di antara bentuk bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang sudah dijamin adalah putus asa ketika doa tak juga dikabulkan. Karena itu, Ibnu ‘Athā’illāh selanjutnya mengingatkan: (lihat Ḥikam # 6)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *