1-5-3 Tidur, Makan & Bersetubuhnya Orang Yang Junub – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 005 Bab Beberapa Amalan yang Disyaratkan Berwudhu’

Masalah ketiga: Tidur, Makan dan Bersetubuhnya Orang yang Junub.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya wudhu’ bagi orang yang junub dalam beberapa keadaan:

Pertama, jika hendak tidur sementara dia dalam keadaan junub:

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa berwudhu’ adalah sesuatu yang dianjurkan jika itu bukannya wajib.

2. Sementara ahlu zhahir mewajibkannya karena adanya hadits yang tsabit dari Nabi s.a.w., yaitu hadits ‘Umar:

أَنَّهُ تُصِيْبُهُ الْجَنَابَةُ مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ (ص): تَوَضَّأْ وَ اغْسِلْ ذَكَرَكَ ثُمَّ نَمْ.

Bahwa dia pernah berjunub pada suatu malam, lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Berwudhu’ dan cucilah kemaluanmu kemudian tidur”.” (791).

Hadits ini pun diriwayatkan dari jalur ‘A’isyah.

Jumhur ulama memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut menunjukkan sunnah, mereka tidak mengambil zhahirnya karena tidak adanya keselarasan antara wajibnya thaharah dengan kehendak untuk tidur (yakni keselarasan hukum syara‘), dan mereka pun memperkuat hujjah tersebut dengan beberapa hadits, yang paling kuat adalah hadits Ibnu ‘Abbās:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ فَأُتِيَ بِطَعَامٍ، فَقَالُوْا: أَلَا نَأْتِيْكَ بِطُهْرٍ؟ فَقَالَ: أَأُصَلِّيَ فَأَتَوَضَّأَ.

Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. keluar dari tempat buang air besar, lalu didatangkan kepadanya makanan, mereka bertanya: “Tidak bolehkah kami memberi anda sesuatu yang suci?” beliau menjawab: “Apakah aku shalat (dahulu) lalu berwudhu’.

Dalam riwayat yang lain dinyatakan:

أَلَا تَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ.

Tidakkah anda berwudhu’?” beliau menjawab: “Aku diperintahkan berwudhu’ ketika hendak melakukan shalat.” (802).

Berdalil dengan hadits ini adalah lemah karena termasuk berdalil melalui dalīl khithāb dengan macamnya yang paling lemah, mereka pun berhujjah dengan hadits ‘Ā’isyah:

أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَانَ يَنَامُ وَ هُوَ جُنُبٌ لَا يَمَسُّ الْمَاءَ.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah tidur dalam keadaan junub akan tetapi tidak menyentuh air.” (813).

Hanya saja hadits ini dha‘īf.

Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang wajibnya berwudhu’ bagi orang junub yang hendak makan atau minum, juga tentang orang yang hendak kembali menyetubuhi istrinya.

Jumhur dalam semua masalah ini berpendapat tidak adanya kewajiban, karena tidak adanya keselarasan thaharah dengan semuanya, hal itu karena thahārah dalam hukum syara‘ hanya diwajibkan kepada hal-hal yang agung seperti shalat, demikian pula karena adanya kontradiksi antara beberapa atsar, maksudnya diriwayatkan dari Nabi s.a.w.: “Bahwa beliau memerintahkan orang junub untuk berwudhu’ jika hendak menyetubuhi kembali istrinya.” (824).

Diriwayatkan pula dari Rasūlullāh s.a.w.: “Bahwa beliau pernah bersetubuh, lalu mengulanginya tanpa berwudhu’ terlebih dahulu.” (835).

Demikian pula diriwayatkan larangan makan dan minum bagi yang sedang junub sehingga ia berwudhu’, (846) diriwayatkan pula atsar yang memperbolehkannya. (857).

Catatan:

  1. 79). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (290), Muslim (306), Abū Dāūd (221), an-Nasā’ī (1/140), Aḥmad (2/64), dan al-Baihaqī (1/199).
  2. 80). Shaḥīḥ. HR. Muslim (374), Abū Dāūd (3760), at-Tirmidzī (1847), an-Nasā’ī (1/85), Aḥmad (1/282, 283, 389), dan al-Baihaqī (1/42).
  3. 81). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (228), at-Tirmidzī (1847), Ibnu Mājah (581), Aḥmad (6/102, 106, 107, 109, 146, 171, 214), Isḥāq bin Rahawaih (1512), ath-Thayālisī (1397), Ibn-ul-Ja‘d (1764), Abū Ya‘lā (4710), al-Ḥākim dalam ‘Ulūm-ul-Ḥadīts (hal: 125), al-Baihaqī (1/201) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī dan dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘ (5019).
  4. 82). Lafazhnya adalah:

    إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَاجَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ.

    Jika salah seorang di antara kalian menggauli istrinya, lalu hendak mengulanginya lagi maka berwudhu’lah, karena hal itu lebih memberikan kesegaran dalam mengulanginya.” HR. Muslim (308), Abū Dāūd (220), at-Tirmidzī (141), an-Nasā’ī (1/142), Ibnu Mājah (587), Aḥmad (3/28) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (219, 220, 221) dan Ibnu Ḥibbān (120, 121 al-Iḥsān) semuanya dari hadits Abū Sa‘īd al-Khudriy.

  5. 83). Lafaznya adalah:

    كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) إِذَا كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى أَهْلِهِ أَتَاهُمْ ثُمَّ يَعُوْدُ وَ لَا يَمَسُّ مَاءً.

    Adalah Rasūlullāh s.a.w. jika menginginkan istrinya maka beliau mendatangi mereka, kemudian kembali tanpa menyentuh air.” HR. Aḥmad (6/109).

  6. 84). Lafazhnya dari riwayat ‘Ā’isyah adalah:

    كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ لَمْ يَنَمْ حَتَّى يَتَوَضَّأَ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ وَ أَكَلَ.

    Rasūlullāh s.a.w. jika hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau tidak tidur sehingga berwudhu’, dan jika hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya lalu makan.” HR. al-Bukhārī (286, 288), Muslim (305), Abū Dāūd (222, 223, 224), an-Nasā’ī (1/138, 139), Ibnu Mājah (584), dan ad-Dāruquthnī (1/125, 126).

  7. 85). Lafazhnya adalah:

    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ.

    Rasūlullāh s.a.w. jika hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’, dan jika hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya.” HR. Abū Dāūd (223), an-Nasā’ī (1/139), Ibnu Mājah (583), Aḥmad (6/119) semuanya dari ‘Ā’isyah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *