1-5-1,2 Shalat & Menyentuh Mushhaf – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 005 Bab Beberapa Amalan yang Disyaratkan Berwudhu’

Bab V

Beberapa Amalan yang Disyaratkan Berwudhu’

 

Masalah pertama: Shalat.

 

Dasar masalah ini adalah firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Dan sabdanya s.a.w.:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَ لَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari hasil pengkhianatan.” (771).

Kaum muslimin bersepakat bahwa thahārah adalah syarat shalat dengan dalil di atas, lalu mereka berbeda pendapat apakah ia syarat sah atau syarat wajib.

Mereka tidak berbeda pendapat bahwa thahārah adalah syarat dalam semua shalat kecuali shalat jenazah dan dalam sujud (maksudnya sujud tilāwah), karena ada perbedaan pendapat yang syādz dalam masalah tersebut.

Sebab perbedaan pendapat: Kemungkinan yang timbul dalam kategori nama “shalat” dan “shalat jenazah” dan “sujud tilāwah”.

1. Ulama yang berpendapat bahwa nama shalat pun ditujukan untuk shalat jenazah dan sujud tilāwah – menurut jumhur ulama – mereka mensyaratkan thahārah pada keduanya.

2. Sementara ulama yang tidak memasukkan keduanya ke dalam shalat secara mutlak, karena tidak adanya sujud dan ruku‘ dalam shalat jenazah, dan karena tidak adanya berdiri dan ruku‘ dalam sujud tilāwah mereka tidak mensyaratkan thaharah dalam keduanya.

Ada empat masalah yang berkaitan dengan bab ini:

 

Masalah kedua: Menyentuh Mushhaf.

Apakah thaharah merupakan syarat dalam menyentuh mushhaf?

1. Imām Mālik, Abū Ḥanīfah dan Syāfi‘ī berpendapat bahwa wudhu’ termasuk syarat dalam menyentuh mushhaf.

2. Sementara ahlu zhahir berpendapat bahwa thahārah bukan syarat menyentuh mushhaf.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan dalam memahami firman Allah s.w.t.:

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ.

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Qs. al-Wāqi‘ah [56]: 79).

Apakah yang dimaksud dengan (الْمُطَهَّرُوْنَ) itu manusia atau para malaikat? Dan apakah ayat ini hanya sekedar berita atau berita yang berarti larangan.

Ulama yang berpendapat bahwa makna (الْمُطَهَّرُوْنَ) adalah manusia dan ayat tersebut mengandung larangan, mereka berpendapat tidak boleh menyentuh mushhaf kecual dalam keadaan suci.

Sementara ulama yang berpendapat bahwa ayat tersebut hanya sekedar berita dan makna (الْمُطَهَّرُوْنَ) adalah para malaikat, mereka berkata bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan wajibnya bersuci jika menyentuh mushhaf, dan jika tidak ada dalil baik dari al-Qur’ān atau pun Sunnah, maka kembali kepada hukum asal yaitu mubah.

Jumhur telah berhujjah untuk pendapatnya dengan hadits ‘Amru bin Ḥazm, bahwa Nabi s.a.w. pernah menulis:

لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ.

Tidak boleh menyentuh al-Qur’ān kecuali seseorang dalam keadaan suci.” (782).

Sementara para ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadits ‘Amru bin Ḥazm, karena sudah banyak perubahan.

Dan aku melihat Ibn-ul-Mufawwaz menilainya shaḥīḥ jika diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah karena ia adalah surat Nabi s.a.w., demikian pula hadits ‘Amru bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya, sementara ahlu zhahir menolak keduanya.

Lalu Imam Malik memberikan keringanan bagi anak-anak kecil dalam menyentuh mushhaf walaupun dalam keadaan tidak suci karena mereka belum mukallaf.

 

Catatan:


  1. 77). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (59), an-Nasā’ī (1/87, 88) (5/56, 57), Ibnu Mājah (271), Aḥmad (5/74, 75), ath-Thayālisi (1319) semuanya dari hadits Usāmah bin ‘Umair, dalam masalah ini ada juga hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dan Abū ‘Awānah (1/235), dan dari Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Muslim (224), juga at-Tirmidzī (1) dan dari Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh Abū ‘Awānah (1/136). 
  2. 78). Shaḥīḥ. HR. Mālik (1/199), dan ‘Abd-ru-Razzāq dalam al-Mushannaf (1328), ad-Dāruquthnī (1/121), dan al-Baihaqī (1/87), hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (122). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *