Masalah kelima: Memakan Sesuatu yang Dipanaskan Api (Dipanggang).
Para ulama di kurun pertama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ karena memakan sesuatu yang dipanaskan oleh api. Hal itu karena adanya perbedaan atsar tentang hal itu dari Rasūlullāh, akan tetapi jumhur ulama setelah kurun pertama di berbagai negeri telah menjatuhkan kewajiban tersebut, menurut mereka telah shahih diriwayatkan bahwa hal itu dilakukan oleh khalifah yang empat, demikian pula berdasarkan hadits Jābir, dia berkata: “Di antara dua urusan dari Nabi s.a.w. adalah meninggalkan wudhu’ karena memakan sesuatu yang dipanaskan api.” (741) HR. Abū Dāūd, akan tetapi satu kaum dari kalangan ahli hadits; Aḥmad, Isḥāq dan sekelompok dari mereka berpendapat bahwa kewajiban berwudhu’ terjadi hanya karena memakan daging unta dengan alasan adanya riwayat yang menjelaskan hal tersebut.
Masalah keenam: Tertawa dalam Shalat.
Abū Ḥanīfah mengeluarkan pendapat syādz (janggal), dia menyatakan bahwa tertawa dalam shalat membatalkan wudhu’, landasannya adalah hadits mursal Abū ‘Āliyah, yaitu: “Bahwa ada satu kaum yang tertawa dalam shalat, lalu Nabi s.a.w. memerintahkan mereka untuk mengulang wudhu’ dan shalat.” (752).
Lalu Jumhur ulama menolak hadits ini karena mursal dan bertentangan dengan ushūl, yaitu bahwa hal tersebut berarti termasuk sesuatu yang membatalkan wudhu’ dalam shalat, sementara di luarnya tidak, walaupun hadits tersebut mursal shaḥīḥ.
Masalah ketujuh: Mengusung Mayit dan Hilang Akal.
Sebagian ulama mengeluarkan pendapat yang syādz, mereka mewajibkan wudhu’ karena membawa mayit, berdasarkan sebuah atsar dha‘īf, yaitu:
مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Barang siapa memandikan mayit maka hendaklah ia mandi, dan barang siapa mengusungnya hendaklah ia berwudhu’.” (763).
Walau diketahui bahwa jumhur ulama mewajibkan wudhu’ karena hilang akal dengan berbagai sebab, baik karena pingsan, gila atau mabuk, semuanya diqiyaskan kepada tidur (maksudnya, mereka berpendapat jika tidur itu membatalkan wudhu’ dalam keadaan yang biasanya menimbulkan hadats seperti tidur dengan nyenyak, maka hilang akal lebih utama menjadi sebab batalnya wudhu’). Inilah berbagai masalah yang disepakati, dan yang masyhur diperdebatkan.
Catatan:
- 74). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (181), an-Nasā’ī (1/108), Ibn-ul-Jārud dalam al-Muntaqā (24), al-Baihaqī (1/155, 156) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥu Abī Dāūd. ↩
- 75). Diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzāq dalam al-Mushannaf pada pembahasan tentang hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat, bab tertawa dan tersenyum dalam shalat no. (7361), dan Ibnu Ḥajar menukilnya dalam at-Talkhīsh (1/115), Ibnu Jauzī berkata: “Aḥmad berkata: “Tidak ada hadits shaḥīḥ tentang tertawa”.” Demikian pula yang dikatakan oleh adz-Dzahabī: “Tidak ada satu riwayat yang baik dari Nabi s.a.w. tentang tertawa dalam shalat.” ↩
- 76). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (3161, 3162), at-Tirmidzī (993), Ibnu Mājah (1463), Aḥmad (2/433, 454, 472), ath-Thayālisi (2314) hadits ini dinilai ḥasan oleh at-Tirmidzī dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibn-ul-Qaththān, Ibnu Ḥajar menilainya ḥasan dalam at-Talkhīsh (1/137) dan al-Albānī menilainya shaḥīḥ dalam Shaḥīḥu Abī Dāūd. ↩